”De Javu” 14 Tahun Jatuhnya Adam Air
Seorang pejabat negara memberikan informasi yang salah. Saya terduduk lemas. Seluruh kegaduhan seperti kembali ke titik nol. Saya tak bisa membayangkan perasaan keluarga dan kerabat para penumpang dan awak Adam Air.
Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang terjadi Sabtu (9/1/2021) menyeret ingatan saya seperti de javu pada pengalaman saat tugas di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kala itu, tanggal 1 Januari 2007, terjadi kecelakaan pesawat Adam Air KL 574 rute Jakarta-Surabaya–Manado yang membawa 96 penumpang dan 6 orang awak pesawat. Suasana perayaan Tahun Baru yang baru saja usai dengan segala keriaannya mendadak muram akibat tragedi memilukan itu.
Suasana perayaan Tahun Baru yang baru saja usai dengan segala keriaannya mendadak muram akibat tragedi memilukan itu.
Adam Air KL 574 tujuan Manado, Sulawesi Utara, lepas landas dari Bandara Juanda pada pukul 12.59 WIB dan dijadwalkan mendarat di Manado pukul 16. 14 WITA. Namun, pesawat itu tak pernah tiba di Manado.
Senin (1/1/2007), saya berencana datang siang ke kantor, mengetik hasil liputan, lalu segera pulang kembali ke kos untuk melanjutkan istirahat. Biasanya, seusai liputan tahun baru yang melelahkan hingga menjelang dini hari, saya memberi kesempatan diri untuk beristirahat lebih lama agar kondisi badan kembali pulih dari kantuk.
Baca juga: Mencium Bahaya, Diancam, Lalu Ditolong
Semalaman saya berjaga memantau situasi Makassar saat perayaan Tahun Baru. Untungnya, seusai perayaan Tahun Baru, suasana biasanya relatif sepi, hampir tidak pernah ada liputan yang menarik. Jadi saya punya kesempatan lebih untuk kembali beristirahat. Saya kemudian berangkat ke kantor biro Kompas yang berlokasi di kawasan Panakkukang, Makassar, pukul 14.00 Wita.
Usai mengetik berita dan mengirimnya kepada editor yang juga Kepala Biro Sulawesi Indonesia Indonesia Timur Mas Subhan SD, saya bertahan di kantor. Sore itu, kebetulan SSD, panggilan akrab Mas Subhan, juga berada di kantor.
Di sela pekerjaan, kami mengobrol hal-hal kecil seperlunya. Sesekali saya mengirim dan membalas pesan SMS kepada teman-teman sesama wartawan di Makassar.
Tiba-tiba, perasaan saya yang hari itu terasa ringan dan santai mendadak gundah setelah menerima SMS yang mengabarkan pesawat Adam Air KL 574 rute Jakarta-Surabaya-Manado hilang kontak. Dalam hati saya merutuk. ”Duh, pekerjaan lagi nih,” kata saya dalam hati. Harap maklum, wartawan juga manusia.
Baca juga: Masuk ke Dasar Lubang Tambang Demi Satu Lembar Foto
Saya mencoba menyimpan info itu untuk saya sendiri meskipun tak bisa dimungkiri, perasaan saya sudah sangat tidak enak. Stres mulai muncul. Namun, saya masih berharap, keberadaan Adam Air akan segera tertangkap radar. Saya sengaja tak segera memberitahukan informasi itu kepada SSD yang sebenarnya hanya duduk berjarak tak sampai 1 meter dari meja saya.
Satu jam, dua jam, informasi belum juga berubah. Adam Air masih hilang kontak. Dalam diam, hormon stres saya terus meningkat. Perasaan saya sungguh semakin gundah. Semakin khawatir bila Adam Air yang tak kunjung terpantau radar itu, maaf, kecelakaan.
Lalu mendadak SSD bersuara. ”Ini, kok, ada kabar Adam Air hilang kontak ya. Bener enggak?” katanya. Sontak saya mengiyakan. Saya katakan saya sudah memantaunya sejak tadi dan belum ada perubahan informasi yang menggembirakan.
Telepon di kantor mendadak berdering berulang kali. Itu telepon-telepon dari kantor di Jakarta. Apa lagi kalau bukan soal Adam Air yang hilang kontak. Fix, kami harus menggarap berita itu karena teman yang ngepos di Kementerian Perhubungan sudah mendapat kepastian bahwa Adam Air kecelakaan. Tahun baru yang saya kira akan santai, ternyata berubah menjadi hari yang sangat panjang.
