Membudayakan Kepala Sekolah Beri Umpan Balik kepada Guru
›
Membudayakan Kepala Sekolah...
Iklan
Membudayakan Kepala Sekolah Beri Umpan Balik kepada Guru
Pemberian umpan balik oleh kepala sekolah kepada guru perlu dibudayakan agar layanan pembelajaran di sekolah semakin membaik.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Budaya memberikan umpan balik berkesinambungan oleh kepala sekolah kepada guru belum banyak dipraktikkan selama ini. Kondisi ini semakin menyulitkan terwujudnya pengelolaan pendidikan yang baik ketika pembelajaran jarak jauh berkepanjangan berlangsung selama pandemi Covid-19.
"Kepala sekolah umumnya tidak dibiasakan untuk melakukan supervisi ataupun memberikan umpan balik ke guru. Kultur masyarakat yang tidak biasa menyampaikan masukan mungkin berpengaruh. Namun, budaya seperti itu bisa diubah," ujar Direktur Eksekutif Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (Inspirasi) Patrya Pratama di sela-sela diskusi panel "Menjadi Kepala Sekolah yang Membawa Perubahan", Kamis (14/1/2021)", di Jakarta.
Dia lantas memberikan gambaran berdasarkan riset Inspirasi kepada sejumlah kepala sekolah dan madrasah di Karawang, Jawa Barat, yang mengikuti pelatihan kepemimpinan di program Rintisan selama 1,5 tahun, mulai Juli 2019.
Setelah pelatihan, ada 27 persen dari jumlah kepala sekolah/madrasah yang mau melakukan observasi kelas. Sebanyak 53 persen kepala sekolah/madrasah mau bertanya dengan pertanyaan menyelidik kepada guru dan 47 persen memberikan umpan balik konstruktif dibanding evaluatif.
Sepuluh persen dari total kepala sekolah/madrasah telah mengubah pola pikir moderat menjadi bertumbuh (growth mindset). Sekitar 29 persen kepala sekolah/madrasah menjadi lebih memiliki motivasi internal.
Salah satu peserta program Rintisan, Kepala SD Negeri Duren IV Klari, Karawang, Empat Fatimah, mengatakan, setelah membiasakan diri observasi praktik mengajar guru, dia menjadi tahu bahwa pembelajaran belum sepenuhnya efektif. Guru sebatas menerangkan. Dari sanalah, dia mulai berusaha memberikan umpan balik, seperti membuatkan kliping model pembelajaran dan mendorong guru mau mendengar suara siswa.
Ketika belajar dari rumah diberlakukan pemerintah, dia mengaku kesulitan mengawasi guru dalam praktik pembelajarannya. Empat hanya bisa memantau keaktifan guru melalui absensi.
"Pembelajaran selama pandemi Covid-19 mengedepankan metode daring. Saya belum tahu bagaimana agar budaya pemberian uman balik bisa tetap berjalan. Situasinya sekang kan tidak tatap muka fisik, berbeda dari kondisi normal yang memungkinkan saya masuk ke kelas-kelas," kata dia.
Salah satu peserta lain program Rintisan, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Ar-Rahmah Karawang, Lusiyono, mengemukakan, sebelumnya, satuan pendidikan tempatnya bekerja meniru rancangan kerja madrasah (RKM) yang sudah berkembang, lalu diterapkan oleh guru. Tidak ada upaya menyusun RKM sesuai kebutuhan di instansi sendiri.
Madrasah Ibtidaiyah Ar-Rahmah sendiri baru berusia delapan tahun dan ingin bergerak maju. Hal itulah yang jadi pendorong kuat dia mau berubah. Setelah mengikuti pelatihan program Rintisan, dia sadar pentingnya supervisi dan memberikan umpan balik. Dia mulai berbenah diri dengan melakukan identifikasi masalah guru dan memetakan solusi.
Ketika pandemi memaksa pembelajaran jarak jauh (PJJ), Lusiyono kembali menggali persoalan guru. Dari mereka, dia memperoleh data bahwa 10 dari 22 yang ada guru memakai komputer jinjing pribadi. Dia juga mengikutsertkan guru ke pelatihan PJJ metode daring.
"Saya ingin melangkah lebih jauh dari itu, misalnya guru akan mampu melibatkan orangtua agar kualitas pembelajaran membaik," kata dia.
Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan berpendapat, kondisi sekolah/madrasah di Indonesia baik-baik saja, tetapi pembelajaran yang berlangsung didalamnya tidak. Berdasarkan hasil penelitian SMERU sepanjang 2000-2014, tingkat partisipasi sekolah terpantau naik, tetapi pembelajaran cenderung turun. Hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) juga menunjukkan situasi yang serupa.
Dalam pengamatan dia, sejumlah siswa tidak suka mengisi waktu kosong pembelajaran di kelas dengan belajar. Karena itulah, bel tanda pembelajaran di kelas berakhir pun amat ditunggu murid.
Dengan membudayakan pemberian umpan balik kepada guru, berarti kepala sekolah/madrasah mau terus belajar. Tugas utama mereka bukan mengawasi tetapi membantu guru melakukan refleksi dan mengembangkan kompetensinya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang berpusat pada murid.
Kepemimpinan sekolah/madrasah, lanjut dia, mesti dimaknai sebagai sikap memimpin berbasis perencanaan, mau memperbaiki, dan melibatkan guru ataupun orangtua untuk kebutuhan siswa.
Menurut Bukik, budaya pemberian umpan balik tetap bisa digeliatkan kepala sekolah/madrasah selama PJJ masih berlangsung. Asal, mereka punya empati terhadap pengalaman guru terlebih dulu.
"Kepala sekolah/madrasah bisa meminta guru menceritakan poin-poin atau refleksi harian yang menarik kondisi PJJ. Lalu, bersama guru, kepala sekolah/madrasah saling mencari solusi yang membangun," imbuh dia.
Sekretaris Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nunuk Suryani mengatakan, Rencana Strategis Kemendikbud pada 2020-2024 ingin menghasilkan sumber daya manusia unggul. Hasil keluarannya adalah membentuk pelajar Pancasila dan pembelajar sepanjang hayat. Untuk mencapai keluaran itu, kementerian memberikan penekanan kepada perbaikan kepemimpinan sekolah.
Dua program prioritas Kemendikbud adalah Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak. Program Guru Penggerak, khususnya, akan diarahkan untuk menghasilkan guru-guru yang bisa memimpin."Pada masa mendatang, calon kepala sekolah harus berangkat dari guru penggerak," kata dia.