Daya Tarik Pegawai Negeri dan Reformasi Birokrasi
ASN kini dituntut berorientasi pelayan publik dan bukan lagi pangreh praja seperti masa lalu, apalagi sekadar berorientasi penghasilan atau bahkan sebagai alat politik.
Iming-iming penghasilan tetap serta status pekerjaan yang ”mapan” tampaknya menjadi daya tarik yang selalu memikat untuk menjadi seorang pegawai negeri. Tidak banyak yang menyadari bahwa kini seorang aparatur sipil negara juga dituntut untuk profesional dan punya semangat melayani.
”Hanya teori saja. Kalau belum pasti jangan disebar dulu. Sudah kuduga. Wkwkwk prank awal tahun.” Itulah komentar miring di berbagai laman medsos merespons kabar rencana kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) hingga minimal memiliki penghasilan Rp 9 juta.
Mereka kecewa karena setelah benar-benar dicermati, pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo tentang rencana menaikkan penghasilan ASN dari tingkat terendah ternyata tidak akan terjadi tahun 2021 ini. Penyebabnya, anggaran negara harus difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19.
Selain itu, peningkatan penghasilan secara bertahap untuk ASN di kementerian dan lembaga dilakukan berdasarkan keberhasilan serta peningkatan capaian Indeks Reformasi Birokrasi. ASN di instansi pemerintah daerah juga harus memperhitungkan kemampuan keuangan daerah dan persetujuan DPRD setempat.
Alhasil, tentu saja kabar ini mengecewakan publik. Padahal pada September 2020 sudah ada pengumuman dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) soal perombakan sistem penggajian. Perombakan penggajian itu adalah dari semula berbasis pangkat, golongan ruang, dan masa kerja menjadi berbasis harga jabatan (job price) dan nilai jabatan (job value).
Tampaknya, pengumuman perombakan, efisiensi, ataupun penghapusan eselon kurang menghasilkan ”gema” di ruang publik. Atensi publik baru teralihkan saat ada pengumuman soal angka kenaikan gaji, yang bagi sebagian besar PNS merupakan jumlah yang aduhai.
Sebagai catatan gaji pokok ASN saat ini terentang antara Rp 1.560.800 (Gol 1A, masa kerja di bawah 1 tahun) hingga Rp 5.901.200 (Gol IVE, masa kerja 32 tahun ke atas) berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
Di luar gaji pokok ada tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan keluarga, uang makan, dan uang saku perjalanan dinas. Pada segi tunjangan kinerja inilah yang (direncanakan) akan dinaikkan pemerintah sehingga memunculkan angka minimal Rp 9 juta sebagai penghasilan ASN tiap bulan.
Saat ini, pemerintah memang sedang mempercepat reformasi sistem pangkat, penghasilan, dan tunjangan PNS sebagai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Dalam format baru berdasar UU itu, tunjangan untuk PNS hanya terdiri dari tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan. Tidak ada lagi tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan karena masuk dalam komponen gaji.
Milenial tertarik
Sulit dielakkan bahwa faktor penghasilan (gaji dan tunjangan) serta jaminan pensiun jadi salah satu daya tarik utama profesi ASN. Tak hanya bagi ASN yang masih menjabat. Banyak rang muda yang sedang melamar menjadi PNS terpikat oleh penghasilan profesi itu yang ”aman”.
Aman karena negara tak mungkin bangkrut dan masih ada jaminan uang pensiun untuk bekal di hari tua. Penghasilan ASN juga ”mapan” karena tampak kecenderungan penghasilan ASN semakin memadai dan bersaing dengan penghasilan dari bekerja di sektor swasta.
”Saya butuh kepastian kondisi pekerjaan karena latar belakang jurusanku (kurang populer),” kata Mat Janu (28), seorang pekerja perusahaan swasta nasional yang sudah menjadi karyawan tetap. Dia memutuskan melamar seleksi pegawai negeri dan diterima di sebuah instansi di DKI Jakarta, akhir tahun 2020.
