Revisi UU Pemilu yang akan dibahas tahun ini menjadi momentum untuk membenahi secara menyeluruh lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sanksi terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman mengisyaratkan perlunya pembenahan menyeluruh lembaga penyelenggara pemilu.
Arief mendapat sanksi diberhentikan sebagai Ketua KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Perkara ini bermula dari putusan DKPP pada 18 Maret 2020 yang memberhentikan Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU.
Saat itu, DKPP menilai Evi punya tanggung jawab lebih dalam penetapan perolehan suara dua calon anggota DPRD Kalimantan Barat dari Partai Gerindra, yaitu Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, pada Pemilu 2019. Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi raihan suara Hendri dari 5.325 menjadi 5.384 suara. KPU mengoreksi perolehan suara Hendri sesuai dengan putusan MK, tetapi tidak mengurangi suara Cok yang akhirnya tetap dilantik menjadi anggota DPRD Kalbar.
Menindaklanjuti putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan tentang pemberhentian Evi dari anggota KPU. Namun, Evi menggugat keppres itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Evi keberatan dengan putusan DKPP, antara lain karena pengaduan Hendri pada DKPP sebelumnya telah dicabut (Kompas, 20/3/2020).
PTUN Jakarta memutuskan membatalkan keppres tentang pemberhentian Evi. Presiden lalu mencabut keppres itu. Rapat pleno KPU memutuskan Evi kembali bertugas sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
Dalam putusannya, DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan amanat kepada DKPP untuk menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Selama kiprah DKPP, telah ditemukan adanya penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran etika. Kondisi yang memprihatinkan, terlebih karena di saat yang sama juga ada penyelenggara pemilu yang harus menjalani proses hukum karena melakukan pelanggaran pidana, seperti korupsi.
Berbagai kasus itu menjadi ancaman serius terhadap kredibilitas penyelenggara pemilu, baik KPU, DKPP, maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pembenahan mendesak dilakukan. Pembenahan itu kini tak hanya dilakukan agar lembaga itu diisi oleh sosok yang kompeten dan berintegritas. Munculnya polemik dalam persidangan perkara Evi, dan adanya rumor tentang dugaan rivalitas antarlembaga dalam putusan pemberhentian Arief, mengindikasikan pembenahan juga mendesak dilakukan terhadap desain dan sistem yang ada di setiap lembaga penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu berperan vital dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas.
Pembenahan itu mendesak dilakukan karena pemimpin bangsa yang berkualitas lebih berpotensi muncul dalam pemilu yang berkualitas. Penyelenggara pemilu berperan vital dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas.
Sejumlah pembenahan itu dapat dilakukan melalui revisi UU Pemilu yang akan dilakukan tahun ini.