Usulan nama Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri dikritisi Tim Advokasi Novel Baswedan. Tim mempertanyakan karena Listyo dinilai belum berhasil mengungkap dalang penyiram Novel Baswedan.
Oleh
EDNA C PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Advokasi Novel Baswedan mengkritisi usulan nama Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri. Pasalnya, Listyo dinilai belum berhasil mengungkap dalang dan menegakkan hukum dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Ketua LBH Jakarta Arif Maulana, selaku anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, mengatakan, Jumat (15/1/2021), di Jakarta, hingga kini, sebagai Kepala Bareksrim Polri, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinilai belum berhasil mengungkapkan siapa dalang penyiram air keras terhadap penyidik KPK.
Pengungkapan kejahatan itu dinilai hanya berhenti pada aktor lapangan, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Tim Advokasi menilai penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Kepolisian tidak kunjung menuai hasil. Dua pelaku penyiraman yang saat ini telah menyandang status terpidana diduga keras bukan aktor sebenarnya. Pada proses persidangan, Tim Advokasi menemui berbagai kejanggalan.
Sebagai Kepala Bareksrim Polri, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinilai belum berhasil mengungkapkan siapa dalang penyiram air keras terhadap penyidik KPK.
Ada dugaan intimidasi terhadap saksi, penghilangan barang bukti, sampai pada pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri. ”Hal ini semakin menguatkan indikasi adanya upaya Kepolisian untuk menutup-nutupi pelaku intelektual di balik serangan terhadap Novel,” kata Arif Maulana.
Pada Juli 2020, keduanya divonis bersalah dengan hukuman 2 tahun penjara untuk Rahmat Kadir Mahulette dan 1,5 tahun penjara untuk Ronny Bugis. Menurut Arif, putusan tersebut sangat mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat karena penyerangan terhadap Novel Baswedan merupakan intervensi terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 2018 yang dibentuk Kapolri Jendral (Pol) Tito Karnavian pada 8 Januari 2019 menyatakan, penyerangan Novel diduga terjadi karena pekerjaannya sebagai penyidik KPK. Kedua, Novel diduga menggunakan kekuasaannya secara berlebihan, yang menyebabkan sejumlah pihak sakit hati.
”Sampai dengan saat ini terhadap kedua terpidana belum dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) oleh Kapolri,” kata Arif.
Kurnia Ramadhan dari Indonesia Corruption Watch menyatakan, penegakan hukum terhadap kasus ini juga tidak berhasil menjangkau dan mengungkap dalangnya, padahal berdasarkan temuan Tim Pemantau Proses Hukum (TPPH) Komnas HAM, peristiwa pada tanggal 11 April 2017 diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku lapangan.
Kegagalan tersebut dinilai merupakan tanggung jawab Listyo Sigit Prabowo selaku Kabareskrim Polri. ”Oleh karena itu, pilihan calon tunggal Kapolri oleh Presiden patut dipertanyakan,” kata Kurnia.
Tim Pencari fakta
Sampai dengan saat ini terhadap kedua terpidana belum dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) oleh Kapolri.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, yang juga anggota Tim Advokasi, menyatakan, tim meminta anggota DPR meminta komitmen calon tunggal Kapolri mengenai pengungkapan dalang atau otak penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Komitmen itu, antara lain, dengan membentuk tim khusus untuk menyelidiki ulang penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan untuk mengungkap dalangnya. Selain itu, juga melakukan pemberhentian dengan tidak hormat para eksekutor Rahmat Mahulette dan Ronny Bugis, serta memeriksa tim penyidik.
”Presiden tetap harus bertanggung jawab terhadap pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan karena Kapolri langsung berada di bawah Presiden juga dicalonkan oleh Presiden,” kata Fatia. Tangung jawab ini, antara lain, diwujudkan dengan memastikan Kapolri baru mengungkap hingga tuntas pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Bawedan dan membuat tim independen pencari fakta.