Masuk ke Dasar Lubang Tambang demi Satu Bingkai Foto
Dasar tambang terasa dingin dan lembab. Selain karena embusan angin kompresor, badan pun basah oleh ”gerimis” dan tentunya akibat saya bertelanjang dada. Lebih 30 menit di dasar tambang, jari-jari tangan pun keriput.
Foto pekerja tambang emas di Serra Pelada, Brasil, dalam buku fotografi Workers karya Sebastiao Salgado di halaman 301 memperlihatkan aktivitas tambang tradisional yang begitu dramatis, sekaligus mengerikan.
Foto itu membuktikan praktik nyata perbudakan atas 50.000 laki-laki pekerja tambang di bawah pengawasan militer bersenjata sejak area tambang dibuka pada 1979. Dalam kurun waktu lebih kurang enam tahun sejak momen itu diabadikan, otoritas militer Brasil melarang foto terkait beredar dan ditayangkan.
Baru pada September 1986, foto hitam putih yang sangat dramatis itu bisa dinikmati publik secara luas. Foto pekerja tambang Serra Pelada adalah satu dari beberapa seri pekerja di sejumlah negara yang diabadikan secara humanis oleh Salgado dalam bukunya yang berjudul Workers, terbit pada 1993.
Akses menuju tambang ternyata tak semudah yang dibayangkan. Tambang emas melibatkan banyak kepentingan dan rantai pekerjaan.
Sebagai jurnalis foto yang saat itu baru lima tahun bekerja di Kompas, melihat mahakarya foto yang sangat dramatis itu spontan memicu adrenalin untuk ”meniru” gaya Salgado merekam kegiatan para pekerja kasar menyambung hidup.
Terlintas nama Minahasa, sebuah lokasi tambang tradisional di Sulawesi Utara yang sangat masif dan unik. Kegiatan tambang rakyat rasanya juga tak banyak terekam oleh kamera jurnalis.
Pucuk dicinta, penugasan pun tiba. Saya ditugaskan berangkat ke Manado 19 Juli 2010 untuk meliput kapal Oekanos Explorer milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Kapal ini baru tiba di Indonesia dalam rangka kerja sama penelitian kelautan dengan Kapal Baruna Jaya IV milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Baca juga: Dikira Korban Pemerkosaan, Diusir dari Ruang Sidang
Momen ini saya manfaatkan untuk mengejar ”proyek pribadi” memotret pekerja tambang di Minahasa. Saya pun mengajukan tambahan waktu tiga hari demi mengejar sebuah ambisi foto ala-ala Salgado untuk saya usulkan sebagai foto cerita yang terbit setiap hari Minggu di koran Kompas.
Akses menuju tambang ternyata tak semudah yang dibayangkan. Tambang emas melibatkan banyak kepentingan dan rantai pekerjaan. Tidak mudah mendapat izin memotret pekerja tambang tanpa ada jaminan kepercayaan.
Situasi ini bisa dipahami karena berurusan dengan kelangsungan periuk nasi mereka. Apalagi perputaran uang dari hasil penambangan emas di sana tidak sedikit. Mereka akan sangat protektif.
Terlebih banyak warga sekitar yang juga menggantungkan hidup dari aktivitas penambangan. Ditambah, pemberitaan mengenai lokasi tambang yang lebih sering bernada negatif, kian membuat mereka menutup diri dari publikasi.
Baca juga: Dari Boks Bayi sampai Kick Andy
Saya pun harus mencari orang lokal yang memiliki akses ke lokasi tambang. Melalui bantuan rekan jurnalis Basrul Haq yang bertugas di Manado, saya dikenalkan dengan orang lokal yang berteman baik dengan salah satu pemilik lokasi tambang.
Pemilik lokasi tambang belum tentu adalah petambang. Umumnya mereka adalah pemilik tanah atau penyewa tanah dari pihak lain yang menerima imbal hasil dari para pekerja tambang. Persentase yang diperolehnya bisa jauh lebih besar ketimbang pekerja tambang yang notabene menanggung risiko jauh lebih besar.
Rabu pagi, 21 Juli 2010, saya tiba di salah satu lubang tambang di Tatelu, Minahasa Utara. Dari jalan desa, saya harus berjalan kaki masuk hutan sekitar 500 meter. Saya kemudian bertemu Ahmad, salah satu pekerja yang tinggal bersama keluarganya di lokasi tambang. Mereka membangun gubuk kecil dengan satu kamar tidur bersebelahan dengan dapur.
Perkenalan saya dengan Ahmad sangat singkat. Diawali dengan menyebutkan nama dan tempat bekerja lantas maksud kedatangan saya ke lokasi tambang. Tidak banyak pertanyaan yang disampaikan Ahmad.
Baca juga: Saat Saya Dinyatakan Positif Covid-19
Barangkali karena dia sudah mendapat kabar sebelumnya dari pemilik tambang perihal rencana kedatangan saya. Ia hanya menanyakan dua hal saja kepada saya pagi itu. ”Sudah sarapan?” dan ”Nanti ikut turun ke tambang?”
Sebelum saya memutuskan masuk atau tidak ke dasar tambang, saya menanyakan beberapa hal kepada Ahmad seputar kegiatan yang dilakukan oleh petambang. Misalnya, bagaimana cara mereka menambang, alat apa saja yang digunakan, dan berapa lama mereka bekerja dalam satu hari.
Saya juga menanyakan berapa banyak material yang mereka angkut per hari dan sejumlah pertanyaan lain sebagai bahan informasi untuk melengkapi foto cerita saya. Obrolan sambil menyeruput teh hangat ini sengaja saya lakukan di awal karena saya prediksi akan sulit dilakukan ketika mereka sedang bekerja.
