Pancasila Pasca-P-4
Internalisasi Pancasila demi pembentukan budaya kewargaan penting dilakukan, baik bagi penyelenggara negara maupun masyarakat. Maka, titik tekan penguatan Pancasila terdapat pada sila kerakyatan.
Presiden Joko Widodo telah menghidupkan kembali program nasional pembinaan ideologi Pancasila sejak 2017. Namun, hingga 2021 ini, problem mendasar dari hal tersebut belum dituntaskan. Apakah itu? Yakni penguatan Pancasila setelah dihapusnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P-4.
Mengapa hal ini patut dijadikan persoalan? Karena P-4 merupakan program ideologis yang mewariskan dampak, termasuk dampak negatif. Sayangnya, atas dampak negatif tersebut, jajaran pemerintahan Jokowi tidak memetakannya guna dicarikan solusi.
Apakah dampak negatif dari P-4? Setidaknya dua hal. Pertama, proses dehistorisasi Pancasila akibat proyek desoekarnoisasi. Karena ingin menghapus jejak Soekarno dalam Pancasila, Orde Baru sekaligus menghapus jejak para pendiri bangsa atau perumus Pancasila di dalam sejarah, pemikiran, dan substansi pengetahuan dasar negara ini.
Dalam konteks desoekarnoisasi, pemerintahan Presiden Jokowi belum melakukan pelurusan sejarah. Sebab, hingga saat ini, risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) masih memuat teks pidato yang tidak otentik. Risalah terakhir tahun 1998 terbitan Sekretariat Negara masih memuat teks pidato Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 yang tidak otentik. Teks pidato itu merupakan hasil revisi Yamin sendiri, yang berbeda dengan notulasi asli.
Teks pidato itu merupakan hasil revisi Yamin sendiri, yang berbeda dengan notulasi asli.
Dalam risalah terbitan Sekretariat Negara, teks pidato Yamin berjumlah 21 halaman. Satu hal yang berbeda dengan notulasi asli dalam arsip Abdul Karim (AK) Pringgodigdo yang hanya berjumlah tiga halaman. Bung Hatta dalam Memoir-nya (1979) menyatakan, teks pidato 21 halaman itu adalah bekas draf pembukaan UUD yang ditulis Yamin atas perintah Ketua Panitia Sembilan, yakni Soekarno.
Draf itu ditolak Panitia Sembilan karena terlalu panjang. Menurut Hatta, Yamin lalu menjadikan draf tersebut sebagai pengganti notulasi pidatonya di Sidang BPUPK, 29 Mei 1945. Draf itu lalu dimuat dalam penerbitan risalah BPUPK dalam bentuk buku Naskah Persiapan UUD 1945 yang disunting oleh Yamin, terbit 1959.
Risalah BPUPK 1998 masih memuat teks pidato panjang Yamin tersebut. Padahal, karena teks itulah, Yamin lalu didaulat Orde Baru sebagai penggali Pancasila, tiga hari sebelum Soekarno. Itulah yang membuat 1 Juni tidak diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila selama pemerintahan Presiden Soeharto. Meskipun kini 1 Juni telah diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, Risalah BPUPK yang tidak otentik tersebut belum direvisi.
Proses desoekarnoisasi ini lalu berdampak pada penghapusan pemikiran para pendiri bangsa. Mengapa? Karena Pancasila lalu dibatasi hanya dalam dimensi formalnya, yakni sebagai kaidah pokok fundamental negara. Dalam status ini, Orde Baru lalu membatasi eksistensi Pancasila hanya sebagai lima kalimat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Pancasila menjadi ”teks kosong” yang tidak terkait dengan kandungan intelektual yang dibangun oleh para perumusnya. Hal ini terjadi karena Orde Baru telah memutus rantai perumusan Pancasila hanya di momen pengesahan pada 18 Agustus 1945. Ia menghapus peran penting momen 1 Juni sebagai kelahiran ide Pancasila dan 22 Juni sebagai konsensus awal Panitia Sembilan.
Karena membatasi Pancasila hanya sebagai dasar negara, minus substansi intelektual para pendiri bangsa yang merupakan dimensi material dari dasar negara. Orde Baru lalu membuahkan ”legalisme Pancasila”. Akibatnya, Pancasila kita kenal sebagai norma dasar hukum, tanpa kita ketahui filsafat dasarnya.
Inilah yang melahirkan deintelektualisasi dan deideologisasi Pancasila. Ini yang membuat kaum terpelajar tidak tertarik dengan Pancasila, karena ia memang tidak dikenalkan sebagai ideologi politik progresif. Hijrahnya 16,8 persen mahasiswa Muslim ke ideologi khilafah (Survei Alvara Research Center, 2017) menunjukkan hal ini.
