Vaksin menumbuhkan harapan baru. Namun, persoalan tak berhenti pada vaksinasi. Selepas vaksinasi dilakukan, kita kembali menghadapi berbagai persoalan, antara lain tentang pemulihan ekonomi.
Oleh
A Prasetyantoko -- Rektor Unika Atma Jaya
·4 menit baca
Vaksin akan membebaskan masyarakat dari ”tirani Zoom”. Aktivitas ekonomi akan bangkit, ditandai dengan peningkatan konsumsi dan peredaran uang, yang pada gilirannya akan mendorong inflasi pada 2021. Demikian isi laporan utama majalah The Economist (edisi 12/12/2020). Majalah ini mengingatkan, momok inflasi tak hadir pasca-pelonggaran moneter menyusul krisis 2008. Meski begitu, khususnya bagi negara maju, tantangan inflasi kali ini tak bisa diremehkan. Kenaikan suku bunga sebagai respons kenaikan inflasi akan memukul fiskal pemerintah akibat beban utang yang sudah begitu tinggi.
Aktivitas ekonomi akan bangkit ditandai dengan peningkatan konsumsi dan peredaran uang yang pada gilirannya akan mendorong inflasi pada 2021.
Ada tiga faktor pendorong, yaitu efek stimulus fiskal dalam memerangi pandemi, perubahan demografi, dan pergeseran arah politik global. Stimulus telah membuat perekonomian dipenuhi likuiditas sehingga masyarakat tak kehilangan daya beli. Pada saat situasi terkendali, konsumsi akan segera mendaki. Di sisi lain, produksi diproyeksikan sulit mengantisipasi lonjakan permintaan karena faktor demografi di negara maju yang diperburuk kebijakan proteksionis yang menghambat migrasi sumber daya (khususnya tenaga kerja) antarnegara. Kekakuan ini akan berkontribusi pada peningkatan inflasi global.
Persoalan di negara berkembang, seperti Indonesia, tak sama, tetapi memiliki kerumitan serupa. Meskipun kita tak punya kelangkaan tenaga kerja, terjadi ketergantungan eksternal cukup tinggi dalam upaya mendorong produksi. Selain itu, terjadi kekakuan (politik) kebijakan fiskal di dalam negeri. Tingkat utang dan desifit fiskal memang tak terlalu besar dibandingkan dengan negara tetangga, tetapi ada kewajiban undang-undang mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen pada 2023. Maka, diperlukan keseimbangan stabilitas makromoneter dan fiskal. Masuknya omnibus law sektor keuangan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 menunjukkan kebutuhan keseimbangan tersebut.
Prospek vaksin
Indonesia termasuk negara yang proaktif menyediakan vaksin. Pada Minggu (6/12/2020), sebanyak 1,2 juta vaksin Sinovac tiba di Tanah Air, menandai era baru penanggulangan pandemi. Pada Januari 2021 akan tiba lagi 1,8 juta vaksin. Setelahnya, akan ada gelombang kedatangan vaksin, baik dalam bentuk jadi maupun vaksin curah. Program ini sudah diatur dalam kesepakatan kerja sama antara produsen vaksin China, Sinovac, dan PT Bio Farma (Persero).
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/9860/2020 menetapkan enam jenis vaksin akan digunakan di Indonesia, yaitu produksi PT Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer Inc and BioNTech, dan Sinovac. Pelaksanaan vaksinasi masih menunggu persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Segera setelah mendapatkan izin, Indonesia akan menyusul Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Bahrain, Arab Saudi, dan Meksiko sebagai negara kelompok pertama yang melakukan vaksinasi.
Peta jalan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional menyebutkan, distribusi vaksin pada paruh pertama 2021 akan sangat menentukan arah pemulihan dan transformasi ekonomi di masa mendatang. Bank Indonesia mengusulkan skenario pembukaan sektor ekonomi dalam dua tahap. Tahap pertama mencakup 6 sektor, seperti industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi, pertanian, dan pertambangan. Keenam sektor ini menyumbang 16,8 persen total produk domestik bruto. Tahap kedua terdiri atas 15 sektor yang sumbangannya 21,6 persen.
Di satu sisi, kedatangan vaksin menumbuhkan harapan baru. Meski demikian, vaksin tak akan menghilangkan sama sekali risiko, tetapi hanya menurunkan. Oleh karena itu, kehadiran vaksin tak serta-merta mengembalikan perekonomian seperti sebelum pandemi, baik dalam besaran maupun pola pertumbuhan. Pergeseran selera dan cara konsumsi masyarakat akan menentukan industri mana yang akan tumbuh dan mana yang surut ke depan.
Kehadiran vaksin tak serta-merta mengembalikan perekonomian seperti sebelum pandemi, baik dalam besaran maupun pola pertumbuhan.
Pemulihan ekonomi akan ditandai dengan peningkatan impor bahan baku dan bahan penolong sehingga transaksi berjalan akan kembali berada dalam tekanan. Dengan tingkat ketergantungan pada pembiayaan asing yang masih relatif tinggi, kebijakan moneter juga tak bisa independen terhadap dinamika fluktuasi nilai tukar. Dengan demikian, vaksinasi perlu ditopang kebijakan struktural yang berorientasi meningkatkan daya saing nasional. Jika tidak, pascavaksinasi kita akan menemui persoalan yang sama atau bahkan lebih buruk.
Situasi ini sungguh dilematis. Di satu sisi, kita memerlukan kebijakan moneter yang akomodatif bagi pertumbuhan domestik serta keberlangsungan fiskal. Apalagi, jika defisit harus kembali di bawah 3 persen dalam tiga tahun mendatang. Di sisi lain, ketergantungan kita pada likuiditas asing cukup tinggi sehingga perlu kredibilitas kebijakan moneter yang independen.
Ekonomi selalu bicara soal dilema dan keseimbangan. Kebijakan ekonomi adalah tentang formula atau cara mengatasi dilema sekaligus mencapai keseimbangan. Salah satunya soal independensi Bank Indonesia yang menjadi persoalan di hampir semua bank sentral di dunia akhir-akhir ini. Pascavaksinasi kita sama sekali tak kekurangan persoalan untuk diselesaikan.