Dalam kondisi pandemi, tanpa perayaan beramai-ramai, kita berharap Tahun Baru justru menemukan maknanya dan memberikan kesempatan refleksi mendalam tentang nasib bangsa ini pada 2021.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Nama bulan Januari diambil dari nama dewa di Romawi, Janus. Dewa ini punya dua kepala, satu menghadap ke depan satunya lagi menghadap ke belakang. Gambar dua kepala ini representasi pemisahan antara yang lama dan yang baru sebagaimana terjadi pada akhir tahun, perpisahan dari tahun 2020 dan menatap ke depan tahun 2021.
Perayaan, upacara, dan festival Tahun Baru sering dipandang sebagai kesempatan berefleksi tentang berbagai hal yang telah dilakukan dalam setahun yang lewat serta memikirkan apa yang mesti dilakukan dalam setahun ke depan. Karena menjadi momen refleksi dan renungan, Tahun Baru dijadikan sebagai hari libur di banyak negara.
Masyarakat dunia mengekspresikan penyambutan terhadap Tahun Baru secara berbeda. Ada perayaan yang memiliki landasan keagamaan, ada pula yang sekadar peristiwa musiman. Di Jepang, kuil-kuil Buddha membunyikan lonceng sebanyak 108 kali setiap malam Tahun Baru. Acara ini disebut Shogatsu.
Di Spanyol, sebagian orang merayakan Tahun Baru dengan memakan anggur sebelum tengah malam sebagai simbol harapan mereka pada tahun-tahun yang akan datang. Di Kuba, Austria, Hongaria, dan Portugal, babi adalah jamuan malam Tahun Baru. Ini dilakukan karena binatang ini diyakini sebagai simbol kemajuan dan kesejahteraan.
Di Chile, Tahun Baru justru ditandai oleh sebagian masyarakat dengan mengunjungi kuburan dan menghabiskan malam bersama orang-orang terkasih yang sudah meninggal dunia. Di Amerika Serikat, perayaan Tahun Baru yang paling terkenal adalah menjatuhkan bola raksasa di Times Square, New York.
Di Skotlandia, perayaan Tahun Baru dilakukan dengan makan-makan, berdansa, dan menyanyikan lagu ”Auld Lang Syne” (Hari-hari yang Telah Berlalu). Di banyak tempat lain, perayaan Tahun Baru kerap dimeriahkan pesta kembang api dan countdown waktu.
Negara atau masyarakat yang tidak menggunakan sistem penanggalan matahari akan merayakan Tahun Baru pada waktu yang berbeda. Ini, misalnya, dilakukan di Tiongkok, Korea, Kamboja, Thailand, dan Vietnam yang memiliki tradisi penggunaan kalender berdasar peredaran bulan.
Umat Islam juga menggunakan kalender yang berdasarkan perhitungan bulan atau disebut kalender Hijriyah. Demikian juga halnya dengan sebagian masyarakat Jawa. Oleh karena itu, mereka lebih merayakan Tahun Baru yang berlangsung pada 1 Muharram atau 1 Suro daripada 1 Januari.
Memang, dalam suasana pandemi saat ini, pemerintah telah melarang dan mencegah berbagai perayaan Tahun Baru yang dilakukan beramai-ramai dan berkerumun. Namun di banyak tempat, perayaan dengan kembang api tetap dilangsungkan dan lagu ”Auld Lang Syne” tetap dinyanyikan negara-negara Eropa menjelang malam Tahun Baru.
Lagu ”Auld Lang Syne” awalnya merupakan puisi yang ditulis Robert Burns pada 1788. Ia bercerita tentang perpisahan dan kenangan masa lalu. Haruskah teman lama dilupakan dan tak pernah diingat kembali? Haruskah peristiwa-peristiwa pada tahun yang telah lewat dilupakan begitu saja dan tak dijadikan pelajaran untuk tahun mendatang? Dengan mengingat masa lalu, kita perlu berbuat lebih baik di tahun depan. Dari sinilah mengapa orang lantas membuat resolusi di malam Tahun Baru.
Tentu makna Tahun Baru bisa tetap dipertahankan meski tanpa keramaian perayaan. Misalnya, dengan meresapi lagi ”Auld Lang Syne” itu, kita bisa berefleksi tentang kondisi umat manusia, dan tentu saja bangsa ini, yang hampir setahun dibayang-bayangi maut karena pandemi belum juga teratasi. Kita bisa melihat, salah satu kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi Covid-19 terletak pada kekuatan modal sosial yang dimilikinya.
Di tengah keterbatasan, dan kadang kesimpangsiuran beberapa kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani pandemi, berbagai elemen masyarakat hadir membantu. Dua hal yang perlu dicatat di sini adalah semangat filantropi yang tinggi dari masyarakat Indonesia dalam mengurangi beban mereka yang membutuhkan dan associations atau lembaga-lembaga yang turun berjuang meringankan beban pemerintah dan mengisi kekurangan atau kelemahan negara.
Ketika ada sebagian kelompok agama yang dituduh sebagai super spreader atau viral vector Covid-19, Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, misalnya, ber-”jihad kemanusiaan” dengan mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki untuk membantu mengatasi Covid-19.
Bukan hanya dalam bentuk fatwa dan doa, sejak bertemu Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, organisasi ini langsung mendirikan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Muhammadiyah juga mengonversikan 77 rumah sakit yang dimilikinya untuk melayani pasien Covid-19, mengerahkan sekitar 60.000 sukarelawan, dan menggelontorkan sekitar Rp 130 miliar untuk mendukung program-program pencegahan Covid-19 lainnya.
Modal sosial berupa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah itu pula yang selama ini ikut membentengi Indonesia dari radikalisme dan terorisme, merawat toleransi, dan ikut memberi pendidikan dan layanan kesehatan pada masyarakat yang tak terjangkau oleh program-program pemerintah.
Tak bisa dibayangkan bagaimana kondisi bangsa ini jika ormas-ormas keagamaan yang dimilikinya justru menjadi benalu, aktor penyebar virus, dan pengganggu bagi keberlangsungan pemerintahan.
Apakah kawan lama ini akan diabaikan dan dilupakan dan kemudian lebih memilih untuk mendengar serta bergandengan tangan dengan kawan baru yang belum terbukti kesetiaan dan kontribusinya?
Dalam kondisi normal, perayaan Tahun Baru sebetulnya merupakan perayaan bersama masyarakat dari berbagai kelas dan strata. Ia bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memperkuat bonding (ikatan sosial) dan menjadi jembatan (bridging) antara berbagai elemen masyarakat. Arena perayaan atau festival merupakan tempat melebur dan berinteraksi. Namun, peran-peran itu kadang hanya bersifat simbolik, kering implementasi.
Dalam kondisi pandemi, tanpa perayaan beramai-ramai, kita berharap Tahun Baru justru menemukan maknanya dan memberikan kesempatan refleksi mendalam tentang bangsa ini pada 2021. Modal sosial bangsa ini, sebagaimana sekarang, nanti akan sangat dibutuhkan sebagai kekuatan ketika kita melakukan vaksinasi dan pemulihan kehidupan pasca pandemi.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)