Dua Lamaran
Mala, usianya tak lagi muda. Banyak penduduk desa yang menjulukinya perawan tua. Padahal, angka dua puluh sembilan baginya tak menjadi beban.
Mala tidak tahu laki-laki mana yang akan menikahinya, karena saat itu ada dua keluarga yang datang, satu keluarga datang untuk melamar dirinya dan satu yang lain datang untuk Wati, sepupu perempuannya. Mereka semua berkumpul dalam satu rumah, karena Mala dan Wati memang tinggal di rumah yang sama.
Mala, usianya tak lagi muda. Banyak penduduk desa yang menjulukinya perawan tua. Padahal angka dua puluh sembilan baginya tak menjadi beban. Hanya saja, omongan tetangga dan keluh kesah orangtuanya terkadang membuatnya resah.
Bukan tak pernah memiliki kekasih, Mala beberapa kali mencoba menjalin hubungan, tapi semuanya berakhir karena tak pernah ada yang benar-benar serius untuk menikah. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyendiri, menutup hati yang telanjur lelah menanti.
”Jangan ngurung diri terus atuh Neng, tuh ikut main sama si Wati, biar cepet ketemu jodoh.” Ibunya lagi-lagi menyuruhnya ikut Wati nongkrong di warung depan, tempat berkumpulnya para gadis remaja.
”Ah ibu, aku bukan gadis remaja seperti Wati. Lagi pula, dari dulu aku memang tidak suka berkumpul seperti itu.”
”Gimana orang mau kenal sama perawan ibu, kalau kamunya ngumpet terus Neng, ibu sudah tua, ibu pengen liat kamu menikah.”
Mala menghela napas, entah harus berapa kali ia jelaskan jika urusan jodoh ada di tangan Tuhan, jika sudah waktunya pastilah akan datang.
***
Hari ini, Mala diajak ibunya pergi ke pasar membeli banyak lauk dan makanan. Katanya akan banyak tamu yang datang. Saat Mala bertanya siapa tamu itu, ibunya hanya tersenyum lalu mengatakan nanti juga Mala akan tahu. Mala tak begitu peduli, toh biasanya hanya kumpulan bapak-bapak yang memang sering mengadakan kumpulan atau musyawarah warga di rumahnya.
Malam menjelang, Mala tak habis pikir karena ibunya masih saja sibuk mempersiapkan jamuan. Tak seperti biasanya, Wati juga terlihat sedang mempercantik diri. Padahal ini malam hari, biasanya sepupunya itu sudah terlelap di alam mimpi.
”Kamu ngapain sih Wati, malam-malam begini dandan segala.”
”Ih kamu gak tahu ya, malam ini aku bakal dilamar lho...”
”Oh... pantesan menor banget.” Mala hanya ber ”oh” ria. Tapi hati kecilnya tentu saja bicara, Wati yang baru berusia sembilan belas tahun sudah akan dilamar, sedangkan dirinya usianya hampir memasuki angka tiga puluh tapi kekasih pun tidak punya. Batinnya berteriak, bukan iri hanya saja takdir terasa membuatnya ingin pergi. Diambilnya kerudung yang ia gantung di pinggir daun jendela lalu bergegas pergi, menuju rumah neneknya yang memang hanya terhalang beberapa rumah dan pohon mahoni.
Sepi, entah ke mana neneknya pergi. Mungkin pergi ke rumahnya untuk turut serta menyaksikan lamaran Wati. Tapi Mala tahu kuncinya selalu disimpan di bawah pot seledri. Diraihnya pot berisi tanaman wangi itu, benar kunci itu memang selalu ada di sana.
Mala merebahkan tubuhnya di kamar sepi itu, sepertinya malam ini ia akan tidur di rumah tua ini.
”Ya Allah Neng, ibumu nyari sana sini kelimpungan, tahunya kamu tidur di sini.”
Mala mengucek matanya, merasa terganggu dengan omelan yang entah dari mana berasal. Dengan mata setengah mengantuk Mala keluar dari kamar lalu menghampiri neneknya yang sedang sibuk mengeluarkan bungkusan makanan. Sepertinya itu makanan yang diberikan ibunya.
”Sudah pulang, Nek?”
”Kamu itu kenapa Neng, ada pemuda yang mau melamar kok malah minggat. Ibumu sampai berbohong pada mereka kalau kamu sakit.”
Mala terbelalak, bukankah Wati yang akan dilamar, kenapa jadi dirinya yang neneknya salahkan. Sepertinya neneknya itu memang sudah pikun.
”Yang dilamar kan Wati, kenapa ibu nyariin aku?”
”Kalian berdua sama-sama dilamar, salah ibumu juga tak memberitahumu. Tapi jangan khawatir, lamaran itu sudah diterima jadi suka tidak suka kamu harus mau menerima. Besok dia akan datang lagi untuk menemui kamu, jadi cepatlah pulang dan bangunlah pagi-pagi, jangan kembali membuat ibumu malu.”
Mala hanya mengangguk lalu pulang ke rumahnya. Sepanjang jalan beberapa kali dicubitnya pipinya yang tirus itu, tapi ia benar-benar tidak sedang bermimpi. Tiba-tiba saja pikirannya dipenuhi oleh kata-kata neneknya, mau tidak mau katanya dirinya harus menerima. Bagaimana jika ternyata laki-laki yang melamarnya itu bertubuh gendut lalu usianya sudah tua. Ah, apakah ibunya akan sejahat itu menerima lamaran tanpa pertimbangan. Mala mempercepat langkahnya, ingin segera bertemu dengan ibunya.
***
Tak biasanya, hari ini Mala sedikit memoles wajah lalu memilih pakaian yang ia anggap paling bagus. Hatinya berbunga-bunga, tak sabar ingin melihat seperti apa calon suaminya. Kata ibunya, dia pasti akan menyukainya.
Jam berjalan terasa lambat, Mala merasa gelisah. Berbeda dengan Wati yang terlihat biasa-biasa saja. Mungkin karena Wati sudah bertemu dengan calon suaminya, pikir Mala.
Dua buah sepeda motor terlihat memasuki halaman rumah, membuat Mala terperanjat lalu bergegas mengintip dari balik jendela. Dua orang pria terlihat berjalan mendekat lalu menyalami ibunya yang memang sedang berada di beranda rumah. Mala memperhatikan kedua laki-laki itu, entah siapa dan yang mana calon suaminya. Satu pria berkemeja putih dan berkacamata, dan satu lagi berjaket hitam.
Mala mengucek matanya, merasa terganggu dengan omelan yang entah dari mana berasal. Dengan mata setengah mengantuk Mala keluar dari kamar lalu menghampiri neneknya yang sedang sibuk mengeluarkan bungkusan makanan. Sepertinya itu makanan yang diberikan ibunya.
”Neng... ini Nak Aman sudah datang.” Ibunya terdengar mengetuk pintu kamar.
Mala keluar dengan hati berdebar, takut jika pria bernama Aman itu kecewa melihat dirinya. Mala merasa tak percaya diri, padahal banyak orang yang bilang kalau dirinya manis dan cantik.
Mala melangkah perlahan, di sampingnya ibunya tak henti mengulum senyum. Merasa bahagia putri semata wayangnya akhirnya akan segera menikah. Mala merasa jantungnya semakin berdebar tatkala melihat pria itu tengah menatapnya, ditundukkannya pandangan lalu hatinya berteriak girang. Ternyata calon suaminya pria berkemeja putih itu.
”Ibu tinggal dulu ke belakang ya....” Ibunya pergi setelah sebelumnya mengedipkan mata kepada Mala. Ah ibunya itu memang selalu mengerti dirinya, pikir Mala.
Mala duduk dengan canggung di hadapan pria bernama Aman itu. Entah harus memulai obrolan dengan hal apa, dia tidak mengenal Aman sama sekali.
”Sudah baikan? Semalam Ibu bilang kamu sakit.” Pria itu bertanya lembut membuat hati Mala menghangat, sepertinya neneknya benar, dia menyukai pria berkacamata itu.
”Sudah....” Mala tersenyum dan memberanikan diri menatap calon suaminya.
Kata ibunya usia Aman tiga puluh enam tahun, tapi dia tak terlihat seperti pria seusia itu. Dia terlihat masih muda tapi sangat bijak dan dewasa. Hatinya kembali berbunga-bunga. ”Jadi, kamu dokter Aman itu?”
”Ah, jangan panggil dokter, Mas saja.” Aman tersenyum geli mendengar panggilan konyol calon istrinya.
”Iya... Mas Aman.” Lagi, Mala menunduk karena malu.
Tamat.
***
Mie S adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. Penulis sudah menerbitkan novel berjudul Pasangan Hidup Terakhir dan Antologi Cerpen Selingkuh.