Tiga Problem Lingkungan yang Dikhawatirkan Publik
Setidaknya ada tiga masalah lingkungan yang paling dikhawatirkan publik saat ini. Di atas kertas, ketiganya juga masih perlu penanganan serius dari pemerintah. Akankah ketiga persoalan ini membaik tahun ini?
Setidaknya ada tiga masalah lingkungan yang paling dikhawatirkan publik saat ini. Di atas kertas, ketiganya juga masih perlu penanganan serius dari pemerintah. Akankah ketiga persoalan ini membaik tahun ini?
Temuan ini terekam dari hasil Jajak pendapat Kompas pada akhir Desember lalu, di mana ada tiga masalah lingkungan yang paling dikhawatirkan oleh publik saat ini. Ketiga masalah lingkungan tersebut terkait penanganan sampah, polusi/pencemaran air, dan kebakaran hutan.
Masalah sampah terbanyak disebutkan oleh responden sebagai persoalan lingkungan yang paling mendesak untuk segera diselesaikan dan dianggap paling meresahkan. Setidaknya hal ini dinyatakan oleh 38,9 persen responden. Sampah, khususnya telah menjadi masalah lingkungan yang banyak dirasakan warga perkotaan dalam keseharian. Salah satunya terkait sampah yang berserakan dan tak terkelola menjadi persoalan utama.
Baca juga: Persoalan Tumpukan Sampah di Luar Jawa
Timbulan sampah di Indonesia saat ini mencapai 68 juta ton per tahun, sehingga telah menjadi beban nyata bagi lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru akan memenuhi target pengelolaan sampah hingga 100 persen pada 2025. Artinya sebelum masa itu, persoalan sampah menggunung masih akan terus dihadapi masyarakat.
Di masa pandemi Covid-19, timbulan sampah meningkat sekaligus berpotensi mencemari lingkungan. Komposisi sampah medis meningkat karena penggunaan masker sekali pakai, alat pelindung diri (APD), dan limbah medis lainnya bertambah secara eksponensial setiap hari.
Harian ini memberitakan, hingga 2019 tersedia 12 perusahaan pengelola sampah medis dengan kapasitas pengolahan 301,7 ton per hari. Dalam kondisi normal pun pengelolaan tersebut belum cukup memadai untuk mengelola limbah medis yang dapat mencapai 340 ton per hari.
Baca juga: Darurat Pengelolaan Limbah Medis
Merespon hal inipun, masyarakat menunjukkan derajat keterlibatan yang tinggi. Tujuh dari 10 responden menunjukkan aksi nyata dalam bentuk pengolahan sampah. Hal yang dilakukan adalah memilah sampah (37,3 persen) dan mengurangi konsumsi bahan plastik (27,4 persen).
Polusi air
Di peringkat kedua adalah masalah terkait polusi/pencemaran air yang dinyatakan oleh 24,2 persen responden. KLHK dalam rilis Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKHL) yang terakhir dilaporkan pada 2018 mencatat kualitas air Indonesia sebesar 72,77 dari skala 0-100.
Kualitas air diukur dari 10 parameter yakni, DO, Fecal Coliform, COD, pH, BOD, NH3-N, TP, TSS, NO3-N, dan TDS. Kualitas air diukur pada 629 titik di 97 sungai di 34 provinsi. Tiga provinsi tercatat memiliki kualitas air yang kurang baik, yakni DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
DKI Jakarta memiliki kualitas air paling buruk dengan nilai indeks 51,93. Disusul oleh Kepulauan Riau (57,85) dan NTT (58,09). Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa rendahnya kualitas air diakibatkan oleh parameter Fecal Coliform dan BOD. Parameter ini menunjukkan belum tertanganinya pengolahan limbah domestik dan limbah peternakan dengan baik.
Sementara itu, 31 provinsi berada di level aman. Delapan provinsi dalam kondisi baik dan 23 provinsi berpredikat sangat baik atau berada di atas rerata nasional. Tiga provinsi dengam kualiats air terbaik adalah Sumatera Selatan (88,15), Maluku Utara (88,01), dan Kalimantan Timur (86,19).