Selain kemapanan pekerjaan, sejumlah milenial yang ditemui penulis menyatakan adanya kesempatan sekolah lagi menjadi alasan melamar PNS. Bagi sebagian kaum milenial, profesi pegawai negeri kini menjadi jembatan untuk karier selevel internasional.
Sulit dimungkiri, profesi ASN yang masih banyak dikenal umum sebagai pegawai negeri juga merupakan sarana untuk memperoleh status sosial di masyarakat. Meski pekerjaan pegawai negeri cenderung kurang diminati kaum milenial karena terkesan ”jadul” dan hierarkis, kondisi saat ini bisa jadi berubah.
Faktanya seleksi calon PNS atau CPNS tetap menarik, terbukti dari rasio antara pelamar dan lowongan PNS yang selalu membesar. Untuk tahun perekrutan 2019, ada 4,197 juta pelamar CPNS, hanya turun sedikit dari 4,4 juta pelamar tahun 2018, dan melonjak dari 2,4 juta pelamar tahun 2017.
Padahal, pada 2019 hanya ada 150.371 lowongan untuk kementerian/lembaga/pemda. Di tahun sebelumnya ada sekitar 200.000 lowongan dan pada 2017 sekitar 238.000 lowongan.
Baca juga: Ratusan Ribu Formasi Diusulkan
Hingga November 2019, dari hasil jajak pendapat Kompas terhadap responden mahasiswa, terlihat menjadi PNS bukan profesi utama yang dicita-citakan. Namun, pandemi Covid-19 yang mengubah pola kerja dan kesempatan kerja bisa menggeser minat itu.
Dari dua kali jajak pendapat, yaitu pada 2019 dan 2017, terekam profesi utama yang diinginkan adalah menjadi wirausaha dan swasta. Persentasenya pada 2019 sekitar 39,1 persen, sedangkan tahun 2017 sebesar 32,2 persen.
Namun, kedua jajak [endapat juga menggambarkan hampir separuh responden (sekitar 47 persen) mengaku masih berminat menjadi PNS. Mahasiswa laki-laki lebih berminat daripada mahasiswa perempuan bekerja menjadi PNS.
Tampaknya, sebagian publik melihat PNS sebagai jalur alternatif dalam berkarier, sebagai cadangan, bahkan mungkin upaya coba-coba. Hal ini terjadi karena publik memahami sulitnya menembus seleksi administrasi penerimaan CPNS telah dimulai dari rasio antara pelamar dan lowongan yang teramat tinggi.
Reformasi birokrasi
Di masa pandemi saat ini, terbukti profesi ASN memiliki kestabilan dari sisi risiko pemutusan hubungan kerja atau pengurangan pegawai. Padahal, dua hal itu banyak terjadi di perusahaan swasta.
Rasio ideal jumlah PNS sering dinyatakan sebesar 1,5 persen dari total populasi. Jika dikalkulasi dengan kondisi saat ini, yaitu 267 juta penduduk, berarti Indonesia butuh 4,005 juta PNS.
Mengacu data Badan Kepegawaian Negara per 30 November 2020, ada 4,065 juta ASN. Artinya, jumlah ASN cukup ideal dari segi kuantitas. Namun, jumlah yang di atas kertas bisa jadi ideal itu belum memadai dalam kualitas.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo dari total 4 juta PNS saat ini, masih ada sekitar 1,6 juta orang merupakan tenaga administratif dan sebagian besar bekerja di daerah.
Baca juga: Perubahan Paradigma Kinerja Pegawai Negeri
Sementara di sisi lain pemerintah justru masih membutuhkan banyak tenaga teknis di sektor kesehatan dan pendidikan. Artinya, ada kelebihan tenaga di satu sektor dan kekurangan di sektor lain yang lebih strategis.
Saat ini, ASN juga dituntut berorientasi pelayan publik dan bukan lagi pangreh praja seperti masa lalu, apalagi sekadar berorientasi penghasilan atau bahkan sebagai alat politik.
Bersediakah PNS maupun calon PNS memahami kebutuhan perubahan paradigma birokrasi itu? Semoga....
(LITBANG KOMPAS)