Baca juga: Dikira Korban Pemerkosaan, Diusir dari Ruang Sidang
Salah informasi
Sekitar pukul 22.00 WITA digelar jumpa pers di Lanud Hasanuddin, Makassar. Lokasinya di kawasan Bandara Hasanuddin di Kabupaten Maros. Dari Makassar, jaraknya 1 jam lebih sedikit. Saya diperintahkan mengikuti jumpa pers. Saya berangkat diantar office boy menggunakan mobil kantor.
Sepanjang jalan ponsel tak henti berdering. Saya sibuk berkomunikasi dengan kantor, teman-teman wartawan, dan para narasumber. Oleh kantor saya diminta sebisa mungkin ikut dalam pesawat yang melakukan pencarian pertama esok harinya.
Saya iyakan semuanya. Saya coba sekuat yang saya bisa agar bisa ikut pesawat pencarian pertama. Hari itu, saya tiba kembali di kos menjelang pukul 02.00. Pukul 04.00, saya sudah harus kembali menuju lanud untuk ikut bersama pesawat pencarian pertama.
Baca juga: Dari Boks Bayi Sampai Kick Andy
Cuaca yang sejak Senin malam selalu diguyur hujan, entah mengapa tak membuat hati saya gentar sedikitpun. Padahal, saya tipe orang yang takut terbang. Ketika meminta izin suami, yang kala itu tinggal di Jakarta, untuk ikut pesawat pencarian pertama, dia sempat menanyakan apakah saya tidak masalah terbang di tengah cuaca yang tidak terlalu bagus. Saya menjawab mantap, ”Tak apa.”
Untungnya, ketika pesawat lepas landas kira-kira pukul 06.00, cuaca sudah membaik. Hujan pun telah berhenti. Hati saya semakin tenang sehingga bisa fokus pada liputan. Rasanya saya terlalu bersemangat sehingga sepanjang penerbangan saya tak pernah melepaskan pandangan ke luar jendela pesawat dengan kamera yang siaga di tangan.
Pikiran saya sederhana, besok, foto saya pasti akan terpampang di halaman depan harian Kompas. Saya begitu yakin hari itu juga kami akan menemukan lokasi Adam Air berada. Tapi, ternyata tak semudah itu. Belum lama kami terbang, dan belum sedikit pun menemukan tanda-tanda keberadaan Adam Air, pesawat sudah kembali ke lanud.
Sempat bertanya-tanya, saya dan beberapa teman wartawan diberi tahu bahwa Adam Air sudah ditemukan. Bukan di laut, tapi di kawasan pegunungan di Mamuju, Sulawesi Barat. Hati saya masygul. Besok foto saya tak jadi muncul sebagai headline Kompas. Ha-ha-ha.
Tiba kembali di lanud, kami segera menuju ruang jumpa pers. Menteri Perhubungan kala itu, Hatta Rajasa, bersiap memberikan keterangan pers. Dia mengatakan, Adam Air telah ditemukan di kawasan pegunungan di Mamuju, Sulawesi Barat. Seluruh penumpang dan awaknya meninggal. Pencarian akan segera dikerahkan ke lokasi.
Saya masih mengingat betul kegaduhan itu di kepala saya. Wajah-wajah tegang para pejabat, kehebohan teman-teman wartawan yang melaporkan ke kantor masing-masing, juga dua ponsel saya yang tak pernah henti berbunyi. Rasanya dada saya berdegup luar biasa kencang jam-jam itu.
Baca juga: Saat Saya Dinyatakan Positif Covid-19
Tak hanya jumpa pers, pejabat-pejabat di Mamuju-Majene yang saya hubungi tentang penemuan pesawat Adam Air pun membenarkan informasi itu. Rasa sedih mendadak muncul. Bukan karena saya jauh dari lokasi, tapi betapa memilukannya tragedi itu. Alangkah mengerikannya. Saya tak sanggup membayangkannya lebih jauh lagi.
Tak lama setelah kehebohan itu, saya mendapat telepon dari SSD. Beliau mengabarkan bahwa senior saya, REN, yang sudah tiba di Mamuju, tak mendapat data-data yang mendukung informasi adanya tanda-tanda pesawat jatuh di kawasan tersebut.
Saya terkesiap. Informasi itu seperti mengonfirmasi pemandangan yang saya saksikan di lokasi sekitar jumpa pers. Para petinggi tampak bersitegang sebelum akhirnya kembali mengumumkan jumpa pers.
Betul saja, jumpa pers kedua kemudian mengoreksi informasi saat jumpa pers pertama. Adam Air ternyata belum ditemukan! Betapa kagetnya kami semua yang ada di ruangan itu. Gila, sungguh gila.
