Nelayan Pulau Lirang Tak Perlu Lagi Beli Es Balok di Timor Leste
›
Nelayan Pulau Lirang Tak Perlu...
Iklan
Nelayan Pulau Lirang Tak Perlu Lagi Beli Es Balok di Timor Leste
Kehadiran listrik di Pulau Lirang, Maluku, membantu nelayan mendapatkan es balok. Mereka tak lagi bersusah payah melaut menuju Timor Leste hanya untuk membeli es balok.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Pulau Lirang di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, yang berhadapan dengan negara tetangga, Timor Leste, kini terang benderang pada malam hari. Kehadiran listrik membantu warga pulau perbatasan mengembangkan kehidupan ekonomi yang sebelumnya bergantung negara tetangga. Setidaknya, mereka tak lagi bersusah payah menyeberang ke Timor Leste hanya untuk membeli es balok.
Jumat (7/1/2021) pukul 18.00, bola lampu di rumah warga mulai menyala. Setiap hari, pelayanan listrik di Pulau Lirang, berlangsung 12 jam. Petang itu, Harun Maika (51) membungkus air dalam kantong plastik, lalu menyimpannya di dalam kulkas. Air yang nantinya membeku jadi es balok itu akan ia gunakan mengawetkan ikan.
Keesokan harinya seusai melaut, Harun memasukkan ikan tangkapan dan pecahan es balok ke dalam boks sebelum dikirim ke Dili, ibu kota Timor Leste, di seberang Pulau Lirang. