Musik Baik Menemani di Masa Buruk
Ketangguhan musik dan orang-orang di baliknya teruji di masa sulit seperti era pandemi ini. Sepanjang tahun 2020, lagu-lagu baru bermunculan. Cara menonton pertunjukan pun tak lagi sama.
Karya musik baru dan inovasi pertunjukan musik terus bermunculan sepanjang tahun 2020 yang terasa janggal ini. Band-band idola lama hadir lagi dengan karya baru mereka. Menonton konser bisa sambil selonjoran di rumah. Musik punya ketangguhannya sendiri.
Grup White Shoes and the Couples Company (WSATCC) memberikan kejutan manis sebagai penutup tahun 2020. Tepat di hari terakhir tahun itu, sektet asal Jakarta ini mengumumkan bahwa 11 lagu mereka di album teranyar sudah bisa didengarkan melalui aplikasi Demajors, label distributor mereka.
Kabar itu sungguh menyenangkan. Semula, album berjudul 2020 tersebut direncanakan akan hadir terlebih dulu dalam kemasan CD edisi khusus. Pendengar mulai memesan sejak 20 Desember dan baru akan dikirimkan pada akhir Januari ini. Namun, sebelum tahun berganti, ternyata albumnya sudah bisa didengar. Apalagi, album teranyar mereka cukup dinanti. Terakhir kali mereka melepas album penuh adalah Album Vakansi, tepat 10 tahun silam.
Meski menjadikan angka 2020 sebagai judul album, cerita yang hendak mereka sampaikan di dalamnya tidak secara eksplisit membicarakan hal spektakuler yang terjadi pada tahun itu. Pengerjaan album sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Namun, karena kesan mendalam yang dirasakan sepanjang tahun 2020, beberapa keping cerita di album ini bisa dimaknai sebagai refleksi atas apa yang terjadi.
Tembang pembuka ”Rumah”, misalnya, jadi bisa diartikan sebagai pengukuhan peran rumah sebagai kubah perlindungan dari virus Covid-19. ”Rumahku tidak besar, tetapi kokoh. Ditiup serigala, tak mungkin roboh,” adalah salah satu penggalan lirik yang dinyanyikan Aprilia Apsari di lagu yang mengalun sendu itu. ”Serigala” adalah metafora dari ancaman, yang di masa pandemi ini berwujud virus.
Lagu itu langsung mengingatkan pada warna musik pop khas WSATCC yang terdengar akustik dan bernuansa antik. Bisa dibilang, warna ini tidak berubah sejak album pertama mereka pada 2005. Eksplorasi music WSATCC di Album Vakansi dan puncaknya di album mini Menyanyikan Lagu-lagu Daerah (2013) masih dilanjutkan pada album 2020. Pendeknya, meski berisi lagu baru, pendengar setia mereka tak merasa asing menyimak album ini.
Tembang lainnya terdengar lebih ramai, berkilauan layaknya lampu kota. Ada lagu ”Hidup Hanya Sekali”, ”Sam dan Mul”, serta lagu unggulan ”Irama Cita” yang menggambarkan keping-keping keriaan menyikapi tahun suram 2020. Jangan lupakan juga lagu ”Folklor” yang begitu menggeliat dengan larik seolah mantra, ”Berat beban tak terasa, setiap saat riuh bekerja.”
Sari, Yusmario Farabi (gitar elektrik dan akustik, vokal), Saleh Husein (gitar elektrik, vokal), Ricky Virgana (bas, selo, dan synthesizer), Aprimela Prawidiyanti (kibor, viola, dan synthesizer), serta John Navid (drum, vibes) memamerkan bunyi-bunyi dari beragam instrumen dengan amat baik. Produksi suara arahan eksekutif produser Aradea Barandana terdengar prima.
Album 2020 mengantarkan WSATCC kembali ke arena musik justru ketika kancah ini sedang lesu darah sebagai dampak dari pandemi. Beberapa band lain, yang ”seangkatan” dengan mereka, juga memproduksi dan mengeluarkan karya baru.
Kabar itu sungguh menyenangkan. Semula, album berjudul 2020 itu direncanakan akan hadir terlebih dulu dalam kemasan CD edisi khusus. Pendengar mulai memesan sejak 20 Desember dan baru akan dikirimkan pada akhir Januari ini. Namun, sebelum tahun berganti, ternyata albumnya sudah bisa didengar.
Ubah rencana
Pada Mei 2020, grup pop elektronika Goodnight Electric melepas album Misteria. Materi-materi lagunya rampung digarap persis sebelum dunia rehat akibat pandemi. Semula mereka merencanakan peluncuran album pada April, tetapi pandemi memaksa mereka memundurkannya.
Mereka mengambil risiko mengeluarkan album walau kondisi sedang tidak mengenakkan. ”Sepertinya sekarang (masa pandemi) saat yang tepat meluncurkan album. Semua orang sedang diam di rumah dan orang-orang ramai di media sosial,” kata Henry Foundation, pentolan Goodnight Electric, saat peluncuran album tersebut.
