Tak hanya orang lanjut usia, osteoartritis juga dialami orang muda. Banyak obat tersedia, namun hanya mengatasi gejala. Pencarian terus dilakukan untuk mendapat obat yang mampu memperbaiki tulang rawan yang meradang.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Osteoartritis dikenal sebagai penyakit orang lanjut usia. Namun, tidak sedikit orang muda yang terkena.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi penyakit sendi 7,3 persen. Rincian per kelompok usia, pada 15-24 tahun (1,2 persen), 25-34 tahun (3,1 persen), 35-44 tahun (6,3 persen), 45-54 tahun (11,1 persen), 55-64 tahun (15,5 persen), 65-74 tahun (18,6 persen), dan 75 tahun ke atas (18,9 persen). Prevalensi pada perempuan (8,5 persen) lebih tinggi dibanding laki-laki (6,1 persen).
Haris S Vasiliadis dan Konstantinos Tsikopoulos dalam World Journal of Orthopedics, 18 Januari 2017, menuliskan, prevalensi osteoartritis (OA) sendi lutut dan pinggul meningkat secara substansial pada populasi umum selama dekade terakhir. Hal itu akibat penduduk menua dan peningkatan harapan hidup.
Sekitar 5 persen populasi Amerika Serikat (AS) berusia 35-54 tahun menunjukkan tanda OA lutut berdasarkan pemeriksaan radiografi. Pada orang muda, diduga akibat olahraga kompetitif yang membuat persendian mengalami tekanan berulang yang berujung pada kerusakan tulang rawan.
Selain usia lanjut dan cedera sendi, faktor lain yang berkontribusi adalah riwayat keluarga (genetik), kurang aktivitas fisik, dan kelebihan berat badan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 10-15 persen orang di atas 60 tahun mengalami OA dengan derajat bervariasi. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 2050, sebanyak 20 persen lebih populasi dunia akan berusia di atas 60 tahun. Diperkirakan, 15 persen akan memiliki gejala OA dan sepertiganya mengalami kecacatan. Artinya, 130 juta orang di dunia akan menderita OA, 40 juta di antaranya dengan gangguan fisik parah.
Artritis adalah peradangan pada sendi dan jaringan di sekitarnya. OA adalah bentuk artritis paling umum. Berupa penipisan atau kerusakan tulang rawan yang menjadi bantalan sendi (lokasi pertemuan tulang). Bagian yang sering terkena adalah pinggul, lutut, jari tangan, kaki dan tulang belakang. Penyakit ini menyebabkan nyeri, kaku, dan berkurangnya pergerakan sendi. Akhirnya memengaruhi aktivitas fisik, dan menurunkan kualitas hidup.
OA berbeda dengan osteoporosis atau tulang keropos. Yakni, kelainan di mana kepadatan dan kualitas tulang berkurang sehingga meningkatkan risiko patah tulang. Osteoporosis tidak menimbulkan rasa sakit atau gejala lain kecuali terjadi patah tulang.
Obat yang umum digunakan untuk osteoartritis antara lain analgesik, seperti parasetamol, yang berfungsi meredakan nyeri. Namun, obat ini tidak mengurangi peradangan. Konsumsi parasetamol berlebihan bisa menyebabkan kerusakan hati.
Ada pula obat antiradang nonsteroid (NSAID) yang menghilangkan nyeri dengan mengurangi peradangan. Namun, penggunaan NSAID jangka panjang dapat menimbulkan gangguan sistem gastrointestinal dan kardiovaskular. Sementara, pemberian kortikosteroid, obat lain untuk mengatasi radang, sangat dibatasi karena menyebabkan kerapuhan tulang.
Adapun suntikan asam hialuronat hanya berfungsi sebagai pelumas sendi, untuk mempermudah pergerakan. Saat ini sedang dikembangkan pemanfaatan sel punca tulang rawan. Namun, terapi ini masih dalam tahap penelitian.
Kondroitin, glukosamin dan vitamin D
Beberapa tahun belakangan, penggunaan kondroitin dan glukosamin cukup popular. Senyawa yang juga terdapat dalam tubuh itu secara teoritis dapat menghilangkan nyeri, memperlambat laju kerusakan sendi dan mempertahankan tulang rawan. Namun, bukti kemanjurannya dianggap belum cukup.
Kajian meta analisis Xiaoyue Zhu dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Baoshan, Shanghai, China, dan kolega yang dimuat di Journal of Orthopaedic Surgery and Research, 6 Juli 2018, menunjukkan, kondroitin meredakan nyeri dan meningkatkan fungsi fisik dibandingkan plasebo. Sedangkan glukosamin memperbaiki kekakuan sendi. Namun, kombinasi glukosamin dan kondroitin tidak signifikan lebih baik dibanding dengan plasebo. Berita baiknya, kedua obat tersebut aman dan dapat ditoleransi tubuh.
Penderita osteoartritis dianjurkan berolahraga teratur untuk menguatkan otot, serta menjaga berat badan ideal.
Menurut Yves Henrotin dari Belgia bersama peneliti dari Inggris dan Perancis dalam Arthritis Research & Therapy, 30 January 2012, glukosamin direkomendasikan Masyarakat Penelitian Osteoartritis Internasional (OARSI) dan Liga Eropa Mengatasi Reumatik (EULAR) untuk OA lutut dan pinggul. Sebaliknya, Perhimpunan Reumatologi Amerika (ACR) dan Lembaga Kesehatan dan Keunggulan Klinis Nasional (NICE) Inggris tidak merekomendasikan. Mekanisme kerja glukosamin pada nyeri dan perbaikan fungsi fisik dinilai belum jelas.
Perhatian pun dialihkan pada vitamin D. Kajian Rachel J Garfinkel dari Fakultas Kedokteran Universitas Creighton, AS, dan kolega di The Orthopaedic Journal of Sports Medicine, 2017, sejumlah laporan menyatakan, kekurangan vitamin D meningkatkan risiko OA. Namun, suplementasi oral tidak menghasilkan perbedaan struktur volume tulang rawan ataupun perbaikan klinis signifikan pada pasien yang kekurangan vitamin D.
Hal serupa disebut Behzad Heidari dan Mansour Babaei dari Universitas Babol, Iran, di ACR Open Rheumatology, Juli 2019. Data menunjukkan efek menguntungkan dari suplementasi vitamin D dosis tinggi pada nyeri, kekuatan otot, dan kualitas hidup penderita OA lutut, meski tidak terdeteksi ada perbaikan tulang dalam pemeriksaan radiografi dan MRI.
Kajian Clara Yongjoo Park dari Departemen Pangan dan Gizi, Universitas Nasional Chonnam, Korea Selatan, di Nutrients, 22 January 2019, juga menyatakan, kurangnya bukti efek vitamin D pada pencegahan OA. Namun, suplementasi untuk mencapai kadar serum vitamin D di atas 50 nmol/liter dalam darah dapat menjaga kesehatan sendi penderita OA.
Mengingat belum ada obat yang benar-benar manjur, penderita OA dianjurkan berolahraga teratur untuk menguatkan otot, serta menjaga berat badan ideal untuk mengurangi beban sendi dan tulang rawan yang menjadi bantalan sendi.