Format pembatasan sosial berskala besar yang akan diterapkan lagi diharapkan efektif menekan laju sebaran Covid-19 tanpa menyebabkan sektor ekonomi semakin terpuruk.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Rencana penerapan pembatasan sosial berskala besar di wilayah Jawa dan Bali mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Format pembatasan kali ini diharapkan efektif menekan laju sebaran Covid-19 tanpa menyebabkan kontraksi lebih dalam pada sektor ekonomi.
Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono, Kamis (7/1/2021), mengatakan, Satgas Penanganan Covid-19 Sidoarjo secepatnya menggelar rapat koordinasi untuk menindaklanjuti terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan untuk pengendalian penyebaran Covid-19.
”Rapat koordinasi itu untuk menentukan format pembatasan agar benar-benar tepat, cepat, fokus, dan terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, diharapkan tidak semakin membuat sektor ekonomi terpuruk,” ujar Hudiyono.
Menurut Hudiyono, dalam menerapkan PSBB nanti, pihaknya juga harus berkoordinasi dengan Pemprov Jatim karena Sidoarjo merupakan bagian dari kawasan Surabaya Raya. Sesuai instruksi mendagri tersebut, daerah sasaran pembatasan kegiatan masyarakat di Jatim difokuskan di Surabaya Raya dan Malang Raya.
Meski demikian, mengacu pada instruksi mendagri tersebut, kepala daerah dapat membuat peraturan yang mengatur secara spesifik pembatasan kegiatan masyarakat di wilayahnya. Pengaturan secara spesifik pernah dilakukan Sidoarjo pada masa PSBB tahun lalu dengan menerapkan jam malam.
Hudiyono berharap PSBB di wilayahnya tidak diterapkan secara total, melainkan berdasarkan risiko sebaran Covid-19. Misalnya, PSBB total berupa pengetatan mobilitas warga hanya diterapkan di zona merah, sedangkan di kecamatan yang masuk zona kuning hanya diberlakukan pembatasan kegiatan berupa jam malam.
Alasannya, apabila PSBB diterapkan total di seluruh wilayah, akan berdampak signifikan pada kegiatan ekonomi Sidoarjo yang merupakan sentra industri di Jatim. Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di kota satelit Surabaya ini juga besar dan turut menopang pertumbuhan ekonomi Jatim.
Berkaca dari penerapan PSBB tahun lalu saat awal masa pandemi Covid-19, dampak pada sektor ekonomi signifikan, di antaranya angka kemiskinan bertambah dan angka pengangguran terbuka melonjak tajam. Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan tingkat pengangguran terbuka di Sidoarjo pada Agustus 2020 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan 38 kabupaten dan kota di Jatim.
Tingkat pengangguran terbuka Sidoarjo per Agustus 2020 tercatat sebesar 10,97 persen dari penduduk usia kerja atau sebanyak 131.000 orang. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan Agustus 2019 yang sebanyak 54.000 orang atau 4,62 persen dari penduduk usia kerja.
Sidoarjo mencatatkan kenaikan angka pengangguran terbuka sebanyak 77.000 orang. Kenaikan jumlah penganggur ini merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, penambahan jumlah penganggur ini merupakan dampak pandemi Covid-19.
Penambahan kasus harian berimplikasi pada peningkatan pemakaian ruang perawatan di rumah sakit rujukan Covid-19.
BPS mendata, total penduduk usia kerja yang terkena dampak Covid-19 mencapai 357.700 orang. Mayoritas adalah penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 dengan angka 288.200 orang. Adapun jumlah penduduk yang tidak bekerja karena Covid-19 sebanyak 12.900 orang.
Jumlah pengangguran terbuka pun diprediksi semakin besar saat ini. Itu terjadi karena sudah ada 11 perusahaan yang menyatakan secara terbuka merelokasi usahanya ke daerah lain. Alasannya, biaya operasional di Sidoarjo tinggi karena upah minimum kabupaten (UMK) 2021 naik Rp 100.000 per bulan per pekerja.
Berkaca dari kondisi ekonomi tersebut, Pemkab Sidoarjo berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Meski demikian, komitmen untuk menekan laju sebaran Covid-19 tetap tinggi mengingat kasus terus bertambah setiap hari dan berdampak pada fasilitas kesehatan yang mulai kewalahan.
Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo Syaf Satriawarman mengatakan, terdapat penambahan kasus baru Covid-19 sebanyak 30 kasus sehingga secara kumulatif jumlahnya menjadi 8.173 kasus. Penambahan kasus harian berimplikasi pada peningkatan pemakaian ruang perawatan di rumah sakit rujukan Covid-19.
Saat ini, dari 95 kapasitas tempat tidur ICU Covid-19, terisi 80 tempat tidur atau 84 persen. Sementara itu, dari 750 kapasitas tempat tidur isolasi Covid-19, terisi 691 tempat tidur atau sekitar 92 persen. Rata-rata keterisian tempat tidur Covid-19 di Sidoarjo jauh melampaui standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 50 persen dari kapasitas. ”Menyikapi hal itu, Dinas Kesehatan Sidoarjo telah meminta seluruh rumah sakit nonrujukan untuk menerima pasien Covid-19,” ujar Syaf.
Di Sidoarjo, terdapat 27 rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11 rumah sakit ditunjuk menjadi RS rujukan Covid-19. Selain itu, untuk isolasi pasien dengan gejala ringan dan sedang, disediakan hotel.
Sekretaris Dinas Kesehatan Sidoarjo Zuhaida menambahkan, kapasitas ruang isolasi hotel juga telah ditingkatkan dari awalnya 40 orang menjadi 70 orang. Baru-baru ini, kapasitas ruang isolasi di hotel ditambah lagi menjadi 120 orang. Fasilitas isolasi hotel ini ditanggung penuh oleh pemda dengan biaya bersumber dari APBD Sidoarjo tahun berjalan.