Media sosial menjadi sarana ampuh bagi grup yang aktif sejak 2003 ini mempromosikan materi baru mereka. Memang, sejak 2016, ketika grup ini ”bangun” dari masa hiatus berkepanjangan, mereka gencar berstrategi di media sosial. Lagu baru adalah materi emas mengisi konten.
Apalagi, warna musik Goodnight Electric di album ini bergeser, dari yang semula berfondasi di bunyi sintetis, kini lebih banyak diisi instrumen analog. Henry, Mateus ”Bondi” Bondan, dan Narpati ”Oomleo” Awangga kini ditemani tiga anggota baru, yaitu Vincent Rompies (bas), Andi Hans (gitar), dan Priscilla Jamail (vokal latar).
Nuansa disko dalam lagu-lagu lama mereka menjadi agak meredup. Lagu-lagu seperti ”Misteria”, ”-Dopamin”, dan ”Saksikan Akhir Dunia Denganku” terasa pas mengiringi masa penuh ketidakpastian di masa pembatasan sosial.
Jika Goodnight Electric melempar album baru dalam format digital terlebih dulu, band Mocca dari Bandung justru mengutamakan format CD. Pada November lalu, band pop yang aktif sejak 1999 ini melepas album penuh keenam mereka berjudul Day by Day. Sampul album itu bergambar laki-laki dan perempuan mengenakan masker, pemandangan lumrah di mana-mana belakangan ini.
Semula, Mocca tak berencana membuat album panjang, tetapi menyiapkan album mini untuk diedarkan April. Namun, setelah lagu ”Simple I Love You” keluar pada bulan Februari, pandemi melanda. Rencana mini album ditunda. Karantina mandiri di rumah masing-masing justru memberi mereka waktu lebih banyak menyiapkan materi baru.
Arina Ephipania (vokal, ukulele), Riko Prayitno (gitar, bas, vokal latar), Toma Pratama (bas, vokal latar), dan Indra Massad (drum, vokal latar) mengerjakan bagian masing-masing dari rumah. Mereka jadi belajar menyiapkan peralatan dan merekam lagu dari rumah.
Lagu-lagu di album ini bernuansa riang dan memberikan semangat positif. Coba saja dengar lagu ”Everything is Gonna Be Fine”, ”Brand New Day”, atau yang menampilkan Rekti Yoewono dari The Sigit ”There’s a Light at the End of the Tunnel”. Harapan coba dipantik lewat lagu-lagu di album. Akhir pekan ini, Mocca akan menggelar pertunjukan virtual menandai perilisan format digital album ini.
Beberapa band ”veteran indie” lain yang muncul lagi di tahun pandemi di antaranya adalah Koil, The Sigit, dan The Brandals. Koil muncul dengan ”album” First Installment yang berisi dua lagu baru, ditambahi versi remake dari beberapa lagu lama serta gubahan lagu milik band favorit mereka. The Sigit menawarkan lagu asyik ”Another Day”, sedangkan The Brandals lewat lagu ”The Truth is Coming Out”. Masing-masing mereka sedang fokus merampungkan album penuh.
Adaptasi konser
Masa pembatasan sosial pun mendorong para pelaku industri panggung beradaptasi dengan keadaan. Hal lumrah yang terjadi sepanjang tahun 2020 adalah menjamurnya pertunjukan dalam jaringan atau konser virtual. Ada yang gratis, ada yang berbayar. Tak sedikit juga yang menuai donasi untuk menyambung pendapatan para awak panggung.
Salah satu yang fenomenal adalah ”pindahnya” festival tahunan Synchronize Festival. Jika sejak 2016 festival musik dalam negeri lintas genre itu dihelat offline di kawasan Gambir Expo, Jakarta, pada 14 November lalu, arenanya pindah di kanal televisi SCTV dan aplikasi Vidio.
Pertunjukan tetap berjalan seru, tetap dengan formula khas Synchronize, seperti pengisi acara dan kolaborasi tak terduga. Di layar kaca, misalnya, penonton melihat aksi duet raja dangdut Rhoma Irama dengan disjoki kenamaan Dipha Barus, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara itu, keterbatasan pertunjukan virtual merisaukan duo elektronika Bottlesmoker. Anggung Suherman dan Ryan Adzani merasa perlu tampil langsung (offline) tapi tak menambah risiko penyebaran virus. Akhirnya, mereka menggagas konser khusus untuk ”ditonton” tanaman bertajuk Plantasia.
Baca juga: Industri Musik Tersungkur di 2020, (Coba) Bangkit di 2021
”Setelah ide itu keluar, kami menemukan di referensi bahwa ada efek positif dari bunyi yang dirasakan tanaman,” kata Angkuy, sapaan Anggung Suherman, awal Desember lalu, seusai tampil di pelataran Central Park, Jakarta. Pentas Plantasia ini menambah pendengar baru mereka, yaitu tanaman dan manusia pengasuhnya.
Catatan ini (semoga) bisa mewakili pergulatan pelaku industri musik di masa penuh keterbatasan dan ketidakpastian ini. Jangan terlalu khawatir, musik-musik bagus masih tangguh menemani pendengarnya di kondisi sesulit apa pun.