Andai dehistorisasi Pancasila tidak dilakukan, ideologi bangsa ini bisa kita pahami muatan intelektualnya.
Andai dehistorisasi Pancasila tidak dilakukan, ideologi bangsa ini bisa kita pahami muatan intelektualnya. Sebab, Bung Hatta memiliki Pengertian Pancasila (terbit 1977) sendiri. Ki Hajar Dewantara (anggota BPUPK) juga menyusun pemikirannya (Pantjasila, 1950), termasuk Yamin (Sistema-Filsafah Pantjasila, 1958), AG Pringgodigdo (Sekitar Pantjasila, 1970), dan lain-lain.
Dengan memahami khazanah pemikiran Pancasila pendiri bangsa, kita memperlakukan Pancasila tidak hanya sebagai ”akta legal” pendirian negara, tetapi falsafah dan ideologi politik bangsa.
Kedua, P-4 telah menurunkan kualitas Pancasila, dari filsafat menjadi norma moral. Padahal, menurut Driyarkara (1980), hal ini merupakan reduksi. Sebab, sejak awal Pancasila merupakan kategori-logis (konsep intelektual) yang dipraktikkan dalam bentuk kategori-imperatif (norma hukum) dan kategori-operatif (norma moral).
Ketiga kategori ini harus kontinu, di mana dua kategori terakhir merupakan manifestasi dari kategori pertama. Ini berarti, baik norma hukum Pancasila maupun norma moral Pancasila harus lahir dari filsafat dasar Pancasila. Jika kandungan filosofisnya telah dihapus, norma moral Pancasila justru bisa melenceng dari Pancasila.
Inilah yang terjadi pada 45 butir-butir pengamalan Pancasila versi P-4. Sebagai pedoman moralitas Pancasila, P-4 lahir dari ”teks kosong” Pancasila. Artinya tidak berangkat dari pemikiran para perumus Pancasila. Hal ini terlihat dari tidak digunakannya rekomendasi Panitia Lima (Mohammad Hatta, dkk) dalam Uraian Pancasila (1977) sebagai tafsir terhadap dasar negara. Presiden Soeharto lebih memilih menggagas P-4 sebagai konsepnya sendiri, yang mengacu pada pendekatan integratif terhadap Pancasila.
Terinspirasi oleh ide Soepomo tentang negara integralistik, P-4 disusun guna mengintegrasikan masyarakat dengan negara. Melalui integrasi ini, Orde Baru menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara masyarakat dan negara. Kehendak negara adalah kehendak masyarakat, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, masyarakat diminta mengendalikan kepentingan diri demi kepentingan negara (Bourchier, 2007).
Inilah yang disebut Soeharto sebagai hakikat manusia Pancasila, yang mengutamakan tugasnya sebagai makhluk sosial, bukan individual (Soeharto, 1976). Berdasarkan paradigma integralis ini, Penataran P-4 lalu menjadi sarana pendisiplinan warga negara. Tidak ada kritisisme, yang semestinya menjadi karakter dasar paradigma Pancasila.
Melampaui P-4
Sayangnya kritik terhadap P-4 belum dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Di sisi lain, masyarakat masih menilai P-4 sebagai pedoman yang tepat bagi internalisasi Pancasila. Dalam rangka pembinaan Pancasila di zaman Reformasi, beberapa hal harus dilakukan.
Sila kerakyatan harus menjadi ”urat tunggang” Pancasila sebab kita berada di alam demokratisasi.
Pertama, menghidupkan Pancasila sebagai khazanah intelektual berbasis pemikiran pendiri bangsa. Hal ini perlu dilakukan guna menyempurnakan sosialisasi dimensi formal Pancasila, melalui revitalisasi dimensi material Pancasila. Dengan demikian, yang dimaksud aktualisasi Pancasila ialah aktualisasi pemikiran Pancasila pendiri bangsa.
Kedua, internalisasi Pancasila demi pembentukan budaya kewargaan (civic culture), baik bagi penyelenggara negara maupun masyarakat. Demi kebutuhan ini, titik tekan penguatan Pancasila terdapat pada sila kerakyatan guna membangun kultur demokratis. Sila kerakyatan harus menjadi ”urat tunggang” Pancasila sebab kita berada di alam demokratisasi. Tentu ”urat tunggang” kerakyatan ini diterangi oleh Cahaya Ketuhanan, demi pemenuhan hak asasi manusia, persatuan bangsa, dan perwujudan keadilan sosial.
(Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila; Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila)