Menangkap Peluang Pemulihan Ekonomi
Pemerintah perlu menangkap peluang tumbuhnya kepercayaan masyarakat dengan memastikan efektivitas vaksinasi. Hal ini bertujuan untuk menjamin rasa aman dan keselamatan masyarakat. Tanpa rasa aman, ekonomi sulit berputar.
Kinerja ekonomi Indonesia pada 2020 dipengaruhi oleh dampak pandemi Covid-19. Pendapatan APBN dan kredit perbankan mengalami kontraksi. Tumbuhnya kepercayaan pasar menjadi peluang memulihkan perekonomian nasional.
Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang dimulai pada kuartal I-2020 memaksa Pemerintah Indonesia mengurangi aktivitas perekonomian nasional. Kebijakan pembatasan aktivitas sosial untuk mengendalikan penularan virus membuat mata rantai penawaran (supply) dan permintaan (demand) tertekan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi.
Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II dan III-2020 negatif 5,32 persen serta negatif 3,49 persen (year on year). Dari sisi pengeluaran, sumber kontraksi terdalam pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II dan III-2020 berasal dari konsumsi rumah tangga negatif 2,96 persen dan negatif 2,17 persen (year on year).
Perlambatan ini disebabkan oleh tertahannya belanja dari populasi kelas menengah dan atas, turunnya daya beli masyarakat karena hilangnya pekerjaan, serta potensi kenaikan harga karena terganggunya sisi penawaran.
Adapun dari sisi lapangan usaha, sumber kontraksi terdalam pada kuartal II-2020 berasal dari sektor transportasi dan pergudangan sebagai dampak penurunan aktivitas ekonomi. Pada kuartal III-2020, sumber kontraksi terdalam berasal dari industri pengolahan dengan kontraksi 0,89 persen (year on year).
Industri pengolahan mengalami tekanan pada penawaran dan permintaan. Pada suplai, gangguan pada rantai pasokan global menyebabkan kenaikan biaya produksi, terutama bahan baku impor. Selain itu, aktivitas produksi juga menjadi menurun karena ada pembatasan pergerakan tenaga kerja. Pada sisi permintaan, secara keseluruhan permintaan masyarakat akan produk industri menurun.
Kondisi luar biasa (extraordinary) ini merupakan tantangan yang harus direspons tepat, cepat, dan efektif. Instrumen fiskal dan moneter menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dari ancaman kemerosotan ekonomi. Karena itu, kebijakan countercyclical dilakukan sebagai upaya menahan keberlanjutan penurunan ekonomi dan memulihkan ekonomi.
Kinerja ekonomi
Dari segi fiskal, APBN digunakan sebagai instrumen penting untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi. Negara melakukan deficit financing karena pendapatan negara menurun, sementara belanja penanganan Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional meningkat. Akibatnya, defisit APBN 2020 diperkirakan melebar 6,34 persen terhadap APBN.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga November 2020, realisasi pendapatan negara 83,7 persen dari target APBN dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. Pertumbuhan pendapatan ini menurun 15,1 persen (year on year) seiring dengan masih terbatasnya aktivitas ekonomi.
Guncangan terhadap ekonomi ini membuat besaran output ekonomi menjauh dari output potensialnya. Kebijakan fiskal countercyclical dan program pemulihan ekonomi berupa insentif perpajakan membuat realisasi pajak hingga November 2020 turun 15,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, belanja negara hingga November 2020 meningkat 12,7 persen (year on year) atau sebesar Rp 2.306,7 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.558,7 serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 748 triliun. Nilai belanja pemerintah pusat tersebut mengalami kenaikan 20,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Berdasarkan capaian pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran hingga November sebesar Rp 883,7 triliun atau 5,60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 2,34 persen terhadap PDB.
Selain peningkatan defisit fiskal, tingkat utang juga mengalami peningkatan. Posisi rasio utang pemerintah terhadap PDB per November 2020 sebesar 38,13 persen. Namun, jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB sejumlah negara, rasio utang Indonesia masih relatif lebih rendah.
Peningkatan pada defisit fiskal dan utang ini sebagai dampak dari pembiayaan penanganan kesehatan serta pemulihan ekonomi. Pada 2020, pemerintah menganggarkanRp 695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PCPEN). Anggaran tersebut dialokasikan dalam enam sektor.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi anggaran PCPEN hingga 23 Desember 2020 sebesar 72,3 persen dari total anggaran. Sisa anggaran PCPEN pada 2020 yang masih Rp 192,49 triliun ini rencananya akan dialokasikan untuk program PCPEN pada 2021.
Kebijakan fiskal yang diterapkan Indonesia ini merupakan kebijakan extraordinary yang bertujuan untuk mendongkrak kembali perekonomian. Melalui kebijakan tersebut, diharapkan dapat membantu masyarakat terdampak Covid-19 dan memulihkan dunia usaha.
Potensi membaik
Upaya pemulihan ekonomi Indonesia tak hanya dilakukan dari sisi fiskal, tetapi juga didukung oleh kebijakan moneter. Bauran kebijakan Bank Indonesia terus diperkuat dan terkoordinasi erat dengan pemerintah serta KSSK dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
BI melakukan penguatan bauran kebijakan yang meliputi enam aspek kebijakan. Kebijakan tersebut adalah penurunan suku bunga (BI7DRR), stabilisasi nilai tukar rupiah, pelonggaran moneter (quantitative easing), pelonggaran kebijakan makroprudensial, penyediaan pendanaan dan pembagian beban pembiayaan APBN 2020, serta digitalisasi sistem pembayaran.
BI 7-Day Reverse Repo Rate pada 2020 mengalami penurunan lima kali sebesar 125 bps menjadi 3,75 persen. Suku bunga ini merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah. Pengambilan langkah ini dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah rendahnya inflasi dan relatif stabilnya nilai tukar.
Nilai tukar rupiah menguat signifikan dengan kebijakan stabilisasi yang dilakukan BI. Pada 23 Maret 2020, nilai tukar rupiah menyentuh Rp 16.575 per dolar AS dan menguat pada 20 November 2020 menjadi Rp 14.165 per dolar AS. Secara fundamental, nilai ini masih ”undervalued” dan diperkirakan masih berpotensi menguat.
Menguatnya nilai tukar rupiah membuat kepercayaan investor semakin membaik. Sejak 14 April hingga 20 November 2020, aliran masuk portofolio asing ke pasar surat berharga nasional sebesar Rp 48,6 triliun. Selain itu, cadangan devisa juga meningkat kembali menjadi 133,7 miliar dolar AS pada Oktober 2020.
BI juga meningkatkan stimulus moneter dalam bentuk kebijakan quantitative easing ke perbankan dalam jumlah yang besar untuk mendorong pembiayaan dunia usaha dan pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Injeksi likuiditas rupiah yang dilakukan BI hingga 20 November 2020 sekitar Rp 682 triliun atau 4,4 persen dari PDB.
Baca juga: Risiko Masih Mengintai
Baca juga: Risiko Lonjakan Kredit Macet Tetap Mengintai
Pada sektor perbankan, OJK melakukan restrukturisasi kredit dengan penundaan angsuran pokok dan bunga. Upaya tersebut dilakukan agar tak berdampak pada kenaikan kredit bermasalah (NPL) dan penurunan permodalan.
Meskipun masih dibayangi oleh pandemi, ekonomi Indonesia 2021 diproyeksikan berpotensi membaik. Selain membaiknya beberapa indikator di sektor moneter, dua hal yang memberi harapan adalah tumbuhnya kepercayaan pasar dan dimulainya vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
Program vaksinasi Covid-19 yang dipadukan dengan konsistensi pemerintah melakukan testing, tracing, dan treatment (3T), serta partisipasi masyarakat menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) menjadi daya dorong pemulihan kegiatan perekonomian nasional. Namun, khusus untuk program vaksinasi, pendistribusian dan keefektifan vaksin menjadi indikator penentu yang berpengaruh besar terhadap ekspektasi dan perilaku ekonomi masyarakat.
Baca juga: Ekonomi Membaik, Lapangan Kerja Jadi Harapan Terbesar Masyarakat
Upaya tersebut diperlukan untuk menguatkan modal tumbuhnya kepercayaan masyarakat. Tumbuhnya kepercayaan tersebut terlihat dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang membaik pada Desember 2020. Berdasarkan survei konsumen BI, IKK berada di level 96,5.
Indeks tersebut naik dibandingkan dengan November 2020 yang berada pada level 92,0. Angka ini menunjukkan bahwa keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi menguat mendekati zona optimis.
Karena itu, pemerintah perlu menangkap peluang tumbuhnya kepercayaan masyarakat dengan memastikan efektivitas program vaksinasi. Hal ini bertujuan untuk menjamin rasa aman dan keselamatan masyarakat. Tanpa rasa aman, ekonomi akan sulit berputar. Jika pengendalian Covid-19 berjalan lambat, muncul gelombang baru lonjakan kasus Covid-19 yang membuat ekonomi kembali bergejolak.
(LITBANG KOMPAS)