Bangsa ini butuh gerakan kesukarelawanan, menolong sesama. Vaksinasi sebagai gerakan sosial yang sedang tumbuh perlu direspons agar tidak layu sebelum berkembang.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Seorang penyintas Covid-19 mengirimkan pesan kepada saya. Pesannya demikian: ”Saya diberi kesehatan, saya ingin membantu sesama dengan mendonorkan plasma saya.” Plasma konvalesen menjadi salah satu terapi alternatif untuk menolong pasien Covid-19 bergejala berat.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ikut mendonorkan plasmanya. ”Kami yang menjadi penyintas Covid-19 bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga. Meskipun pada saat yang sama, ada saudara kita yang dirawat. Mereka bisa berkumpul dengan keluarga jika sembuh. Plasma konvalesen bisa membantu mereka.”
Di Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Jakarta, hingga Jumat 15 Januari 2021, pukul 12.00, tercatat 1.067 penyintas Covid-19 telah mendonorkan plasmanya. Di unit transfusi lain, beberapa donor ditolak karena tidak memenuhi syarat.
Mendermakan plasma konvalesen—tentunya bagi yang memenuhi syarat—kini sedang dikampanyekan. Di Solo, Jawa Tengah, aktivis masyarakat sipil, Mayor Haristanto (Mayor merupakan nama, bukan pangkat sebagai anggota TNI) bersama PMI mengajak penyintas Covid-19 mendonorkan plasmanya.
Jika kampanye berhasil dan mampu menggerakkan penyintas Covid-19 mendonorkan plasma, bisa menolong penderita Covid-19 dengan gejala berat. Jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia mencapai 882.418 orang. Gerakan donor plasma menjadi sebuah potensi besar menolong sesama korban Covid-19.
Charities Aid Foundation World Giving Index 2018 menyimpulkan bangsa Indonesia punya modal sosial besar. Kesimpulan survei itu adalah Indonesia bangsa penderma. Menurut survei itu, orang Indonesia gemar membantu orang lain (46 persen), berdonasi materi (78 persen), dan melakukan kegiatan kesukarelawanan (53 persen). Peringkat Indonesia pertama di dunia.
Modal sosial ini perlu dikelola. Kekuatan masyarakat sipil perlu difasilitasi agar berkembang. Dalam situasi krisis, bangsa ini tak membutuhkan suara elite yang menebar energi negatif. Politisi yang secara terbuka menyatakan menolak vaksin dalam rapat dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Padahal, pengadaan vaksin terus diupayakan elemen bangsa untuk melindungi publik. ”Saya menolak vaksin dan lebih memilih membayar denda,” ujar seorang anggota DPR.
Beruntung suara anggota DPR itu tenggelam dalam gerakan kesukarelawanan rakyat—bukan wakil rakyat—yang justru secara terbuka mendukung program vaksinasi. Rakyat dengan menggunakan berbagai bendera alumni universitas, alumni SMA, alumni organisasi—menyatakan siap divaksin, meski belum tahu kapan mereka bisa divaksin.
Presiden Joko Widodo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjadi orang yang divaksin pada hari pertama. Sayang gerakan vaksinasi hari pertama yang harusnya mulus terganggu perilaku seorang influencer yang turut divaksin, yang mempertontonkan sikap tak satunya kata dan perbuatan.
Vaksin bukanlah segala-galanya. Namun, dia menjadi harapan. Dibutuhkan kedisiplinan pada protokol kesehatan. Tetap dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk tes, lacak, dan penanganan. Gerakan vaksinasi harus digelorakan, tetapi tak harus sampai euforia bahwa pandemi sudah berakhir. Jauh.
Embrio vaksinasi sebagai gerakan sosial perlu diwadahi. Di situlah peran pemerintah. Menunggu vaksin dari program pemerintah memakan waktu lama.
Program mandiri perlu dibuka agar perusahaan bisa ikut membantu program vaksinasi. Dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bisa digunakan membantu pengadaan dan vaksinasi mandiri. Pelibatan perusahaan, dengan persoalan yang dihadapi, mengadakan vaksinasi mandiri serta gerakan mendermakan plasma, merupakan wujud dari nilai gotong royong. Perkembangan vaksinasi perlu dilaporkan tiap hari mendampingi perkembangan hasil tes Covid-19. Kecepatan vaksin perlu diakselerasi untuk mengejar penyebaran virus korona penyebab Covid-19.
Mengatasi pandemi membutuhkan gerakan bersama. Gerakan bersama mendermakan plasma darah, gerakan bersama mengadakan vaksin, gerakan bersama mengadakan swab antigen, serta gerakan bersama membantu ekonomi warga terdampak.
Ruang itulah yang perlu dibuka pemerintah. Bangsa ini membutuhkan kolaborasi besar menghadapi pandemi. Karena itu, mengutip dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada, Najib Azca, beberapa waktu lalu, modal sosial ini perlu dirawat dan dikembangkan. Butuh orkestrasi besar mengelola semua modal sosial bangsa ini untuk menghadapi pandemi.
Pemimpin pegang peranan. Boleh jadi model kepemimpinan yang pernah digambarkan Presiden Soekarno di Istana Merdeka pada 19 Juni 1958 sebagaimana ditulis Airlangga Pribadi dalam artikelnya di Kompas, 19 Juni 2019, menjadi relevan. Sosok kepemimpinan yang bisa melukiskan harapan di masa depan. Sosok yang bisa membangkitkan kepercayaan diri rakyat dan sosok yang mampu membangun solidaritas sosial dan melampaui pembelahan sosial. Itulah tantangan yang dihadapi pemimpin nasional ataupun pemimpin daerah yang terpilih dalam pilkada, 9 Desember 2020.
Bangsa ini butuh gerakan kesukarelawanan, menolong sesama. Vaksinasi sebagai gerakan sosial yang sedang tumbuh perlu direspons agar tidak layu sebelum berkembang. Bahwa ada yang menolak vaksin, biarkanlah dahulu. Namun, vaksinasi yang merupakan bisnis besar membutuhkan kawalan bersama agar tak salah sasaran. Risiko vaksinasi perlu dimitigasi.