Monstera Hancuriata
Seiring waktu, semakin ramai pula halaman rumah Mbak Depan. Pohon bougenvil itu jadi kalah menonjol dari teman-temannya yang hampir semuanya sama dengan apa yang ada di halaman rumah kami.
Bersamaan dengan cicak yang merangkak terbirit-birit dari balik tirai ke belakang lemari, kudengar entakan sandal Ibu yang berlari memasuki rumah lalu pintu ditutup. Alasannya tidak dikunci pasti karena Ibu akan keluar lagi. Pagi hari begini Ibu punya jadwal memanjakan koleksi tanaman hiasnya, dan tadi sempat terdengar suara pancuran air dari selang barang sebentar.
”Ibu tidak berani berada di luar. Takut disangka menguping pembicaraan Mbak Depan dan suaminya,” ujar Ibu serta-merta ketika dilihatnya aku menampakkan wajah penasaran.
Mbak Depan itu seorang ibu muda dengan tiga anak yang umurnya saling berdekatan dan masih kecil-kecil. Di antara penghuni sekitar sini, hanya dia yang punya anak berusia paling tua delapan tahun. Anak-anak penghuni rumah lain biasanya sudah SMA atau lulus kuliah.
”Memang kenapa, Bu?”
”Mereka adu mulut. Berantem!” jawab Ibu.
Lantas Ibu membuat hipotesa di dalam kepalanya, berdasarkan pengamatan dan peristiwa yang terjadi baru-baru ini pada tetangga kami itu. ”Sepertinya, ini gara-gara monstera.”
***
Setelah tawar-menawar dengan penjual, akhirnya Philodendron black cardinal berukuran agak besar kami bawa pulang. Bagai anak kecil, tanaman berdaun burgundi hampir hitam itu duduk manis di antara Ibu dan aku di atas motor.
Sebenarnya, ibuku bukan penggemar tanaman hias populer dan mahal harganya. Tapi di rumah, Ibu sudah memiliki Philodendron moonlight yang daunnya berwarna hijau kekuningan cerah.
”Nanti mereka jadi pasangan!” Aku kegirangan sebab jika tanaman yang baru dibeli ini ditaruh bersisian dengan Philodendron moonlight, kekontrasannya akan terlihat cantik, bagaikan siang dan malam. Rupanya alasan ibuku nekat membeli filodendron gelap serupa denganku.
”Tidak apa-apa?”
”Baik-baik saja, Bu.” Aku tahu Ibu bertanya tentang tanaman karena matanya terpaku padanya yang masih berada di dalam plastik setelah perjalanan berangin. Kemudian Ibu mengeluarkan dan menggotongnya menuju filodendron cerah yang diletakkan di teras.
”Duh, manisnya,” gumam Ibu.
Kehadiran sepasang filodendron kontras itu memunculkan pertanyaan yang selalu ada ketika Ibu beli tanaman hias baru. ”Bu, Mbak Depan punya filodendron juga?”
”Punya. Yang ini.” Ibu menunjuk daun hijau kekuningan itu.
“Jangan-jangan nanti beli yang hitam juga,” imbuh Ibu.
Kira-kira setahun lalu, halaman rumah Mbak Depan masih kosong. Dia tidak pernah menghiasnya meski sudah menetap di sana selama beberapa tahun. Paling hanya diisi satu pot bougenvil ungu dan pohon mangga penyakitan yang enggan berbuah. Pohon itu kemudian ditebang dan bougenvil dicarikan kawan. Untuk memberikan kawan tersebut, Mbak Depan jadi sering sekali membeli tanaman dalam waktu berdekatan. Kayu-kayu yang digunakan untuk mengepak pipa di perusahaan tempat suaminya bekerja, ia kreasikan jadi rak untuk menempatkan tanamannya di dinding.
”Eh, kayaknya Mbak Depan mata-matai koleksi tanaman Ibu, deh.” Suatu hari Ibu berkata demikian dengan raut tak terima.
Ibu bercerita, Mbak Depan tertangkap basah melakukannya. Wanita berkulit putih dan berbadan gempal itu sengaja mengemudikan mobil pelan sekali, dengan mata tertuju ke balik pagar rumah kami. Dia tidak sadar Ibu sedang duduk di teras sebab terlindungi pohon mangga yang oleh ibuku digantungi bermacam-macam tanaman menjuntai. Kalau dilihat-lihat, Mbak Depan memang membeli tanaman sama dengan milik Ibu. Tak jarang beli yang sudah berukuran besar sekalian.
