Alih Fungsi Hutan Menyumbang Emisi Terbesar, Disusul Energi
›
Alih Fungsi Hutan Menyumbang...
Iklan
Alih Fungsi Hutan Menyumbang Emisi Terbesar, Disusul Energi
Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah. Oleh karena itu, kesempatan Indonesia untuk berkontribusi lebih besar terhadap kampanye perubahan iklim sangat strategis.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih fungsi dan kebakaran hutan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Disusul kemudian pemanfaatan energi terutama dari sektor transportasi dan pembangkit listrik. Untuk menguranginya, Indonesia perlu terus mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan ketimbang fosil.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, pada 2010, emisi gas rumah kaca dari alih fungsi dan kebakaran hutan menyumbang 670 juta ton karbondioksida (CO2). Disusul kemudian sektor energi sebesar 453,2 juta ton CO2, pertanian 110,5 juta ton CO2, limbah 88 juta ton CO2, serta sektor industri dan penggunaan produk 37 juta ton CO2.
”Emisi gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global yang bisa memengaruhi perubahan iklim. Selain naiknya suhu bumi, dampak lainnya adalah perubahan cuaca, kenaikan permukaan air laut, termasuk perubahan salinitas dan gelombang laut yang meninggi,” kata Ruandha dalam webinar ”Cerita Iklim untuk Indonesia” yang diselenggarakan Komunitas Cerita Iklim, Sabtu (16/1/2021).
Indonesia, imbuh Ruandha, berkomitmen untuk mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius lewat penandatanganan Perjanjian Paris 2015. Pada 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan komunitas internasional.
”Kenapa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca? Kondisi geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan sangat rentan terhadap bencana alam akibat perubahan iklim. Selain itu, ada pertimbangan strategis mengantisipasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, air, dan energi,” ucap Ruandha.
Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan komunitas internasional.
Di sektor energi, pemerintah berkomitmen untuk mengembangan sumber energi terbarukan. Mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 417.800 megawatt (MW).
Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari semua potensi itu yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja.
Dalam paparan kinerja sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) pekan lalu, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan sejumlah upaya pengembangan EBTKE. Pemerintah telah melaksanakan kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar (B-30) dan menerapkan penerapan metode co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Pemerintah juga mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan konversi pembangkit listrik berbasis fosil ke sumber energi terbarukan atau yang lebih ramah lingkungan berbahan bakar gas.
”Realisasi pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan hingga 2020 adalah 10.467 MW. Kami menargetkan naik menjadi 11.373 MW di 2021 dengan kontribusi terbesar adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Poso sebesar 66 MW dan PLTS atap sebesar 13,4 MW,” ujar Dadan.
Realisasi pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan hingga 2020 adalah 10.467 MW. Kami menargetkan naik menjadi 11.373 MW di 2021.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, Syaikhul Islam, potensi energi fosil dan energi terbarukan di Indonesia sama-sama melimpah. Potensi kedua jenis energi tersebut harus dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, DPR yang tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan akan mengambil jalan tengah.
”Energi baru tetap diberi ruang untuk dimanfaatkan agar potensinya tidak percuma. Indonesia punya sumber daya torium atau uranium yang bisa dipakai sebagai pembangkit bertenaga nuklir (PLTN). Ada juga gasifikasi batubara menjadi dimetil eter untuk menggantikan elpiji,” ujarnya.
Menurut Syaikhul, kendati tetap memberi ruang pada pengembangan energi baru, transisi energi menuju pemanfaatan energi terbarukan harus tetap dilaksanakan. Apalagi, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah.
Kendati tetap memberi ruang pada pengembangan energi baru, transisi energi menuju pemanfaatan energi terbarukan harus tetap dilaksanakan.
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia mensyaratkan sejumlah hal, seperti kesiapan industri manufaktur untuk menaikkan tingkat komponen dalam negeri, pasar, dan dukungan pembiayaan. Potensi pasar di Indonesia sangat besar.
”Apabila industri manufaktur dan pembiayaan mendukung, harga listrik energi terbarukan di Indonesia bisa bersaing dengan energi fosil, khususnya batubara,” katanya.