Menguatkan Upaya Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia
Dua hal yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia adalah laju spesimen atau orang yang diperiksa serta standardisasi perawatan melalui ketersediaan kamar pasien.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama sepuluh bulan terakhir di Tanah Air masih menunjukkan tren peningkatan kasus infeksi. Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat melalui program 3T (pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan) dan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), diimbangi vaksinasi, menjadi strategi penanganan yang harus dijalankan secara konsisten.
Di penghujung 2020, total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 743.198 kasus. Terdapat penambahan 8.074 kasus baru pada 31 Desember 2020. Sementara kasus aktif tercatat sebanyak 109.963 kasus.
Kondisi tersebut masih menggambarkan tingkat bahaya penularan virus korona di Indonesia. Apabila dilihat dua pekan terakhir, terjadi kenaikan kasus sebesar 12,96 persen. Tren kenaikan juga terlihat dari kasus meninggal sebesar 12,61 persen dan kasus aktif 7,78 persen.
Persoalan mendasar dari penanganan Covid-19 adalah kemampuan dan kapasitas pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan kasus infeksi virus korona atau dikenal dengan istilah 3T. Pelaksanaan 3T berperan penting dalam identifikasi situasi di daerah dengan tingkat infeksi rendah hingga tinggi. Cakupan yang luas mampu memberikan gambaran penuh alur infeksi dari seorang pasien ke orang lain, hingga jenis perawatan yang dibutuhkan.
Dalam dokumen situation report tanggal 16 Desember 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat kurangnya keseriusan Pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi. Dua hal yang menjadi catatan adalah laju spesimen atau orang yang diperiksa serta standardisasi perawatan melalui ketersediaan kamar pasien.
Pertama, dari aspek pemeriksaan. Indonesia belum memenuhi standar minimum tingkat pemeriksaan pasien, yaitu satu orang per 1.000 penduduk tiap minggu. Standar minimum baru dicapai oleh empat dari 34 provinsi di Indonesia. Wilayah yang sudah memenuhi standar jumlah pemeriksaan adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur.
Data ini menggambarkan, masih banyak wilayah yang minim jumlah pemeriksaan. Ironisnya, keterbatasan pemeriksaan ternyata masih menunjukkan angka laju positif lebih dari 5 persen.
Selain pemeriksaan yang belum maksimal, WHO juga menyoroti rendahnya pelacakan yang dilakukan Indonesia. Hingga saat ini, WHO terus memberikan bantuan teknis untuk memperkuat pemantauan pelaksanaan pelacakan.
Aspek kedua adalah dari sisi perawatan. Hingga pertengahan Desember 2020, rasio pemanfaatan tempat tidur ICU dan isolasi di seluruh Indonesia mencapai 61,02 persen. Enam provinsi dengan rasio melebihi nasional adalah Jawa Tengah (76 persen), Jawa Barat dan DI Yogyakarta (75 persen), Banten (71 persen), Jawa Timur (68 persen), dan DKI Jakarta (66 persen).
Kondisi pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan yang belum maksimal diperparah kepatuhan protokol kesehatan masyarakat yang belum memuaskan (3M). Tren memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan terus turun. Hingga awal Desember 2020, Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, rata-rata tingkat kepatuhan masyarakat menerapkan 3M tersisa sekitar 51 persen.
Upaya penanganan pandemi Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia juga dilakukan dengan pengembangan dan penyediaan vaksin. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menetapkan enam calon vaksin yang akan digunakan.
Semua calon vaksin, kecuali produk dari Bio Farma, masih tahap uji klinis III. Produk dari Pfizer dan BioNTech, Moderna, AstraZeneca, dan Sinopharm telah melaporkan tingkatan efikasinya. Sementara Sinovac yang pertama kali didatangkan ke Indonesia belum merilis hasil terbarunya.
Informasi tingkat efikasi vaksin diperlukan untuk memastikan keparahan efek samping yang muncul dari bakal vaksin. Kewaspadaan efek samping vaksinasi masih relevan, apalagi calon vaksin masih tahap uji klinis. Efek samping bisa muncul dari skala ringan (nyeri, kemerahan, bengkak, dan demam) hingga berat (kecacatan, kejang, dan alergi).
Konsistensi penanganan
Catatan penanganan pandemi yang terus dilakukan oleh pemerintah sepanjang tahun 2020 masih perlu ditingkatkan. Bukan saja karena jumlah kasus yang terus bertambah, melainkan juga mengingat imbasnya yang besar. Catatan dua minggu terakhir, angka kematian naik hingga 12,61 persen. Kematian terbanyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Sementara hingga pertengahan Desember 2020, tiga provinsi dengan kenaikan kasus tertinggi berada di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Tren kenaikan kasus kematian dan infeksi menjadi gambaran perlunya konsistensi penanganan pemerintah.
