Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Masyarakat, terutama kelas menengah-atas, cemas atas peningkatan kasus Covid-19 terkonfirmasi sejak libur Oktober 2020.
Setelah melihat dampak ekonomi dari karantina wilayah yang diterapkan di awal pandemi, beberapa negara Eropa mengubah pendekatan menjadi lebih mikro dan proporsional dengan sumber penularan. Langkah itu terutama karena masyarakat lebih kritis, bahkan sampai berdemonstrasi, setelah mengetahui dampak terhadap pendapatan dan kesempatan kerja.
Situasi kembali berubah ketika ditemukan varian virus baru yang lebih menular di Inggris, kemudian ditemukan juga di negara-negara lain. Semula, jam operasional restoran dan bar dikurangi, seperti di Inggris, Jerman, dan Spanyol.
Pertandingan sepak bola dilangsungkan tanpa atau dengan pembatasan ketat jumlah penonton di stadion. Namun, akhirnya beberapa negara di Eropa dan Asia, yakni Inggris, Jerman, Belanda, Thailand, dan lain-lain terpaksa memberlakukan karantina wilayah (lockdown) karena kapasitas rumah sakit tidak cukup.
Pilihan ini tidak mudah karena ada potensi kontraksi dalam seperti pada triwulan II-2020. Pertumbuhan ekonomi yang terganggu dapat mengurangi penerimaan pajak yang digunakan untuk membiayai sektor kesehatan.
Baca juga: Vaksin dan Pemulihan Ekonomi
Pengetatan PSBB
Indonesia berada dalam situasi yang sama. Pelajaran dari libur panjang Oktober 2020 adalah peningkatan kasus positif baru yang terlalu tinggi, yang berdampak negatif pada konsumsi masyarakat. Potensinya dalam menghambat momentum pemulihan ekonomi cukup besar karena porsi konsumsi masyarakat sekitar 59 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dampak libur Natal dan Tahun Baru sudah terlihat dari lonjakan kasus positif baru pada Kamis (7/1/2021) dengan rekor baru harian 9.321 kasus. Belajar dari pengalaman yang lalu, pemerintah tidak menunda lagi dan segera mengumumkan pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk 11-25 Januari.
Belajar dari pengalaman PSBB ketat pada September 2020, efek kejut dari pengumuman dicoba untuk diminimalkan. Penekanan bahwa kebijakan baru ini adalah pembatasan dan bukan pelarangan ditegaskan dari awal. Nama kebijakan diselaraskan menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Persyaratan masuk ke daerah yang menerapkan PPKM juga dijelaskan secara rinci sehingga daerah memiliki diskresi sesuai dengan kondisi setempat. Ada beberapa kriteria yang digunakan. Rata-rata nasional digunakan sebagai tolok ukur, yaitu tingkat kematian di atas 3 persen, tingkat kesembuhan di bawah 82 persen, tingkat kasus aktif di bawah 14 persen, dan tingkat keterisian rumah sakit di atas 70 persen. Pembatasan dilakukan di Jawa-Bali karena sejumlah daerah sudah memenuhi salah satu kriteria di atas.
Dampak ekonomi
Dampak pengetatan PSBB terhadap perekonomian Indonesia akan terjadi pada triwulan I-2021. Dengan demikian, usaha mencicil pertumbuhan positif pada triwulan III dan IV-2020 menjadi sangat penting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Angka pertumbuhan triwulan IV-2020 belum dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga untuk menelaah dampak ekonominya hanya dapat menggunakan variabel yang bersifat melihat ke depan. Variabel itu adalah Indeks Manager Pembelian (purchasing manager index/PMI) dari IHS Markit dan proporsi pendapatan yang dikonsumsi (average propensity to consume/APC) dari survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) oleh Bank Indonesia.
