BPS mencatat, nilai total ekspor Indonesia selama 2020 mencapai 163,31 miliar dollar AS, turun 2,61 persen dibandingkan posisi tahun 2019. Kondisi itu dinilai tidak buruk di tengah tekanan ekonomi global akibat Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran pandemi Covid-19 yang sepanjang tahun 2020 memukul perdagangan global ternyata tidak membawa dampak yang terlalu buruk pada kinerja ekspor Indonesia. Meski menurun dibandingkan tahun 2019, pelemahan nilai ekspor dinilai tidak terlalu kuat. Kondisi ke depan diharapkan membaik seiring dengan memulihnya kondisi ekonomi global.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai total ekspor Indonesia selama Januari-Desember 2020 mencapai 163,31 miliar dollar AS. Dibandingkan posisi tahun 2019, total ekspor Indonesia pada 2020 turun 2,61 persen. Sebelumnya, sepanjang 2019, Indonesia membukukan ekspor senilai 167,68 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto, Jumat (15/1/2021), menilai, kondisi itu menggembirakan, mengingat buruknya kondisi perekonomian global akibat Covid-19. ”Tahun 2020 itu luar biasa dengan pandemi dan permintaan global yang turun, tetapi melihat penurunan ekspor Indonesia sebesar 2,61 persen, ternyata posisi kita tidak seburuk yang dibayangkan,” kata Suhariyanto dalam keterangan pers secara daring.
Ke depan, diharapkan kinerja ekspor semakin membaik seiring dengan meningkatnya penanganan kesehatan, upaya vaksinasi, kenaikan harga dan permintaan berbagai komoditas, serta pemulihan ekonomi dunia.
Ekspor yang paling banyak berkontribusi sepanjang 2020 berasal dari lemak dan minyak hewan nabati (13,37 persen), diikuti bahan bakar mineral (11,14 persen). ”Pergerakan harga minyak sawit dan harga batubara sangat berpengaruh kepada total nilai ekspor Indonesia,” kata Suhariyanto.
Sebagaimana diketahui, kedua komoditas andalan Indonesia, minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan batubara, mengalami peningkatan harga cukup signifikan, terutama menjelang akhir tahun. Pada Desember 2020, harga minyak kelapa sawit naik 6,62 persen secara bulanan dan naik 28,13 persen secara tahunan, sementara harga batubara naik 28,93 persen secara bulanan dan 25,5 persen secara tahunan.
Sementara itu, pada Desember 2020, nilai ekspor tercatat sebesar 16,54 miliar dollar AS, naik 8,39 persen dibandingkan posisi pada November 2020. Sementara, jika dibandingkan dengan Desember 2019, kenaikan ekspor meningkat cukup signifikan sebesar 14,63 persen. Sebagai perbandingan, pada Desember 2019, ekspor tercatat senilai 14,43 miliar dollar AS.
Suhariyanto mengatakan, perkembangan ekspor pada Desember ini sangat menggembirakan karena merupakan yang tinggi sepanjang 2020. ”Bahkan, kalau dilacak ke belakang lagi, nilai ekspor bulanan pada Desember 2020 ini tertinggi sejak Desember 2013. Biasanya, ekspor di Desember itu menurun karena banyak hari libur, tetapi pola saat ini terbalik dan ini sangat menggembirakan,” kata Suhariyanto.
BPS mencatat, sepanjang Desember 2020, hampir seluruh ekspor nonmigas mengalami peningkatan, baik dari sisi volume maupun nilai ekspor. Industri pengolahan tumbuh baik secara bulanan maupun tahunan. Komoditas olahan yang ekspornya cukup tinggi adalah minyak kelapa sawit, pakaian jadi dari tekstil, kimia dasar organik yang bersumber dari minyak, serta televisi dan perlengkapan televisi.
Sementara ekspor dari sektor pertanian tumbuh signifikan secara tahunan meski menurun secara bulanan. Komoditas utama pertanian yang ekspornya meningkat secara tahunan adalah sarang burung walet, tanaman obat aromatik, cengkeh, kopi, dan hasil hutan bukan kayu lainnya.
Impor menurun
Sepanjang 2020, Indonesia mencatat impor senilai 141,57 miliar dollar AS. Kondisi ini menurun cukup dalam sebesar 17,34 persen dibandingkan impor tahun 2019. Penurunan impor terjadi baik untuk barang konsumsi, bahan baku/penolong, maupun barang modal.
Dibandingkan tahun 2019, impor bahan baku/penolong yang digunakan untuk kepentingan industri menurun 18,32 persen sepanjang 2020, sementara impor barang modal yang menjadi penanda geliat investasi menurun 16,73 persen. Adapun impor barang konsumsi menurun 10,93 persen sepanjang 2020.
Meski demikian, dibandingkan dengan barang modal dan barang konsumsi, bahan baku/penolong tetap mendominasi impor sepanjang 2020, yakni sebesar 72,91 persen dari total nilai impor pada 2020.
Suhariyanto mengatakan, penurunan itu wajar terjadi karena pandemi mendisrupsi, baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Hampir semua sektor industri mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi. ”Seiring dengan adanya vaksinasi dan kepatuhan masyarakat, tahun 2021 harus lebih optimistis agar perekonomian kita menjadi lebih baik,” katanya.
Di sisi lain, meski secara tahunan kinerja impor menurun, tetapi pola peningkatan impor secara bulanan, khususnya untuk impor bahan baku/penolong dan barang modal, menjadi penanda ekonomi yang mulai membaik. BPS mencatat, pada Desember 2020, impor bahan baku secara bulanan mulai tumbuh sebesar 14,15 persen, sementara barang modal tumbuh 3,89 persen secara bulanan.
Pekerjaan rumah
Dengan posisi ekspor dan impor sepanjang 2020 itu, neraca perdagangan Indonesia pada 2020 membukukan surplus senilai 21,74 miliar dollar AS. Meski demikian, surplus dicapai karena total nilai impor sepanjang 2020 yang terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan nilai ekspor. Ekspor tercatat menurun 2,61 persen sepanjang tahun, sementara impor terkontraksi lebih dalam sebesar 17,34 persen.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam keterangan tertulis mengatakan, pada 2021 pemerintah akan berupaya meningkatkan ekspor melalui berbagai perjanjian kerja sama perdagangan internasional dan memperluas pasar ekspor ke negara tujuan nontradisional.
Pemerintah juga akan membantu pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) menembus pasar ekspor. Melihat tren perkembangan ekspor terbaru, Lutfi menilai, Indonesia akan perlahan meninggalkan reputasi sebagai negara pengekspor barang mentah atau setengah jadi.
”Di masa datang, kita akan menjadi pengekspor barang industri berkualitas tinggi. Kita lihat, ekspor produk besi baja dan kendaraan bermotor kita terus bertumbuh. Kedua barang ini menjadi fenomena baru dalam ekspor Indonesia,” kata Lutfi.
Namun, untuk itu, Indonesia harus menuntaskan pekerjaan rumah membenahi industri dalam negeri dan mengembangkan diri menjadi lebih kompetitif. Salah satunya, membuka diri terhadap pasar global dan mengundang investasi dan industrialisasi masuk. ”Banyaknya investasi dan industrialisasi berorientasi ekspor yang masuk akan melahirkan berbagai peluang ekspor ke depan,” katanya.