"Badai" Covid-19 di MK Saat Gugatan Pilkada Menumpuk
›
"Badai" Covid-19 di MK Saat...
Iklan
"Badai" Covid-19 di MK Saat Gugatan Pilkada Menumpuk
Selepas hasil Pilkada 2020 ditetapkan oleh KPU, medan “pertarungan” kini beralih ke gedung MK. MK menjadi penentu akhir hasil Pilkada 2020. Sekalipun dihadapkan pada problem Covid-19, kerja MK diharapkan tak surut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Selepas hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, medan “pertarungan” kini beralih ke gedung Mahkamah Konstitusi. Pihak calon kepala/wakil kepala daerah yang keberatan dengan hasil pemilihan dan mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah bakal beradu bukti dengan pihak penyelenggara pemilu dan calon yang ditetapkan menang oleh penyelenggara pemilu. Di tengah pandemi Covid-19, kerja Mahkamah tak boleh surut.
Kabar duka tersiar dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Sabtu (19/12/2020). Salah satu pegawainya, Gani Yogaswara, mengembuskan napas terakhir karena terpapar Covid-19. Selain Gani, ada seorang pegawai MK lainnya yang juga meninggal dunia. Di luar kedua pegawai tersebut, 37 pegawai MK lainnya dinyatakan positif Covid-19, hasil dari tes uji usap Covid-19.
Para pegawai MK menjadi bagian dari tulang punggung hakim-hakim MK dalam menyidangkan perkara-perkara pengujian undang-undang yang masuk ke MK. Begitu pula saat ini ketika MK dihadapkan pada menumpuknya permohonan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dari calon-calon kepala/wakil kepala daerah, para pegawai jadi bagian vital untuk membantu hakim MK.
Meskipun MK kini sedang diterpa “badai” Covid-19, Mahkamah memutuskan pintu untuk pencari keadilan di pilkada tetap harus dibuka. Terlebih Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengamanahkan batasan waktu tertentu bagi MK untuk menyelesaikan persidangan perkara sengketa hasil.
Hingga Minggu (20/12/2020), sudah ada 76 pengajuan permohonan sengketa yang menanti dituntaskan oleh MK. Di antaranya, permohonan sengketa hasil pemilihan Bupati/Wakil Bupati Lampung Tengah, Kaimana, Musi, Bulukumba, Karo, dan Konawe Kepulauan.
Jumlah itu pun diperkirakan akan terus bertambah. Pasalnya, belum semua KPU yang menggelar Pilkada 2020, menetapkan hasil pilkada. Ini terutama untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur. Mengacu pada jadwal KPU, penetapan hasil pemilihan gubernur/wakil gubernur, baru akan tuntas pada 20 Desember. Setelah hasil ditetapkan, ada batas waktu tiga hari bagi calon yang keberatan dengan hasil pemilihan, untuk mengajukan permohonan sengketa hasil ke MK.
Di luar itu, permohonan sengketa hasil pilkada di MK bakal kian ramai karena bermunculan pula permohonan dari pemantau pemilihan terhadap hasil pilkada yang memenangkan pasangan calon kepala/wakil kepala daerah tunggal.
Salah satu lembaga swadaya masyarakat pemerhati pilkada, Kode Inisiatif, mencatat, pemantau pemilihan di tiga daerah bercalon tunggal, sudah mengajukan sengketa ke MK.
Regulasi baru
Tak hanya itu, jumlah permohonan diperkirakan akan melimpah menyusul keluarnya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Tahun 2020.
Salah satu yang krusial dari PMK terbaru itu mengenai penerapan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di Pasal 158 diatur syarat bagi peserta Pilkada 2020 yang dapat mengajukan gugatan hasil sengketa pilkada ke MK. Syarat dimaksud, perbedaan selisih suara penggugat dengan calon yang ditetapkan menang oleh KPU, harus berkisar antara 0,5 dan 2 persen.
Namun dalam PMK terbaru itu, penerapan Pasal 158 baru akan diputuskan di akhir. Ini setelah majelis hakim konstitusi memeriksa perkara yang masuk, kemudian mencari bukti-bukti dan menggali keterangan terkait kebenaran dari hasil pemilihan. Pola ini mengubah proses sebelumnya di mana pemeriksaan ambang batas selisih suara dilakukan di awal saat sidang pemeriksaan pendahuluan, sehingga banyak permohonan gugur karena selisih suara tak sesuai dengan yang diatur di Pasal 158.