Baca juga: Akses Sanitasi Masih Terbatas
Organisasi nirlaba global water.org yang fokus pada ketersediaan air dan sanitasi turut melaporkan sekitar 24 juta warga Indonesia atau 9 persen dari populasi kekurangan air bersih dan 38 juta kekurangan akses ke fasilitas sanitasi. Di tengah situasi pandemi yang menuntut diri untuk senantiasa dalam keadaan bersih, ketersediaan air menjadi tantangan tambahan bagi mereka yang tidak memiliki akses ke sumber air.
Kemudian, masalah ketiga yang paling dikhawatirkan adalah kebakaran hutan. Hal ini disampaikan oleh 10,6 persen responden. Menurut catatan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB), sepanjang 2020 terjadi 326 kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan mencakup 11,1 persen dari total kejadian bencana alam tahun ini. Wilayah yang terbakar mencapai 296,8 ribu hektar di tahun 2020. Meskipun jumlah kejadian menurun dari tahun 2019 yang mencapai 746 kejadian, dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan bisa sangat luas, dari kerugian material, kerusakan alam, hingga kerugian kesehatan.
Masih lekat di ingatan, bencana kabut asap yang menyelimuti wilayah Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara karena kebakaran lahan di sejumlah wilayah. Kualitas udara masuk ke kategori sangat tidak sehat (150-200).
Bencana yang terjadi pada kurun Agustus hingga September 2019 ini memaksa warga hidup dalam kepungan asap. Bahkan, mereka sudah berkawan akrab dengan masker jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Kinerja pemerintah
Dalam upaya penanganan persoalan lingkungan, publik jajak pendapat terbelah dalam mengapresiasi kerja pemerintah. Sebanyak 49,3 persen berpendapat pemerintah telah memprioritaskan isu lingkungan, sedangkan 45,6 persennya berpandangan sebaliknya.
Generasi muda di bawah usia 30 tahun cenderung menganggap pemerintah abai pada persoalan ini. Demikian pula dengan responden dari kategori pendidikan tinggi.
Baca juga: Keputusan Politik Sangat Berpengaruh pada Isu Lingkungan
Dari sisi kepuasan pada kinerja pemerintah, secara umum separuh masyarakat belum puas pada kinerja pemerintah dalam menyelesaikan persoalan lingkungan.
Ketidakpuasan tertinggi terekam pada kinerja di pengolahan sampah (62,4 persen). Menyusul kemudian kerusakan hutan (59,1 persen), pencemaran sungai (55,4 persen), kerusakan ekosistem laut (50,9 persen), dan pencemaran udara (46,5 persen).
Sejumlah aksi pun sempat terekam di penghujung tahun 2020. Diantaranya adalah aksi tolak limbah di Surabaya, Jawa Timur. Aktivis lingkungan melakukan aksi tolak limbah di depan Pengadilan Negeri Surabaya. Aksi dilakukan bersamaan dengan class action oleh “Lima Perempuan Pejuang Kali Surabaya Menggugat” pada pabrik penghasil sampah kemasan. (Kompas, 6/10/2020)
Kampanye berskala global juga tak urung ikut disuarakan oleh masyarakat peduli lingkungan. Kampanye ”Jeda untuk Iklim” menuntut komitmen serius pemerintah dan pelaku industri bertanggung jawab menangani dampak perubahan iklim. Kampanye ini merupakan bagian dari Asia Climate Strike yang dilaksanakan di sejumlah negara Asia. (Kompas, 28/11/2020).
Masalah lingkungan yang klise bukan berarti bisa dianggap sebagai kewajaran. Di tengah masyarakat yang mulai memiliki kesadaran akan apa yang ia produksi, seperti sampah atau jejak karbon, komitmen pemerintah adalah motor utama terwujudnya lingkungan lestari. (Litbang Kompas)