Di sana, Ahmad tidak bekerja sendiri. Ia berbagi pekerjaan dengan tiga orang lainnya. Menggali tanah di dasar tambang dilakukan oleh tiga orang, sedangkan satu orang lainnya mengoperasikan alat timba untuk mengangkat material tambang dari dasar lubang ke permukaan. Orang ini sekaligus menyuplai makanan dan minuman saat jam makan siang.
Baca juga: Yang Sulit Dilupakan dari Tsunami Aceh
Dua rekan Ahmad kemudian bergegas masuk ke lubang tambang, sementera Ahmad mendampingi saya. Di permukaan lubang tidak banyak kegiatan dikerjakan. Juru timba hanya menunggu aba-aba dari dasar tambang melalui tali timba yang digerakkan. Seolah mereka memiliki kode yang saling mereka pahami.
Untuk mencukupi suplai oksigen, para petambang mengandalkan kompresor angin yang diembuskan melalui plastik hingga ke dasar tambang. Juru timba pula yang bertanggung jawab menjaga agar kompresor selalu menyala.
Selepas mengabadikan beberapa momen menarik di permukaan tanah, saya kemudian memutuskan turun ke dasar tambang. Tas kamera beserta perlengkapan lain saya tinggal.
Rasanya cukup hanya berbekal satu kamera dengan lensa 16-35 mm. Kapasitas kartu memori pun cukup besar dan baterai kamera menunjukkan indikator masih penuh berisi daya. Saya cukup membawa lampu senter kepala (head lamp) dan sehelai kain selendang untuk melindungi kamera.
Baca juga: Bom Natal Membuat Kami Jadi Loper Koran
Saya pun masuk ke lubang tambang. Lubang ini vertikal dengan diameter 2,5 meter dan lebar 0,5 meter. Sementara kedalamannya diperkirakan lebih dari 40 meter. Seluruh dinding tambang ditopang balok kayu untuk menjaga agar tanah tidak longsor.
Sebelumnya, Ahmad mendahului masuk sebagai penunjuk jalan. Saya mengikuti dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Semakin dalam, semakin gelap dan lembab. Balok-balok kayu penopang dinding berfungsi juga sebagai anak tangga. Kaki dan tangan saya bergantung betul pada balok-balok kayu licin itu.
Di kedalaman tertentu terdapat lampu yang digantung sebagai penerang dan penanda. Selebihnya, saya mengandalkan lampu senter yang ada di kepala. Rasa-rasanya lebih dari 15 menit baru saya bisa mencapai dasar tambang.
Setibanya di dasar, saya merasa takjub. Meski ini bukan lubang tambang pertama yang saya masuki, dasar tambang di sini sedikit berbeda. Air menetes di banyak titik seperti hujan gerimis. Baju yang saya kenakan basah seketika. Saya memutuskan melepas baju untuk saya gunakan sebagai lap dan pelindung kamera yang mulai basah.
Baca juga: Kolor untuk Maryoto
Di dasar tambang, ruang sedikit lebih lebar. Saya perkirakan ukurannya sekitar 4 meter persegi dengan dinding tak rata akibat dikeruk. Saya memperhatikan bagaimana Ahmad bekerja, sesekali saya membidiknya. Setelah itu, segera saya bungkus kembali kamera dengan baju untuk menghindari cipratan air.
Ahmad sangat berpengalaman memilah dinding mana yang mengandung urat emas. Sudah 15 tahun ia bekerja sebagai petambang emas. Ia tidak sembarang menggali material dan melebarkan lubang tanpa hasil.
Dasar tambang terasa sangat dingin dan lembab. Selain karena embusan angin kompresor, badan pun basah oleh ”gerimis” dan tentunya akibat saya bertelanjang dada. Lebih dari 30 menit di dasar tambang, jari-jari tangan mulai keriput.
Saya lalu memutuskan naik ke permukaan karena merasa foto penggalian di dasar tambang sudah cukup. Lagi pula masih ada beberapa momen lain yang perlu saya abadikan hari itu. Saya pun masih bisa kembali ke lokasi tambang seandainya diperlukan.
Baca juga: Saat Wartawan Menjadi Anggota KPPS di Tengah Pandemi
Di tempat tambang rakyat Tatelu ini, saya menjumpai keunikan berupa cara angkut material menuju lokasi pengolahan emas. Material batu bercampur tanah yang sudah dikemas dalam karung diangkut menggunakan sapi.
Ada warga yang khusus menyewakan jasa angkut, salah satunya Nusa beserta anaknya, Meidi, yang menerima upah Rp 12.000 untuk satu rit (satu kali angkut). Sapi-sapi berjalan menyusuri parit yang sengaja dibuat sedemikian rupa agar jalan tidak menanjak karena beban yang dibawa sapi sudah sangat berat.
Begitu banyak pemberitaan soal pekerja tambang yang tertimbun longsor atau meninggal kekurangan oksigen.
Setibanya di tempat pengepul, material diolah mengunakan merkuri dalam drum-drum yang berputar selama berjam-jam. Satu karung material dihargai Rp 50.000 hingga Rp 80.000. Hasil inilah yang dibagikan Ahmad kepada rekannya dan pemilik tambang.
Jika kini mengingat kembali momen 10 tahun lalu memasuki lubang tambang tradisional itu, rasanya ngeri sendiri mengingat betapa nekatnya saya saat itu. Begitu banyak pemberitaan soal pekerja tambang yang tertimbun longsor atau meninggal kekurangan oksigen. Sementara saya, hanya bermodal nekat mengikuti bisikan hati ketika memutuskan turun ke dalam lubang. Semua demi satu bingkai foto pelengkap foto cerita yang saya inginkan.
Sekarang? Saya akan berpikir ratusan kali untuk masuk ke lubang yang sama.