Pohon Keramat
Sebatang pohon ikut berjasa menjaga masa depan bumi dan penghuninya. Menjaga hutan dari kebakaran adalah urgen.
Sebatang pohon hama tumbuh dekat rumah ibu Naldo Rei di Iralafai, kampung di ujung timur Lospalos, Timor Leste. Tinggi menjulang. Berdaun rimbun. Lekuk pada batangnya mirip pahatan. Akarnya mencengkeram bumi. Hama, dalam bahasa Fataluku, berarti beringin. Pohon tersebut saksi berbagai peristiwa dan kehilangan yang dialami keluarga Naldo Rei.
Di masa tertentu, Naldo mengadu kepada hama, berdiri sambil menengadah di bawahnya. Di waktu lain, ia membayangkan dirinya sebatang hama, sedangkan para leluhur adalah akar, yang menembus bebatuan untuk menemukan air kehidupan.
Bagi jiwa-jiwa yang lemah, hama atau beringin menakutkan. Namun, di masa penjajahan Belanda, pohon bambu lebih ditakuti. Pemerintah kolonial melarang angklung, alat musik yang terbuat dari bambu, dimainkan secara massal karena menganggapnya dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat.
Pohon juga dipercaya mampu menyerap emosi manusia. Di Jepang, ada orang-orang yang sengaja pergi ke hutan untuk berbicara kepada pohon demi menyehatkan jiwa.
Peter Wohlleben, seorang ahli kehutanan Jerman, menulis buku khusus tentang pohon, The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate, yang terbit pada 2016. Selama dua dekade mengamati perilaku pohon beech dan mempelajari pohon lain, ia meyakini pohon merupakan makhluk sosial dan memiliki bahasa. Pohon-pohon terhubung melalui akar untuk berbagi nutrisi. Komunikasi antarpohon melalui aroma, yang terkait dengan sistem keamanan.
Ia mencontohkan kasus pohon akasia. Ketika daun-daunnya dilahap jerapah, pohon akasia mengeluarkan gas etilen untuk mengirim tanda bahaya kepada pohon-pohon tetangganya dari spesies yang sama, sehingga pohon-pohon ini serentak memompa racun ke daun masing-masing sebagai pertahanan diri. Jamur bahkan berfungsi seakan serat optik yang meneruskan pesan darurat itu kepada pohon-pohon tersebut.
Oleh karena itu, menurut Wohlleben, hutan merupakan superorganisme yang memiliki interkoneksi, seperti koloni-koloni semut. Hutan-hutan pesisir, katanya, berperan menghubungkan samudra dengan sudut terjauh di daratan untuk menyalurkan air.
Masyarakat adat Mollo di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, memaknai hutan sebagai kulit, paru-paru, dan rambut. Kulit amat penting karena membungkus dan melindungi tubuh. Paru-paru memompa oksigen ke dalam darah. Rambut mengatur suhu tubuh.
Ketika pohon-pohon di bukit-bukit mereka ditebangi perusahaan marmer, Aleta Baun dan para tetua adat Mollo bergerak. Aleta menghimpun perempuan tiga suku untuk menghentikan aktivitas penambangan yang merusak hutan, sumber air bersih, dan bahan pewarna alam untuk menenun. Mereka sengaja menenun di lokasi tambang hingga penambangan itu dihentikan. Tidak hanya Aleta, Apai Janggut memimpin masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik di Kalimantan Barat untuk melindungi hutan dari penebangan liar dan ulah korporasi.
Menjaga hutan dari kebakaran adalah urgen. Greenpeace Asia Tenggara memperkirakan 4,4 juta hektar hutan di Indonesia terbakar, antara tahun 2015 sampai 2019. Seluas 1,3 juta hektar ada di lahan konsesi kelapa sawit dan bubur kertas. Bencana ekologi ini berdampak luas. Asap kebakaran hebat yang melanda hutan kita pada 2019 bermigrasi ke negara-negara tetangga terdekat. Sejumlah penerbangan batal karena asap. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendata sebanyak 919.516 jiwa menderita penyakit saluran pernapasan.
Andai kata hutan punah, tidak banyak spesies bertahan di bumi. Pengalaman Juliane Koepcke memberi bukti paling ekstrem tentang hutan sebagai penyelamat.
Di malam Natal 1971, Juliane dan ibunya naik pesawat terbang rute Lima-Pucallpa yang terjebak badai dan disambar petir. Pesawat pecah di udara. Juliane terikat di kursinya yang terlepas dari pesawat, meluncur dari ketinggian ribuan meter dan mendarat di hutan. ”Tanpa daun pepohonan dan semak, saya tidak akan selamat dari benturan di tanah,” tulisnya dalam otobiografi yang didedikasikan untuk mendiang ibunya, When I Fell from the Sky. Ia satu-satunya penumpang yang selamat. Usianya waktu itu 17 tahun.
Ibu dan ayah Juliane, Maria dan Hans Wilhem Koepcke, adalah ahli zoologi terkemuka asal Jerman. Mereka merantau ke Peru lalu berinisiatif membangun Panguana, sebuah stasiun penelitian biologi dan konservasi alam, pada 1968. Panguana diambil dari nama burung setempat. Kini Juliane memimpin Panguana dan juga bekerja untuk Bavarian State Collection of Zoology di Muenchen, Jerman.
Dalam otobiografinya, ia turut memikirkan kita, ”Hutan hujan tidak hanya penuh keajaiban, yang sebagian besar belum kita ketahui. Pelestariannya sebagai paru-paru hijau bumi penting untuk kelangsungan hidup spesies yang sangat muda ini: manusia.”
Ketika ia mengurai ciri hutan hujan tropis, saya teringat pengalaman masa kecil di Pulau Bangka. Tanahnya lembab, aromanya khas karena daun-daun busuk, dan agak gelap. Orang Bangka menyebut hutan itu kelekak. Pohon buah hutan, seperti cempedak, durian, rukam, dan rambai, tumbuh di situ.
Di musim tertentu, buah di kelekak dipetik untuk dimakan. Sebagian dijual ke pasar. Sering kali panen berlimpah. Kapasitas perut manusia dan hewan terbatas. Buah-buah ini lantas membusuk, jadi pupuk. Sekarang banyak kelekak telah jadi perkebunan kelapa sawit.
Sebatang pohon ikut berjasa menjaga masa depan bumi dan penghuninya. Arahmaiani, seniwati dan aktivis Indonesia, melibatkan diri dalam gerakan ekologi menanam 320.000 pohon di Tibet yang dimulai pada 2011 karena rasa peduli. Ketika kami bertemu di Frankfurt, Jerman, beberapa tahun lalu, ia menuturkan sekitar dua miliar orang bergantung kepada air Tibet.
”Tibet adalah menara air Asia. Selain itu, Tibet merupakan lempengan es terbesar di dunia. Bayangkan kalau terjadi pemanasan global dan es mencair,” katanya.
Usia pohon hama di Iralafai sudah ratusan tahun. Ia dihormati. Almarhum ayah Naldo, seorang liurai atau raja suku, menyebut hama pohon keramat. Bagi putranya, hama adalah simbol perlindungan dan harapan.
***
*Linda Christanty adalah seorang sastrawan dan penggiat budaya