Seorang pejabat negara memberikan informasi yang salah. Padahal, tak terhitung koresponden wartawan asing yang hadir. Berita soal penemuan Adam Air sebelumnya pasti sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Saya terduduk lemas. Seluruh kegaduhan seperti kembali lagi ke titik nol. Waktu belasan jam habis hanya untuk informasi yang tak valid. Saya tak bisa membayangkan perasaan keluarga dan kerabat para penumpang dan awak Adam Air kala itu.
Menguras tenaga dan emosi
Hari-hari selanjutnya, rute liputan saya tak banyak berubah. Pukul 06.00 pagi sudah stand by di Lanud untuk jumpa pers pertama. Lalu bertahan di sana untuk jumpa pers penutup yang digelar pukul 18.00.
Hidup saya berpusar di Lanud. Bila tidak sedang mencari informasi, saya nongkrong di kantin, berkumpul dengan puluhan wartawan yang tak hanya lokal, tapi juga internasional. Senang juga bertemu banyak teman. Cukup menghibur di situasi sulit seperti itu.
Beruntung, tak lama, dua orang teman Kompas dikirim dari Jakarta untuk membantu liputan di Lanud, yaitu AMR dan OTW. Di waktu sela, kami sesekali pergi keluar bandara untuk makan bersama, sekadar membuang bosan dan refreshing.
Meski lebih banyak waktu luang, liputan panjang tanpa kejelasan seperti itu sangat menguras energi. Apalagi, di tengah liputan Adam Air, saya juga harus meliput korban kecelakaan KMP Senopati Nusantara yang dibawa oleh KM Mandiri VI menuju Makassar. Jadilah, tenaga dan konsentrasi harus dibagi-bagi.
Bertemu dengan keluarga penumpang dan awak Adam Air adalah salah satu momen yang sungguh menguras emosi. Melihat kesedihan di wajah mereka, rasanya sungguh tekanan tersendiri.
Baca juga: Yang Sulit Dilupakan dari Tsunami Aceh
Tak jarang, saat mengetik, saya harus melayani pertanyaan keluarga penumpang yang sempat saya wawancara sebelumnya. Mereka mengeluh, menumpahkan kesedihan mereka, juga bertanya tentang perkembangan pencarian Adam Air.
Aura kesedihan memang terasa sangat tebal di sana. Sementara pencarian seolah tak kunjung membuahkan hasil. Spekulasi yang muncul, bila Adam Air tidak jatuh di laut, tentu di gunung. Semua mengemukakan argumennya masing-masing.
Pencarian sempat menunjukkan titik terang saat ekor pesawat Adam Air ditemukan seorang nelayan Majene pada 11 Januari 2007. Setelah itu nihil. Pencarian besar-besaran yang juga melibatkan pihak asing itu seolah tak menunjukkan perkembangan. Hanya serpihan-serpihan badan pesawat yang terus ditemukan. Lokasi Adam Air tetap misteri.
Saya sendiri terpaksa kembali ke Jakarta karena di sela liputan Adam Air mengalami keguguran. Itu adalah kehamilan pertama saya. Saya tidak sadar, di sela liputan yang hectic, rupanya saya hamil. Saya keguguran karena terpeleset dan terpaksa tak bisa menyelesaikan liputan Adam Air.
Saya memutuskan pulang ke Jakarta agar kondisi mental lebih baik. Dalam penerbangan menuju Jakarta, saya termangu-mangu sendiri. Saya ketuk-ketuk badan pesawat di sebelah saya duduk. Betapa ringannya.
Ada perasaan ngeri, tapi akhirnya pasrah. Segala sesuatu, bila Tuhan sudah berkehendak, tak ada yang bisa menghalangi. Seperti kecelakaan Adam Air, seperti juga kehamilan saya yang gugur. Kehamilan yang saya damba-dambakan karena sejak menikah saya tinggal berjauhan dengan suami.
Kotak hitam Adam Air baru ditemukan pada hari ke-25 pencarian. Setelah itu pencarian Adam Air pun dihentikan.
Selama masa cuti di Jakarta, saya masih terus mengikuti berita pencarian Adam Air. Betul-betul sebuah pencarian panjang, tentu juga melelahkan. Kotak hitam Adam Air baru ditemukan pada hari ke-25 pencarian. Setelah itu pencarian Adam Air pun dihentikan.
Saya selalu berharap, tak perlu lagi meliput peristiwa-peristiwa memilukan seperti itu. Semoga seluruh pihak bisa selalu mengambil pelajaran dari situasi seperti ini agar tak harus terulang lagi dan lagi. Bela rasa saya untuk seluruh keluarga dan kerabat penumpang dan awak Sriwijaya Air SJ-182 yang kini tengah dalam pencarian.