Merawat Sinar Harapan
Para seniman terus menerbitkan sinar harapan melalui keliatan untuk tetap berkreasi dan melahirkan karya-karya yang relevan.
Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia menggelar pameran seni rupa bertajuk "Ray of Hope" atau Sinar Harapan. Di pengujung tahun 2020 hingga memasuki tahun baru 2021 ini pandemi Covid-19 masih belum menentu, sehingga merawat sinar harapan menjadi pilihan tak terelakkan.
Seniman Arwin Hidayat (40) yang menetap di Yogyakarta, menampilkan karya lukisan dekoratif naif sebanyak empat panel dan diberi judul, Tolong Bu Dokter (2018-2019). Arwin menggunakan media cat akriliks di atas kertas untuk setiap panel yang berukuran 70 X 50 sentimeter.
Lukisan ini dibuat semenjak Covid-19 belum merebak. Judul lukisan itu terilhami sebuah lagu berjudul sama milik grup band Flowers. Judul lagu “Tolong Bu Dokter” menjadi singel pertama album Flowers yang diberi label “17 Th Ke Atas” pada 1997.
“Ini cukup kontekstual di masa pandemi Covid-19 sekarang. Kita sangat membutuhkan tenaga-tenaga medis untuk menghadapi korban-korban virus korona,” ujar Arwin ketika dihubungi di Yogyakarta, Kamis (31/12/2020).
Lukisan dengan empat panel itu menyuguhkan alur kisah yang tidak mudah ditangkap. Arwin melukis figur-figur secara naif. Ini menjadi bahasa ekspresi Arwin untuk membebaskan diri dari alur narasi.
Elemen ketubuhan berupa tangan, badan, kaki, atau kepala, dilukiskan Arwin sesuka hati. Di setiap panel sulit ditemui tali penghubung kisahnya. Arwin rupanya bukan lagi melukiskan cerita bergambar. Ia sedang mengekspresikan sesuatu yang dirasakan.
Arwin bercerita, dalam rentang tiga atau empat tahun terakhir mengalami gangguan kecemasan. Diagnosisnya sudah ditegakkan seorang dokter spesialis kesehatan jiwa.
“Gangguan kecemasan itu seperti memikirkan hal yang semestinya tidak perlu dipikirkan. Akhirnya, itu menimbulkan gangguan seperti terlalu mudah gelisah,” kata Arwin.
Suatu ketika, pukul 01.00 dini hari Arwin pernah tergerak untuk pulang ke rumah ibunya yang berjarak sekitar 10 kilometer atau lebih. Setiba di rumah ibunya, Arwin menyampaikan hanya ingin dipeluk ibunya. Lalu, Arwin pulang kembali ke rumahnya.
Tidak hanya itu. Setiba di rumahnya sendiri, gangguan kecemasannya sampai menimbulkan ilusi atau halusinasi tak tertahankan. Ketika memejamkan mata, muncul bayangan yang aneh-aneh. Ia merasa gila. Ini cukup mengganggu bagi Arwin. Arwin segera menyadari diri lalu berobat kepada salah satu dokter spesialis kesehatan jiwa.
Pengalaman itu bagi seniman yang pernah studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta akhirnya melahirkan salah satu karya lukisan “Tolong Bu Dokter”. Arwin sejak 2016 mulai rutin mengonsumsi obat antidepresan dari dokter untuk mengatasi gangguan kecemasannya.
Keanehan timbul di masa pandemi Covid-19. Gangguan kecemasan muncul kembali. Tetapi, kegelisahannya mulai dirasakan masuk akal. Ini bukan lagi kegelisahan yang menimbulkan ilusi dan halusinasi absurd. Bukan pula kegelisahan karena ancaman Covid-19 itu mematikan.
Arwin mengalami kegelisahan nyata yang dirasakan bukan hanya dirinya, tetapi juga banyak orang. Arwin gelisah terhadap dampak pandemi bagi kelangsungan kehidupan ekonomi rumah tangganya.
“Saya gelisah di masa pandemi, tetapi itu justru membuat saya tidak mudah ke dokter untuk berobat. Daripada uang saya habis untuk berobat ke dokter, lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya,” ujar Arwin.
Sejak sekitar empat bulan lalu sampai sekarang, Arwin berusaha melepas ketergantungan obat. Ia tidak lagi mengonsumsi obat secara rutin setiap hari. Namun begitu, di masa pandemi Covid-19, justru Arwin mampu mengatasi gangguan kecemasannya. Kisah Arwin ini menjadi sinar harapan.
Arwin hadir di antara 29 seniman yang menampilkan 36 karya seni rupa untuk pameran Ray of Hope ini. Pameran diselenggarakan secara virtual oleh Asosiasi Galeri seni Rupa Indonesia (AGSI) pada 12 Desember – 12 Januari 2021. Karya-karya dihadirkan delapan galeri yang tergabung di AGSI, meliputi Andi’s Gallery, Art:1 New Museum & Art Space, Artsphere, Can’s Gallery, Edwin’s Gallery, yang ada di Jakarta. Kemudian galeri Equator Art Project (Yogyakarta), Lawangwangi Creative Space (Bandung), dan Puri Art Gallery (Malang).
Deretan seniman lainnya yang berpartisipasi dalam pameran ini meliputi Chris Suharso, Nisan Kristiyanto, Yawara Oky Rahmawati, Nana Tedja, Shingo Okazaki, Irwanto Lentho, Syaiful Rachman, Adi Gunawan, Utomo .S, Soni Irawan, Arkiv Vilmansa, Putu Sutawijaya, Entang Wiharso, Eddie Hara, J.A Pramuhendra, Anton Afganial, Bahaudin, Anton Subiyanto, Sekar Jatiningrum, Banuari, I Putu Adi Suanjaya, Valdo Manullang, WA Santoso, Eddy Susanto, Rocka Radipa, Sasya Tranggono, Joni Ramlan, dan Hou Qing.
Pasar masih terbuka
Sinar harapan lainnya bisa ditengok dari seniman pematung Adi Gunawan (46) asal Bali, yang kini menetap di Yogyakarta. Karya patung Adi memiliki karakter figur gemuk dengan rambut kribo ternyata selama masa pandemi ini memiliki pasar yang masih terbuka.
“Di masa pandemi setiap bulan saya masih bisa mengirimkan satu atau dua patung untuk memenuhi permintaan galeri di Singapura,” ujar Adi.
Adi di masa tumbuhnya di Bali memiliki lingkungan peternakan babi. Inilah yang menginspirasi studi patungnya di ISI Yogyakarta. Adi pada awalnya banyak membuat patung babi, hingga akhirnya menjumpai karakter patung figur orang gemuk dengan rambut kribo. Adi memilih media perunggu untuk patung-patungnya.
Di dalam pameran Ray Of Hope, Adi menampilkan karya Raja Damai (2018) yang berdimensi 80 X 65 X 65 sentimeter. Ia membuat figur manusia yang gemuk berewok dan berjubah dengan rambut kribonya. Kedua tangannya terbuka di samping kiri dan kanan tubuh. Posisi kakinya seperti berjinjit. Adi ingin menunjukkan posisi tubuh Raja Damai itu seperti melayang di udara.
Adi memetik ilham dari kisah Yesus yang naik ke surga. Adi menyematkan Raja Damai untuk Yesus yang mau berkorban dalam penebusan dosanya kepada manusia. “Sekarang kedamaian ibarat pisau bermata dua. Bagi satu pihak memberi damai, tetapi di pihak lain justru sebaliknya,” ujar Adi.
Kedamaian yang diiibaratkan pisau bermata dua itu kini mengilhami tema-tema karya patung terbaru. Adi mengembangkan karya-karya patungnya dengan tema yoga, tema tentang sebuah ketenangan sekaligus kedamaian.
Di dalam yoga, harapannya setiap individu bakal mendapati rasa damai. Di dalam yoga, diharapkan tidak ada lagi rasa damai yang seperti pisau bermata dua. “Di dalam yoga, damai buat saya, semestinya damai juga buat orang lain,” kata Adi.
Pandemi Covid-19 menurunkan daya beli masyarakat, termasuk untuk karya-karya seni rupa. Namun, Adi memperlihatkan proses penciptaan karya patungnya selama ini tidak menemui kendala untuk pemasarannya, terutama dari luar negeri.
“Saya terlebih dahulu membuat patung dengan material fiberglass untuk ditawarkan kepada pecinta seni patung. Setelah ada penawaran, kemudian saya membuatnya dengan material perunggu,” ujar Adi.
Identitas
Seniman lainnya, JA Pramuhendra, yang menetap di Bandung, di dalam pameran ini menampilkan lukisan berjudul Believer (2018). Ini lukisan potret diri dengan media charcoal atau arang di atas kanvas berukuran 170 X220 sentimeter.
Pramuhendra menyematkan lilitan kawat berduri di kepalanya. Ini mengingatkan kisah penyaliban Yesus yang dimahkotai ranting berduri. Di atas lukisan potret diri itu dituangkan coretan-coretan hitam pula. Menurut Pramuhendra, coretan-coretan hitam itu berupa helai bulu domba yang citranya diperbesar hingga tampak seperti rambut.
Persoalan identitas dan religiositas menjadi titik tolak karya lukisan Pramuhendra. Melalui karya potret diri berlilitkan kawat berduri di kepalanya, Pramuhendra menyatakan, agama adalah sesuatu yang baik. Tetapi, agama dilakukan manusia yang tidak sempurna.
Melalui karya potret diri itu, Pramuhendra mengkritisi dirinya sendiri. Ia mengungkap rasa kegelisahannya selama ini. Kegelisahan sebagai manusiayang tidak sempurna, manusia yang dibebani dengan kesalahan-kesalahan.
Pameran Ray of Hope sekaligus sebagai ajang pengenalan pengurus baru AGSI. Lembaga ini berdiri sejak 13 Agustus 2005 dan sampai saat ini beranggotakan 12 galeri ternama dari berbagai kota di Indonesia.
“Di masa pandemi, pameran seni rupa mau tidak mau haruslah terus diselenggarakan. Ternyata di sinilah ada berkah, ada sinar harapan melalui pameran-pameran secara virtual bisa memiliki jangkauan pasar yang lebih luas dan penyelenggaraannya yang lebih mudah,” ujar Maya Sudjatmiko, Ketua Pengurus AGSI yang baru terpilih untuk periode lima tahun ke depan.