Konsistensi penanganan salah satunya merujuk pada pemenuhan standar minimum pemeriksaan pasien. Pengamatan data dua minggu terakhir saja menunjukkan jumlah spesimen dan orang yang diperiksa harian sangat fluktuatif.
Baca juga : Bersiap Menghadapi Mutasi dan Varian Virus Korona
Kapasitas laboratorium Indonesia sebenarnya sangat besar mengingat hingga sekarang masih ada sedikitnya 180 laboratorium yang belum melaporkan hasil pemeriksaan PCR. Pemeriksaan yang masif tentu akan diimbangi proses pelacakan. Tahapan pelacakan sangat bisa ditingkatkan, dengan mempertimbangkan keberadaan ribuan sukarelawan dan puskesmas di seluruh Indonesia.
Klasifikasi sukarelawan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sukarelawan tenaga kesehatan, Nusantara sehat, dan program magang atau internship. Total semua sukarelawan mencapai 22.375 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pemeriksaan dan pelacakan menjadi satu paket penanganan untuk mencegah penyebaran infeksi lebih efektif, khususnya identifikasi kasus kluster. Jenis kasus kluster yang melibatkan banyak orang mencapai jumlah yang besar, Kemenkes mencatat ada 1.779 kluster penyebaran Covid-19.
Perawatan dan vaksinasi
Perawatan pasien menjadi faktor penting upaya memutus rantai penularan virus. Saat dalam perawatan, pasien Covid-19 perlu mendapat layanan intensif mengingat ini jenis virus baru dengan banyak kemungkinan-kemungkinan gejala yang bisa muncul tanpa diduga. Perawatan dilakukan dengan cara pemberian obat-obatan dan ventilator.
Ada tujuh jenis obat yang telah didistribusikan ke rumah sakit rujukan Covid-19 dengan total sebanyak lebih dari 43 juta obat. Jenis obat paling banyak digunakan adalah Azythromycin (13,2 juta butir) dan Klorokuin (11,9 juta butir).
Perhatian pemerintah perlu difokuskan ke rasio keterisian kamar tidur ICU dan isolasi rumah sakit rujukan pasien Covid-19. Persentase okupansi kamar makin lama makin membesar. Kondisi tersebut tentu dipengaruhi oleh kenaikan kasus yang masih terus meningkat.
Persentase okupansi kamar pada bulan Maret masih sekitar 33,6 persen, kemudian naik tajam pada bulan Mei hingga 54,5 persen. Sempat menunjukkan kelonggaran pada bulan Agustus yang turun 43,5 persen. Saat itu, banyak rumah sakit yang menambah kapasitas kamar tidur, termasuk membangun fasilitas kesehatan lain. Akan tetapi, hingga pertengahan Desember 2020, okupansi telah mencapai 61 persen.
Langkah penanganan berikutnya adalah vaksinasi yang direncanakan sepanjang tahun 2021 secara bertahap dan bersifat gratis. Jumlah penduduk yang harus divaksin minimal 70 persen dari total penduduk atau sekitar 182 juta orang.
Penggratisan vaksin untuk rakyat adalah bentuk kehadiran negara dan upaya nyata perwujudan menjamin hak untuk kesehatan. Jaminan hak untuk kesehatan telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Perjalanan Indonesia menghadapi pandemi dapat dikatakan tidak mudah. Upaya pengadaan alat kesehatan sudah dilakukan untuk mendukung berjalannya protokol kesehatan. Keseriusan pengadaan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) terlihat dari kenaikan tajam produksi.
Jumlah produksi masker pada pertengahan Desember 2020 naik hingga 834,6 persen dibandingkan pada Februari 2020. Demikian pula produksi alat pelindung diri atau APD (5.114,3 persen), sarung tangan bedah (242,9 persen), dan hand sanitizer (1.024,4 persen).
Namun, mencermati masih masifnya penularan virus korona, sebagai evaluasi tahun 2020 dan menyambut 2021, fokus penanganan pandemi dapat dilakukan dengan menguatkan kebijakan 3T, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), serta vaksinasi.
Kerja sama pemerintah dengan rakyat adalah harga yang tak bisa ditawar. Setiap pihak mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan protokol kesehatan sehingga tujuan akhir dari seluruh proses penanganan pandemi, yaitu terjaminnya kehidupan masyarakat yang sehat dan sejahtera, dapat segera tercapai. (LITBANG KOMPAS)