“Ketika ada pergeseran regulasi ini berdampak pada munculnya optimisme dari calon yang kalah. Meskipun selisih suara jauh di atas 2 persen, kalau mereka bisa membuktikan kecurangan, bisa menjadi pintu masuk diperiksa ke pokok perkara,” kata peneliti Kode Inisiatif M Ihsan Maulana.
Sebagai catatan, pada Pilkada 2015 yang diikuti oleh 269 daerah, tercatat ada 147 permohonan sengketa hasil yang masuk ke MK. Jumlah daerah yang menggelar Pilkada 2015 dan Pilkada 2020 hanya berselisih satu daerah. Pada Pilkada 2020, total 270 daerah yang menggelar pilkada. Kemudian saat Pilkada 2017 digelar di 101 daerah, ada 53 permohonan sengketa hasil pilkada ke MK. Tahun 2018, saat pilkada digelar di 171 daerah, ada 72 permohonan sengketa hasil pilkada.
Dari perkara yang masuk ke MK pada Pilkada 2017, alasan permohonan sengketa manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), netralitas penyelenggara pilkada, pengurangan suara, politik uang, kesalahan penghitungan suara, syarat pencalonan, hingga politisasi birokrasi.
Kajian Kode Inisiatif bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dari 53 permohonan perselisihan pada Pilkada 2017, hanya tujuh permohonan yang dapat dilanjutkan pada sidang pembuktian. Sisanya, dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK saat putusan sela. Alasan terutama MK untuk tidak melanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara adalah tidak memenuhi Pasal 158 UU Pilkada, permohonan sengketa melampaui tenggat waktu, kedudukan hukum pemohon, dan perkara kehilangan obyek.
Nasib pengujian UU
Dengan menumpuknya permohonan sengketa plus keharusan MK menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai batasan waktu seperti diatur dalam UU Pilkada, mau tidak mau, MK harus tetap bersidang di tengah banyaknya pegawai MK yang terkena Covid-19.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengatakan, MK melayani pemohon sengketa, baik secara daring ataupun langsung datang ke gedung MK di Jakarta. Karena situasi pandemi, MK menerapkan pembagian tiga sif pegawai yang bertugas mengurusi sengketa hasil pilkada. Pembagian itu dibuat untuk menyesuaikan dengan pemohon yang kerap datang di malam hari.
“Selain itu, sebagai langkah mencegah Covid-19, hakim konstitusi dan pegawai MK juga akan dites cepat (Covid-19) secara berkala,” tambahnya.
Registrasi perkara sengketa hasil pilkada, MK telah menentukan jadwal yaitu hingga 18 Januari 2021. Adapun perkara akan mulai disidangkan pada 26 Januari 2021.
Untuk mekanisme persidangan, MK akan memfokuskan persidangan secara daring sebagai upaya lain mencegah penularan Covid-19. Dengan demikian, hanya majelis hakim yang berada di ruangan sidang. Pemohon dan kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara daring. Meski demikian, sidang secara tatap muka tetap dimungkinkan. Hanya saja terbatas saat sidang pembuktian. Ini karena pemeriksaan bukti akan sulit jika dilakukan secara daring.
“Untuk persidangan secara luring jumlah pengunjung di luar persidangan tetap kami batasi. Orang yang tidak berkepentingan tidak perlu datang. Demikian juga dengan pegawai, akan dibatasi jumlah orang yang bertugas di dalam ruangan sidang," kata Fajar.
Sebagai imbas dari melimpahnya permohonan sengketa hasil pilkada dan juga kondisi pandemi Covid-19 tersebut, MK pun terpaksa menghentikan sementara pemeriksaan perkara pengujian undang-undang (PUU). Sejumlah pihak yang sedang berperkara telah disurati oleh bagian kepaniteraan tentang penundaan sidang PUU tersebut.
Ihsan Maulana mengingatkan, protokol kesehatan yang ketat harus diterapkan tak hanya oleh unsur di MK tetapi juga para pihak yang berperkara. Ini penting agar gedung MK tak jadi kluster baru penularan Covid-19. Solusi persidangan secara daring oleh MK, bisa jadi salah satu cara tepat guna mencegah penularan Covid-19. Namun kalaupun sidang terpaksa digelar langsung di MK, semua pihak diharapkan menerapkan protokol kesehatan.
“Apabila sidang dilakukan secara luring, harus ada pembatasan siapa saja yang bisa hadir di ruang persidangan. Bagaimana memperketat protokol kesehatan agar tidak terjadi klaster baru penularan Covid-19,” kata Ihsan.
Di luar itu, menjadi harapan semua pihak, MK tetap profesional menjalankan tugasnya. Jangan sampai persoalan pandemi kemudian menggerus hak para pencari keadilan.