Bagi mereka yang telah disuntik vaksin Covid-19, dunia kembali terbuka. Kartu bukti telah divaksin tak ubahnya seperti kunci. Namun di sisi lain, sertifikasi itu berpotensi memicu perdebatan baru.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Vaksinasi Covid-19 membawa harapan dan semangat hidup kembali setidaknya dari sisi industri pariwisata. Sejak dua pekan terakhir, semakin banyak warga Inggris berusia 50 tahun ke atas yang memesan tiket untuk liburan panjang pada tahun ini. Bahkan pesanan warga berusia 65 tahun ke atas naik sampai 185 persen ketimbang tahun lalu, menurut data Biro Perjalanan dan Wisata National Express, Inggris.
Vaksin memberikan kepastian dan kepercayaan diri mereka yang sudah divaksin meski baru vaksin dosis pertama. "Orang jadi bisa bikin rencana lagi," kata Kepala Biro Perjalanan dan Wisata National Express, Jit Desai, kepada BBC News, 14 Januari lalu.
Dawn (75) dan Ray (78), warga Hampshire yang sudah divaksin dua pekan lalu, sudah tidak sabar menanti liburan bersama dengan semua anak cucunya. "Kami sudah kangen kumpul ramai-ramai dengan semua keluarga seperti dulu. Hanya itu keinginan kami," kata Dawn.
Namun, bepergian tetap tidak akan semudah dan sebebas dulu. Apalagi dengan belum adanya jaminan 100 persen vaksin akan bisa menghentikan penyebaran Covid-19. Tetap ada kekhawatiran tersisa. Untuk menjamin keamanan semua, sejak pertengahan tahun lalu muncul ide perlunya setiap orang memiliki sertifikat atau paspor vaksinasi.
Untuk memenuhi kebutuhan sertifikat, kartu, paspor atau apapun namanya yang bisa menunjukkan seseorang sudah divaksin atau belum, berbagai perusahaan teknologi bekerja sama dengan organisasi kesehatan mengembangkan kartu vaksin digital.
Seperti Inisiatif Kredensial Vaksinasi (VCI) yang melibatkan Mayo Clinic, Microsoft, Oracle, dan Salesforce yang akan membuat kartu vaksinasi digital di dompet digital yang ada di dalam telepon cerdas, Kamis lalu. Ini diharapkan tidak hanya akan membantu urusan bepergian tetapi juga supaya orang bisa kembali bekerja, sekolah, dan datang ke event apapun dengan tenang.
"Kita ingin setiap individu memiliki akses digital pada data vaksinasi mereka," kata Paul Meyer dari kelompok nonprofit, The Commons Project Foundation.
Ken Mayer dari organisasi teknologi kesehatan, Safe Health, menjelaskan kartu digital vaksinasi ini diharapkan bisa menjadi solusi verifikasi status kesehatan dengan tetap menjaga data pribadi pengguna. "Paling tidak supaya event publik juga bisa segera bergulir kembali," ujarnya.
Dengan kartu vaksinasi yang ada di hp, seseorang hanya perlu menunjukkan kartunya itu untuk bisa, misalnya, menonton konser, pertandingan olahraga, menonton film di bioskop, atau pameran. "Kami mencoba banyak alternatif solusi yang aman demi perekonomian dan tentunya kesehatan mental masyarakat," kata penasihat di lembaga kajian di Inggris, Institut Tony Blair untuk Perubahan Global, Ryan Wain.
Oktober lalu, Organisasi Kesehatan Dunia sudah memulai percobaan sertifikat vaksinasi digital dengan Estonia. China bahkan sudah memiliki aplikasi sistem kode kesehatan yang membedakan setiap orang dengan kode merah, kuning, atau hijau. Bagi orang yang berkode merah, tidak boleh bepergian kemanapun. Israel juga akan memberi paspor hijau bagi warga yang sudah divaksin dan mereka boleh masuk restoran, tidak perlu karantina atau tes Covid-19 sebelum bepergian. Di India, warga yang sudah divaksin akan mendapat sertifikat elektronik berbasis kode QR.
Diskriminasi
Tak semua setuju kartu vaksinasi menjadi solusi. Sebagian khawatir akan muncul masalah pelanggaran kerahasiaan data pribadi. Selain itu, akan terjadi ketidakadilan dan diskriminasi antara kelompok masyarakat yang sudah vaksin dan yang belum. Lagipula, tidak ada jaminan 100 persen orang yang sudah divaksin tidak akan tertular Covid-19.
Ahli penyakit menular di Georgetown University, Washington, D.C, Alexandra Phelan, mengakui kartu vaksinasi seperti itu bukan barang baru. Sebelumnya juga sudah ada kartu vaksinasi polio dan penyakit kuning yang menjadi syarat seseorang untuk masuk ke negara lain. "Kalau pakai sistem kartu vaksinasi nanti hanya orang dari negara kaya saja yang boleh masuk ke negara lain karena hanya mereka yang sampai sekarang sudah divaksin," ujarnya.
Bukan hanya ketidakadilan dan diskriminasi yang menjadi kekhawatiran tetapi juga isu kerahasiaan data pribadi. Peneliti di organisasi nonprofit, Privacy International, Tom Fisher, mengingatkan solusi identitas digital itu tidak menutup kemungkinan bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain.
Untuk mencegah hal itu, perusahaan teknologi harus bisa memastikan pengguna merasa nyaman memakai kartu vaksinasi. Wakil Presiden IBM, Eric Piscini, kepada harian the New York Times, 14 Desember lalu, mengaku sedang mengembangkan aplikasi paspor kesehatan bernama Digital Health Pass. Dengan kartu digital ini pengguna bisa mengunduh hasil tes Covid-19 dan bukti vaksinasi ke hp. Aplikasi itu kemudian akan mengecek data medis dan membuat konfirmasi kode unik yang bisa ditunjukkan pengguna.
Namun, kartu vaksinasi itu tidak akan membagi data rinci seperti dimana dan kapan pengguna tes atau vaksinasi kepada orang lain. Kode khusus itu hanya akan berlaku seperti lampu hijau yang memberikan akses masuk ke pengguna. Meski demikian para pengamat teknologi masih tetap khawatir.
Kepala Operasional di Trulioo, perusahaan verifikasi identitas, Zac Cohen, menilai sebaiknya masyarakat tidak memakai aplikasi seperti itu karena siapa saja yang tidak bisa membuktikan identitas atau status kesehatannya tidak akan bisa mengakses fasilitas layanan penting. "Kita harus berhati-hati mengembangkan teknologi seperti itu. Kecuali nanti betul-betul sudah ketemu solusi yang adil untuk semua," ujarnya. (REUTERS/AFP/AP/LUK)