Filosofi Kegairahan
Demikianlah filosofi membimbing manusia ke jalan kemerdekaan yang benar dan tepat. Sebab itu, manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka.
Gairah telah menjadi semakin langka belakangan ini, dengan terhuyung-huyung kita beradaptasi dalam situasi pandemi. Gairah semakin remuk redam melihat parade kekerasan mengisi keseharian kita, kekecewaan pada sistem, dan keadaan yang masih penuh dengan kesimpangsiuran.
Demi bertahan hidup hari demi hari semakin penuh dengan cabaran. Mungkinkah kegairahan tetap ada di tengah-tengah momen terburuk kehidupan manusia?
Kegairahan dalam pengertian umum berarti keinginan yang keras, atau kehendak yang kuat. Persoalan gairah senantiasa diperbincangkan dalam studi filsafat, berbagai pandangan dari filsafat Barat ataupun Timur memiliki cara tersendiri untuk menguraikan anatomi kegairahan manusia. Bahkan, berfilsafat itu sendiri adalah bentuk gairah para filsuf untuk memecahkan teka-teki hidup ini.
Ketika wabah Covid-19 merundung kemanusiaan, orang-orang terenyak menyaksikan tragedi kematian terjadi dalam skala global. Kita menganggap kematian adalah oposisi dari gairah manusia untuk hidup. Akan tetapi, para filsuf berpandangan berbeda, seperti kaum Stoik, mereka mencermati bahwa kematian adalah bagian dari siklus alamiah semua makhluk, tidak terkecuali manusia itu juga.
Stoikisme merupakan ajaran yang berawal di Yunani pada abad ke-3 SM yang kemudian berkembang hingga ke Roma. Nama Stoa berasal dari tempat bertemunya para filsuf di ruang terbuka dengan arsitektur Yunani yang khas, ditandai oleh jajaran pilar-pilar menjulang tinggi. Adapun Seneca, salah seorang filsuf Stoik termasyhur mengatakan, ”Meditare Mortem” yang berarti ’bersiaplah untuk kematian’ atau ’meditasikan selalu kematian yang akan tiba’.
Selintas pandangan ini tampak suram, tetapi Seneca hendak mengingatkan, hanya melalui penerimaan terhadap kematian sebagai suatu yang niscaya, maka seseorang dapat mempersiapkan diri dengan menjalani hidup secara baik serta penuh makna.
Seneca menghidupi ajaran filsafatnya. Saat raganya mulai renta, ia mengalami berbagai macam penyakit, lebih tragisnya ia dituding berkonspirasi melawan Kaisar Nero dan dipaksa melakukan bunuh diri. Kerabat dan keluarga yang menyaksikan hukuman itu berduka dan mengasihani Seneca, tetapi ia tidak ingin ditangisi, ia merasa telah memaksimalkan kehidupannya. Para Stoik mendasarkan kehidupan mereka pada empat prinsip etis: kebajikan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan.
Kaum Stoik memercayai bahwa kita menderita bukan karena kejadian-kejadian dalam hidup kita. Akan tetapi, karena penilaian kita tentangnya. Penderitaan dalam perspektif stoikisme terjadi karena manusia selalu mencoba mencengkeram kendali, manusia merasa dapat mengendalikan segalanya. Kebebasan sesungguhnya terletak pada kesadaran bahwa berbagai perkara eksternal dari diri ini sama sekali tidak berada dalam telapak tangan kita.
Salah satu ilustrasi yang dapat memudahkan kita meresapi filosofi Stoikisme ini adalah melalui contoh seni memanah. Fokus yang paling utama bukan soal mengenai target saja, melainkan bagaimana pemanah berkonsentrasi pada proses melatih kemahiran seni panah.
Seorang pemanah dapat memastikan busur dan anak panah dalam kondisi yang bagus. Ia pun dapat melatih diri secara tekun keahlian memanahnya, status ini dapat ia kendalikan. Tiba saatnya untuk meluncurkan panah, banyak faktor di luar dirinya yang tidak dapat ia kontrol. Dalam pengertian ini, Stoikisme menitikberatkan ajarannya pada komitmen diri, itikad untuk berupaya tanpa terikat pada hasil akhir.
Terang benderang bahwa kaum Stoik bukan orang-orang yang pasif atau tanpa emosi. Mereka bergairah pada keberanian, pada sisi lainnya mereka pun logis dan realis. Kegairahan ini ditakuti oleh para penguasa. Itu mengapa mereka acap kali dipersekusi.
Dalam sejarah politik Romawi kuno mereka muncul sebagai oposisi, senator dan stoik bernama Cato Uticensis mengangkat suara melawan otoritarianisme Julius Caesar. Ia memilih mencabut nyawanya sendiri daripada harus hidup dipimpin seorang diktator.
Simone Weil, seorang filsuf perempuan yang sangat dipengaruhi oleh kearifan Stoikisme, menggarisbawahi peran filsafat sebagai pelipur. Ia hidup di masa Eropa berkecamuk dengan kemiskinan, wabah, dan peperangan. Weil memandang kehidupan tidak dapat dibedakan dari kesengsaraan. Hidup adalah kesengsaraan.
Berfilsafat menjadi konsolasi, ia menyadari bahwa gairah kehidupan tersemat dalam keyakinan pada keberadaan manusia lainya. Derita manusia mendorongnya untuk memperhatikan cinta. Gairah untuk mencintai sesama menjadi tumpuan pada saat kondisi terberat sekalipun.
Gairah tumbuh meski dalam apitan kesengsaraan. Demikian pula yang dirasakan oleh Mohammad Hatta saat menjalani pengasingan sebagai tahanan politik di Tanah Merah, Boven Digoel. Hatta mengatakan, ”Kemudian filosofi berguna untuk penerangan pikiran dan penetapan hati.”
Hatta menjaga nyala kegairahan menggunakan filsafat, memasuki dunia pikiran membuatnya merasa terbebas dari tanah pembuangan Digoel yang merongrong rohaninya. Ia menulis karyanya yang berjudul ”Alam Pikiran Yunani” dan mengulas mengenai filosofi Stoik.
Ia memuji para Stoik, ”Demikianlah filosofi membimbing manusia ke jalan kemerdekaan yang benar dan tepat. Sebab itu manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka.” Dalam kesunyian isolasi itu, Hatta mengisi hari-harinya dengan perenungan, ia mengibaratkan filsafat sebagai seorang sahabat.
Di Indonesia baru saja berlangsung festival filsafat pertama dan terbesar yang diselenggarakan secara daring pada masa pandemi. Philofest ID yang diusung jaringan lintas komunitas filsafat se-Indonesia mengambil tajuk ”Dunia setelah pandemi: filsafat dari masa depan”. Ribuan penikmat filsafat bercengkerama ke dalam platform digital. Di ruang itu segala kekhawatiran dan harapan ditumpahkan, gagasan-gagasan dibangkitkan kembali, lalu dipertukarkan.
Masa depan memang misterius, ia terlepas dari perencanaan manusia. Meskipun begitu, kita perlu memperjuangkan yang terbaik. Perjumpaan ini menjadi pembuktian, gairah masih terus memercik dan filsafat menjadi suaka bagi kegairahan.
*SARAS DEWI adalah pengajar filsafat di Universitas Indonesia