Taktik Produsen ”Smartphone” Gaet Pasar untuk Bangkit
›
Taktik Produsen ”Smartphone”...
Iklan
Taktik Produsen ”Smartphone” Gaet Pasar untuk Bangkit
Industri ponsel pintar atau ”smartphone” global tertekan sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19. Tahun ini, ujian para produsen mengembalikan pasar bisnis. Daya tariknya: teknologi teranyar atau harga terjangkau.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·4 menit baca
Pukulan bisnis ponsel pintar di dunia akibat pandemi Covid-19 terlihat dari terbatasnya aktivitas produksi. Karantina wilayah dan pembatasan aktivitas publik membuat sebagian besar pabrik manufaktur di dunia berkurang operasinya karena jumlah pekerja harus dibatasi.
Bukan hanya produksi, tekanan industri ponsel pintar juga di jalur distribusi. Arus ekspor-impor barang, termasuk komponen ponsel, tidak dapat mengalir normal akibat larangan perjalanan antarnegara. Dampaknya, produksi ponsel pintar melorot secara global.
Perusahaan riset pasar dan konsultan bisnis, TrendForce, menyebutkan angka produksi ponsel pintar tahun 2020 turun 11 persen dibandingkan dengan 2019. Total ponsel pintar yang diproduksi pada 2020 sebanyak 1,25 miliar unit.
Walau secara global menurun, tidak semua merek mengalami nasib yang sama. Terdapat variasi turun-naik pada tiap-tiap merek. Pasar merek-merek berbasis sistem operasi Android cenderung bergejolak, sedangkan sistem operasi iOS yang dihuni Apple cenderung stabil.
Merunut trennya sejak 2013, segmen pasar Apple cenderung stabil di kisaran angka 16 persen. Pasang-surut yang dialami saat pandemi tidak terlalu berarti. Apple mampu bertahan salah satunya karena memiliki keunikan dibandingkan dengan ponsel pintar lainnya, yaitu satu-satunya pengguna sistem operasi iOS.
Jika Apple masih dapat mempertahankan bisnisnya saat pandemi, beda nasib dengan Samsung yang hidup dalam ekosistem Android. Samsung harus rela kehilangan 12 persen pangsa pasarnya dan berbagi dengan para kompetitor sesama pengguna Android.
Sebelum pandemi Covid-19, produsen perangkat elektronik yang bermarkas di Korea Selatan ini memproduksi 298 juta ponsel pada 2019. Namun, angka produksi pada 2020 melorot menjadi 263 juta unit akibat pandemi.
Ketika Samsung kehilangan pasar 35 juta ponselnya, merek produksi asal China yang sama-sama menggunakan sistem operasi Android, yaitu Oppo, justru mampu meningkatkan kapasitasnya di tengah pandemi. Pada 2020, Oppo berhasil membukukan produksi 144 juta unit. Angka ini meningkat 20 persen dibandingkan dengan 2019.
Merujuk pada analisis bisnis dari Equal Ocean, kunci ketangguhan Oppo menghadapi pandemi ada pada manajemen produksinya. Oppo yang bernaung di bawah grup BKK Electronics memiliki merek ponsel lainnya, yaitu Realme dan OnePlus.
BKK Electronics juga memiliki pabrik komponen untuk memproduksi ponsel pintar, artinya minim ketergantungan terhadap pihak luar. Hal ini yang menyumbang keberhasilan produk dari BKK Electronics dalam memenuhi kebutuhan pasar di tengah kondisi krisis.
Menguatnya Oppo di pasar ponsel pintar membuat pasarnya kian luas. Merujuk pada publikasi TrendForce, market share ponsel pabrikan China kian berkibar sekaligus menggerus dominasi Samsung di pasar dunia.
Dimulai pada 2015, pangsa pasar Oppo hanya berkisar di angka 4 persen. Di tahun keenam, yaitu pada 2020, Oppo berhasil tembus dua digit dengan capaian 11 persen. Diprediksi pada 2021 angka ini akan meningkat menjadi 13 persen.
Di sisi lain, Samsung harus siap berbagi pasar dengan para pendatang baru yang makin ekspansif, yaitu Xiaomi dan Vivo. Harga yang terjangkau menjadi strategi Vivo dan Oppo menarik pasar nasional. Ponsel low-end dijual dengan rentang harga Rp 1,4 juta hingga Rp 2,8 juta.
Vivo mengandalkan produk Y12i, Y20, dan Y30i pada segmen pasar ini. Sedangkan penjualan ponsel Oppo yang laris berada satu kelas di atas Vivo. Ponsel seri A53 dan Reno 4 yang dijual pada kisaran Rp 2,8 juta hingga Rp 5,6 juta berhasil memikat minat pasar Indonesia.
Keberhasilan Oppo dan Vivo menggaet pasar dalam negeri ditunjukkan dengan indikator market share atau pangsa pasar yang mereka capai. Pangsa pasar Oppo mencapai 26,2 persen pada peringkat pertama, disusul Vivo 22,8 persen di peringkat kedua.
Tetap tumbuhnya pasar ponsel pintar di tengah pandemi memberikan gambaran optimistis bertahannya bisnis saat krisis. Kemampuan strategi bisnis yang mampu beradaptasi dan membaca ceruk permintaan pasar menjadi cara penjualan produk.
Kesempatan dalam krisis
Gairah pasar ponsel low-end kala pandemi didorong oleh kebutuhan para orangtua siswa. Semenjak diberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, ponsel pintar sebagai sarana belajar banyak diburu oleh pembeli.
Situasi bekerja dari rumah dan belajar dari rumah menjadi peluang menawarkan produk baru dengan segmen low-end ponsel pintar. Walau pendapatan warga menurun, tawaran produk dengan harga terjangkau menjadi daya tarik konsumen membeli ponsel pintar untuk menunjang aktivitas dari rumah.
Strategi ini diperkirakan akan berlanjut pada 2021. Untuk menghadapi tahun 2021, beberapa produsen sudah mengantongi fitur-fitur baru yang akan disematkan pada produk terbarunya. Salah satu fitur segar yang ditawarkan pada 2020 adalah ponsel dengan layar yang dapat dilipat. Perlombaan inovasi pada fitur layar cukup kompetitif dua tahun belakangan.
Untuk mengembalikan permintaan pasar, pabrikan berlomba-lomba mengeluarkan produk dengan teknologi dan fitur terkini guna menarik minat konsumen. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengembalikan capaian monumental pasar ponsel pintar terjadi pada 2014. Kala itu untuk pertama kalinya menembus angka 1 miliar ponsel yang diproduksi. Angka ini merangkak naik hingga puncaknya 1,46 miliar unit pada 2017.
Ragam variasi dan inovasi yang ditawarkan oleh produsen ponsel memang menawan hati. Namun, melihat kondisi pasar, terutama di Indonesia, ponsel dengan harga murah atau low-end tetap akan menjadi yang paling banyak diburu. (LITBANG KOMPAS)