Baca juga: Jalur Pertumbuhan Menuju Pemulihan
Efek kejut pengumuman PSBB total pada September 2020 menyebabkan PMI menyeberang kembali dari zona ekspansif 50,8 pada Agustus ke zona kontraktif 47,2 pada September atau turun 7,1 persen. Perubahan nama dari PSBB total menjadi PSBB ketat serta penjelasan yang lebih rinci dari aspek mikro kebijakan itu membuat PMI naik tipis ke 47,8 pada Oktober. Baru pada November, PMI kembali ke zona ekspansif dengan angka 50,6.
Dampak pengetatan PSBB terhadap perekonomian Indonesia akan terjadi pada triwulan I-2021.
Pembatasan dilakukan secara mikro untuk meminimalkan negative spillover pada arus melingkar pendapatan masyarakat, baik melalui ekspektasi penanganan Covid-19 maupun dari sisi daya ungkit sektor konsumsi dan produksi. Misalnya, logistik kebutuhan pokok tetap beroperasi 100 persen dengan pengaturan jam operasional, kapasitas, dan prosedur kesehatan masyarakat.
Untuk memaksimalkan daya ungkit perekonomian, konstruksi diperbolehkan beroperasi 100 persen. Untuk meminimalkan penularan, sekolah tetap dilakukan secara daring. Porsi waktu bekerja dari rumah (WFH) ditingkatkan menjadi 75 persen.
Besaran PMI pada Desember 2020 sebesar 51,3. Berarti sudah dua bulan berturut-turut melebihi angka 50, sebagai batas antara kontraksi dan ekspansi produksi. Hal ini sebagai pertumbuhan produksi sektor manufaktur tercepat kedua dalam 10 tahun survei IHS Markit.
Namun, masyarakat konsumen juga mengamati tren penanganan pandemi. Di balik optimisme sisi produksi, terdapat kecemasan masyarakat konsumen, terutama dari kelas menengah-atas, terhadap angka kasus harian positif baru yang meningkat sejak libur panjang akhir Oktober 2020. Dampaknya, konsumen menjadi lebih konservatif, yang ditandai dengan penurunan APC dari 69,4 persen pada Oktober ke 68,8 persen pada November. Berarti, daya ungkit perekonomian menurun. Padahal, APC sudah naik dari 68,8 pada September sebagai dampak perbaikan tren penanganan Covid-19.
Di balik optimisme sisi produksi, terdapat kecemasan masyarakat konsumen, terutama dari kelas menengah-atas, terhadap angka kasus harian positif baru yang meningkat sejak libur panjang akhir Oktober 2020.
Angka kasus positif Covid-19 baru turun tajam dari 4.634 pada 24 September menjadi 2.696 kasus pada 1 November. Efek tertunda libur panjang pada akhir Oktober baru terlihat pada 13 November dengan 5.444 kasus positif Covid-19 baru, yang memengaruhi APC November.
Baca juga: Arah APBN 2021
Situasi yang berbeda sebelum dan sesudah pandemi membuat pengukuran pertumbuhan dalam jangka pendek akan lebih apple to apple jika menggunakan pendekatan triwulanan. Secara umum, pola pemulihan triwulan I-2021 masih berbentuk V, tetapi lebih landai. Jika PPKM dapat menimbulkan ekspektasi positif terhadap penanganan pandemi, angka APC dapat mendekati 70 persen seperti pada Oktober 2020 sehingga momentum pemulihan ekonomi dapat dipertahankan pada 2021. Apalagi jika dibarengi dengan program vaksinasi yang sukses.
Yang tak terhindarkan, paling tidak untuk sementara, adalah dampak terhadap sektor perdagangan serta akomodasi dan restoran (16 persen dari PDB) yang pada triwulan I-2021 diperkirakan hanya akan tumbuh masing-masing 2,85 persen dan 1,6 persen secara triwulanan. Namun, jika PMI dapat dipertahankan di atas 51, pertumbuhan manufaktur nonmigas (17,6 persen dari PDB) dapat secara parsial mengompensasinya. Dengan demikian, angka proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 mungkin akan lebih konservatif mendekati median 4 persen dibandingkan dengan yang diperkirakan sebelumnya.