Media
Jurnalisme bukan satu-satunya sumber informasi yang layak mengatasi krisis sosial. Akan tetapi, ia salah satu yang paling layak diharapkan.
Beberapa penerbit media cetak bangkrut. Jumlahnya bertambah terus. Yang masih bertahan skala operasinya menciut. Sebagian megap-megap. Sementara industri digital semakin merajalela.
Apakah industri pers segera punah? Pertanyaan ini sudah lama dibahas sejak internet marak. Saya yakin masa puncak keemasan pers sudah berlalu. Tetapi saya juga yakin jasa jurnalisme lebih dibutuhkan sekarang ketimbang satu generasi lalu. Sayang, tak ada jaminan kebutuhan itu terpenuhi.
Kecemasan atas nasib media cetak bisa dimaklumi, tapi tak perlu berlebihan. Ketika modernisasi dipuja di berbagai negara, banyak yang yakin agama akan segera kadaluwarsa. Dibayangkan dunia akan makin rasional, sekuler, modern, dan sejahtera, berkat kemajuan sains dan teknologi. Yang kemudian terjadi justru sebaliknya.
Setiap inovasi teknologi dan budaya memesona ketika berbulan madu. Pesonanya menyilaukan pandangan kita pada realita menyeluruh. Inovasi menjawab tantangan zaman yang mendesak, sambil mengabaikan kebutuhan lain yang saat itu dirasa kurang mendesak.
Teknologi digital adalah kekuatan revolusioner paling radikal dalam sejarah mutakhir. Ia merobohkan sistem produksi, distribusi dan konsumsi informasi yang sebelumnya serba terpusat di tangan segelintir elite. Selintas tampaknya seperti demokratisasi informasi. Tetapi, gambaran sekeping itu menyesatkan.
Jika diibaratkan sebagai negara, Facebook merupakan negara berpenduduk terbesar sedunia. Apalagi jika ditambah dua wilayah jajahannya: Instagram dan Whatsapp. Para penguasanya tidak dipilih rakyat. Data yang dihimpun penguasa Facebook tentang 2 miliar penggunanya mungkin lebih lengkap ketimbang data dinas intelijen paling hebat di dunia. Facebook bukan negara. Tetapi mereka ikut menentukan gejolak politik negara adidaya.
Jurnalisme ala abad 20 sudah babak belur. Tetapi ia masih dibutuhkan dunia, terutama saat dilanda krisis dan masyarakatnya terbelah. Di situ jurnalisme berpeluang membantu publik membangun kesepakatan dan menghindarkan ledakan konflik.
Belum lama ada negara terancam perang-saudara. Masyarakatnya terbelah dua arus informasi yang bertolak belakang tentang sah atau tidaknya hasil pemilihan umum di sana. Di negeri lain publik terbelah oleh dua gelombang besar informasi yang bertolak belakang tentang kematian warga akibat tindakan polisi.
Wabah covid-19 jadi sumber perpecahan nasional di beberapa negara. Ada yang menganggap wabah itu hanya hoaks atau konspirasi. Massa bentrok dengan polisi ketika kehidupan kota mereka dibatasi lockdown. Contoh-contoh seperti itu akan berlanjut. Juga ketika tersedia vaksinasi covid-19.
Dalam situasi seperti itu dibutuhkan fakta dan informasi yang jujur, teruji dan terpercaya. Bertolak dari situ kesepakatan publik dapat dibangun dan perdebatan lanjut lebih mencerdaskan. Informasi seperti itu menuntut proses pengumpulan dan pengolahan data yang transparan, resmi dan terlembaga. Produsernya kaum profesional dengan identitas jelas dan berwibawa.
Informasi semacam itu sulit diharapkan dari media sosial. Malahan media sosial jadi sumber utama perpecahan setiap hari di mana-mana. Di situ perundungan, ujaran kebencian dan hoaks meledak-ledak liar. Semakin tajam masyarakat terbelah, semakin jauh warganya terhanyut dalam debat di media sosial. Semakin berlipat ganda pula nilai saham dan harta perusahaan penyedia jasa media sosial.
Perpecahan sosial bukan tujuan utama perusahaan penyedia platform media sosial. Tetapi perpecahan sosial juga bukan semacam kecelakaan atau halangan bagi mereka untuk meraup laba sebesar-besarnya. Di situ peran negara menjadi kunci.
Sensor negara terhadap akses media sosial bukan solusi. Menghukum netizen penyebar hoaks atau ujaran kebencian tidak mengatasi masalah. Semua kebijakan represif itu hanya reaksi terhadap gejala di permukaan.
Akar masalah menuntut strategi konstruktif berjangka panjang. Yakni mengatasi kesenjangan sosial dan membangun sistem informasi yang andal. Ini proyek bersama negara, jurnalis, dan khalayak umum.
Jurnalisme bukan satu-satunya sumber informasi yang layak mengatasi krisis sosial. Tetapi ia salah satu yang paling layak diharapkan.
Jurnalisme bukan ratu adil. Di negeri komunis, pers dikekang jadi juru propaganda penguasa. Di negeri kapitalis liberal, pers terancam kepentingan dagang. Persaingan bebas berbuah monopoli pasar oleh segelintir pengusaha.
Di banyak bekas tanah jajahan, jurnalis menghadapi ancaman fisik bertubi-tubi dari pemerintah atau pun organisasi non-pemerintah. Akan tetapi di mana pun ada sela-sela peluang bersiasat bagi jurnalis yang mandiri, jujur dan cerdik.
Membangun jurnalisme yang sehat menuntut investasi dana, pelatihan, peralatan dan organisasi besar-besaran. Seperti halnya hukum, kesehatan dan pendidikan. Institusi negara (bukan pemerintah yang datang dan pergi) layak memberi perlindungan hukum dan sebagian dana, tanpa ikut campur dalam tata-kerja kaum profesional di bidangnya.
Jurnalisme abad 20 terancam ambruk. Sebaliknya, perusahaan layanan media sosial berjaya tanpa bersaing dan menaklukkan pers dengan produk tandingan. Mereka tidak memproduksi konten informasi apa pun. Ironisnya, sebagian konten yang tersebar di media sosial adalah produk pers yang jadi korbannya.
Media sosial mendidik netizen bersuara tanpa harus bertanggung-jawab. Juga mendidik mereka mengkonsumsi informasi secara gratis. “Harus bayar?” tanya mereka keheranan dan kecewa ketika mengklik sebuah tautan tanpa akses membukanya. Sebelum media sosial merajalela, pertanyaan “harus bayar?” tak terdengar di sekitar penjual koran dan majalah.
Jasa jurnalis semakin dibutuhkan di masa yang padat perpecahan sosial. Kebutuhan itu tidak akan terpenuhi jika tak ada yang merawat stamina jurnalisme dengan akal, kerja dan dana. Masyarakat hanya bisa menikmati panen dari apa yang ditanam.
Inovasi dalam teknologi dan budaya adalah napas peradaban. Hadirnya inovasi baru tidak selalu membuat semua inovasi dari generasi lalu mendadak jadi kadaluwarsa. Karena sudah tercipta sepeda, bukannya kita tidak lagi berjalan kaki.