BPPTKG Ubah Rekomendasi Terkait Daerah Bahaya Erupsi Merapi
›
BPPTKG Ubah Rekomendasi...
Iklan
BPPTKG Ubah Rekomendasi Terkait Daerah Bahaya Erupsi Merapi
BPPTKG mengubah rekomendasi mengenai daerah yang berpotensi terkena bahaya erupsi Gunung Merapi. Perubahan rekomendasi ini dibuat karena aktivitas kegempaan dan deformasi di Gunung Merapi menurun signifikan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTKG mengubah rekomendasi mengenai daerah yang berpotensi terkena bahaya erupsi Gunung Merapi. Perubahan rekomendasi ini dibuat karena aktivitas kegempaan dan deformasi di Gunung Merapi menurun signifikan sehingga kemungkinan terjadinya erupsi eksplosif juga menurun.
”Saat ini, Gunung Merapi sudah erupsi dan cenderung bersifat efusif. Dengan memperhatikan arah erupsi saat ini, potensi bahaya dan daerah bahaya berubah,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (16/1/2021), di Yogyakarta.
Berdasarkan rekomendasi terbaru BPPTKG, potensi bahaya erupsi Merapi saat ini berupa guguran lava dan awan panas ke sektor selatan-barat daya yang meliputi wilayah Sungai Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, dan Sungai Putih sejauh maksimal 5 kilometer (km) dari puncak.
Meski demikian, BPPTKG juga mengingatkan, lontaran material vulkanik apabila terjadi letusan eksplosif bisa menjangkau area 3 km dari puncak Gunung Merapi.
Rekomendasi yang disampaikan BPPTKG itu berbeda dengan rekomendasi sebelumnya yang disampaikan sejak adanya peningkatan status Gunung Merapi menjadi Siaga (Level III) pada 5 November 2020. Dalam rekomendasi sebelumnya itu, BPPTKG menyatakan, potensi bahaya akibat erupsi Merapi itu berupa guguran lava, lontaran material vulkanik, dan awan panas sejauh maksimal 5 km dari puncak.
Dalam rekomendasinya yang lama, BPPTKG juga secara detail menyebutkan dusun-dusun yang masuk dalam daerah yang berpotensi terkena bahaya erupsi Gunung Merapi. Ada 30 dusun yang disebut BPPTKG masuk dalam daerah prakiraan bahaya yang tersebar di empat kabupaten, yakni Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten di Jawa Tengah.
Kesimpulan dari aktivitas saat ini adalah adanya penurunan aktivitas kegempaan dan deformasi yang cukup drastis. (Agus Budi)
Akan tetapi, dalam rekomendasi terbarunya, BPPTKG tidak secara detail menyebutkan nama-nama dusun yang masuk dalam daerah yang berpotensi terkena bahaya erupsi Gunung Merapi. BPPTKG hanya menyebutkan sejumlah sungai yang berhulu ke Merapi yang berpotensi terkena bahaya apabila erupsi terjadi.
Menurun
Agus menyatakan, perubahan rekomendasi itu dibuat karena aktivitas kegempaan serta deformasi di Gunung Merapi mengalami penurunan signifikan selama beberapa hari terakhir. Penurunan aktivitas seismik atau kegempaan, antara lain, terlihat dari menurunnya jumlah gempa vulkanik dangkal dan gempa fase banyak sejak 12 Januari 2021.
Sebelum 12 Januari, rata-rata jumlah gempa vulkanik dangkal di Merapi mencapai lebih dari 40 kali dalam sehari. Sementara itu, jumlah gempa fase banyak mencapai lebih dari 100 kali dalam sehari. Akan tetapi, pada 12-14 Januari, jumlah gempa vulkanik dangkal menurun menjadi maksimal 5 kali per hari, sedangkan gempa fase banyak menurun menjadi kurang dari 50 kali per hari.
Pada Jumat (15/1/2021) kemarin, jumlah gempa vulkanik dangkal sempat naik menjadi 17 kali per hari dan gempa fase banyak juga naik menjadi 74 kali dalam sehari. Akan tetapi, jumlah gempa vulkanik dangkal dan gempa fase banyak itu masih jauh lebih sedikit dibanding kondisi sebelum 12 Januari.
Selain itu, proses deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Gunung Merapi juga mengalami penurunan. Penurunan deformasi itu terlihat dari menurunnya laju pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pemendekan jarak tunjam itu menunjukkan terjadinya deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi yang menjadi indikasi adanya magma yang naik menuju ke permukaan. Semakin besar pemendekan jarak, semakin besar pula penggembungan yang terjadi.
Berdasarkan data BPPTKG, pada periode 1-7 Januari 2021, rata-rata pemendekan jarak tunjam masih sebesar 15 sentimeter (cm) per hari. Namun, pada periode 8-14 Januari, rata-rata pemendekan jarak tunjam itu menurun menjadi 6 cm per hari.
”Kesimpulan dari aktivitas saat ini adalah adanya penurunan aktivitas kegempaan dan deformasi yang cukup drastis,” ujar Agus. Namun, status Gunung Merapi masih Siaga (Level III).
Agus menuturkan, dengan menurunnya aktivitas kegempaan dan deformasi itu, probabilitas atau kemungkinan terjadinya erupsi eksplosif atau disertai ledakan juga menurun. Sementara itu, kemungkinan terjadinya erupsi efusif atau tidak disertai ledakan menjadi meningkat.
”Probabilitas erupsi dominan ke arah erupsi efusif,” tutur Agus. Kondisi inilah yang kemudian membuat BPPTKG mengubah rekomendasi terkait daerah bahaya.
Pengungsi
Agus menyatakan, dengan adanya rekomendasi baru itu, warga yang berada di luar daerah bahaya diperbolehkan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. ”Rekomendasi bahaya yang kami sampaikan tadi itu mengandung konsekuensi bahwa masyarakat yang tinggal di luar daerah bahaya bisa kembali ke rumah,” ungkapnya.
Namun, Agus menyebut, pemulangan pengungsi itu menjadi kewenangan dari pemerintah daerah. Selain itu, dia juga mengingatkan, masyarakat tetap harus siap apabila aktivitas vulkanik Merapi mengalami kenaikan kembali.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Penanganan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Danang Samsurizal mengatakan, hingga Sabtu siang belum ada rencana pemulangan pengungsi di wilayah Kabupaten Sleman. BPBD DIY masih terus berkoordinasi dengan BPPTKG terkait daerah bahaya erupsi Merapi. ”Kami masih menunggu peta daerah bahaya yang baru dari BPPTKG,” ujarnya.
Di Sleman ada ratusan warga dari Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, yang mengungsi karena tempat tinggal mereka awalnya masuk dalam daerah prakiraan bahaya. Warga Kalitengah Lor itu mengungsi di barak pengungsian yang ada di kompleks Balai Desa Glagaharjo.