Seiring waktu, semakin ramai pula halaman rumah Mbak Depan. Pohon bougenvil itu jadi kalah menonjol dari teman-temannya yang hampir semuanya sama dengan apa yang ada di halaman rumah kami. Aku dan Ibu jadi lebih sering mengintip rumah tetangga satu itu demi melihat tanaman mana lagi yang diikutinya. Aku curiga Mbak Depan juga mengintip dari balik jendela untuk melihat koleksi Ibu.
Jauh sebelum hobi bercocok tanam menjadi populer di saat pandemi, Ibu sudah gemar melakukannya—tepatnya sejak Ibu masih remaja. Kala Ibu dibawa merantau oleh Ayah ke Kalimantan, nasib tanaman di rumah mbahku berakhir tragis. Kalau bukan mati sendiri, ya, ditebang. Rayuan ibuku agar menjadikan berkebun sebagai hobi, tak digubris oleh orang tuanya. Sudah capek mengurus sawah dan ternak katanya.
Bila keadaan ekonomi kami masih buruk seperti saat aku SD, mungkin kami akan betul-betul jatuh miskin di masa sulit ini, lalu menjadi parasit di rumah Mbah. Dan Ibu takkan mampu mengoleksi tanaman hias yang menjadi penghilang stresnya.
Dulu, Ibu hanya bisa merawat pagar semak kembang asoka yang sudah ada di rumah kontrakan kami. Ditambah anggrek murah yang rajin berbunga pemberian tetangga, memberi warna di halaman lowong berumput kusam—semuram keadaan kami karena Ayah baru terkena PHK akibat krisis 1998 dan Ibu mesti menggunakan uang tabungan yang semakin menipis. Lalu ada seorang tetangga lagi yang memberikan kembang sepatu. Bertahun-tahun setelahnya, Ayah menjadi manajer di perusahaan bonafide dan kami bisa punya rumah sendiri di sebuah kompleks sederhana. Ibu pun punya anggaran untuk melakukan hobi tanpa takut keluarga tak bisa makan. Meski begitu, Ibu tetap tak mau membeli tanaman yang terlampau mahal. Sepertinya Philodendron black cardinal ini tanaman termahal yang pernah dibelinya.
Tapi kecurigaan Ibu—dan aku—tentang tetangga sekitar yang mengikutinya bukan tanpa alasan. Hingga setahun lalu, hanya rumah kami yang memiliki halaman penuh tanaman hias. Orang-orang yang masuk ke kompleks ini harus melewati jalan di depan rumah kami sehingga biar tak kenal pun mereka menjuluki rumah ini ”Rumah dengan Banyak Tanaman”. Kadang malah ada yang menatap dengan iri campur kagum. Aku sebagai anak turut bangga kala orang lain memuji ibuku, mengatakan Ibu ”bertangan dingin” sebab semua yang disentuh pasti tumbuh subur.
Ibu Depan, tetangga yang garasinya berseberangan dengan milik kami tapi bagian rumahnya berseberangan dengan bangunan Mbak Sebelah, juga mengikuti Ibu. Ibu punya hiasan dinding berupa persegi yang terbuat dari kayu ringan dan di tengahnya terdapat bunga dan daun artifisial, oleh-oleh dari sebuah tempat wisata di Malang. Hiasan itu pas sekali dengan pintu rumah yang berwarna hijau tua, maka Ibu pun memasangnya di sana saat semua pintu rumah tetangga tidak punya hiasan apa-apa.
Mungkin mereka terinspirasi dari Ibu, jadilah kini pintu rumah Ibu Depan, Mbak Depan, dan Mbak Sebelah turut dihiasi bunga buatan meski tak persis milik kami. Tetapi Ibu Depan kesulitan untuk menata halamannya yang kujuluki ”hutan rimba mini” saking ruwet dan penuh sesak serta berwarna hijau monoton. Dia tidak memiliki lahan yang bisa diatur semaunya sebab truk dan mobil boks untuk usaha ekspedisi suaminya memenuhi segala tempat bahkan hingga mengganggu pengguna jalan.
Lalu ada Mbak Sebelah—dipanggil begitu meski usianya sama dengan Ibu karena tingkah dan gayanya persis gadis puber—turut menghiasi pintu dan hobi berbunga. Asalnya tanaman yang dia bawa dari rumah lama sedikit sekali. Gara-gara bertetangga dengan Ibu, sang rentenir juga mau punya taman indah. Namun, dia lebih suka pada bunga, sedang Ibu pada tiap tanaman hias walau yang tidak berbunga. Tak heran kalau dia langsung memborong bunga sebanyak itu tak lama setelah pindah. Kan, dia mengaku punya banyak uang dari orang-orang yang dia sebut nasabah.
Di antara ketiga tetangga sekitar rumah hanya Mbak Depan yang mengikuti semua kelakuan Ibu. Kalau kebetulan, mengapa selalu terjadi? Tak pernah kusangka bercocok tanam pun bisa jadi kompetisi.
***
”Sepertinya, ini gara-gara monstera,” ujar Ibu mantap, terkait pertengkaran pasutri di rumah seberang.
Aku ingat beberapa hari sebelumnya Ibu sempat datang ke rumah tetangga satu itu, memberikan ketiga anaknya es krim sepulang dari toko kelontong. Meski kesal karena kerap ditiru, Ibu masih bertandang ke sana buat berbagi makanan atau berbincang bila ada perlu, begitu pula sebaliknya. Koleksi tanaman Mbak Depan makin beragam dan mengikuti tren sehingga ada beberapa tanaman yang belum pernah Ibu lihat. Katanya, dia mengikuti perkembangan dunia tanaman hias lewat media sosial. Ibuku manggut-manggut saja sebab tak paham cara bermainnya.
Baca Juga: Sang Pengelana dan Teka-teki Semesta
”Dia masih muda, sih. Wajar saja kalau main media sosial terus kepingin banyak hal. Tapi repot juga kalau kemauan diikuti terus. Bahaya,” kata Ibu.
Ibu melanjutkan, ketika dia mampir ke rumah seberang, Mbak Depan sedang menurunkan tanaman yang lagi digandrungi orang berduit bernama Monstera variegata dari mobil.
”Dia beli dari temannya. Harganya delapan ratus ribu!”
Apa yang diperbuat Mbak Depan membuat Ibu mempertanyakan kemampuan IRT itu mengatur uang. Suaminya hanyalah pegawai perusahaan swasta yang bisa saja buyar di tengah krisis berkepanjangan ini. Dia juga punya tiga anak kecil yang butuh biaya besar agar dapat dibesarkan dengan layak, dan masih harus punya tabungan darurat. Bagaimana bisa dia menggunakan uang sebanyak itu hanya untuk beli tanaman trendi?
”Pantas beberapa waktu terakhir ini dia cuma beli tempe dan tahu di tukang sayur. Padahal setahu Ibu, dia selalu membeli daging-dagingan kayak ayam atau ikan buat anak-anaknya. Mungkin dia menghemat demi bisa beli monstera itu.” Ibu geleng-geleng kepala sebelum keluar dari rumah lagi untuk melanjutkan menyiram tanaman, dibarengi cicak yang tadi sembunyi kini pergi menyelonong ke ruangan lain.
Entah apa insting Ibu selalu benar atau hanya hipotesa yang terbukti kebenarannya setelah makan asam dan garam puluhan tahun, siang harinya ada dua mobil parkir di depan rumah Mbak Depan. Mobil pertama dimasuki beberapa pot ke dalam melalui pintu belakang. Sedang wanita pengemudi mobil kedua yang bermasker kerlap-kerlip keluar dari pagar menuju mobil sedannya. Dia menggotong pot berisi Monstera variegata berdaun dua yang tampak lugu namun berpotensi jadi pemicu hancurnya keriangan sebuah rumah tangga.
”Terima kasih,” seru kedua wanita yang terdengar puas sehabis melakukan transaksi jual beli itu. Mbak Depan tersenyum kecut.
Aku dan Ibu memandangi mobil pertama yang berlalu, disusul mobil kedua berisi Monstera hancuriata. Eh, Monstera variegata.
***
Elsa Malinda lahir di Balikpapan, 18 Maret 1994. Mencari inspirasi untuk terus menulis di mana saja, menonton film, dan membaca adalah hobinya. Menjadi penulis lepas di beberapa media, baik cetak maupun digital, seperti Ublik.id. Karyanya dimuat di Kaltim Post, antara lain Kisah Putri Zenya dan Meghan (2009) dan Deman Jokowi (2013), Majalah Imut: Adikku Gina (2012) dan pada awal 2017 menerbitkan kumpulan cerpen anak pertama yang berjudul Pangeran Tikus.
Elsa adalah lulusan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman. Alamat e-mail: elsamalinda18@gmail.com. Akun instagram: elsamalinda, akun Twitter: elsa__malinda.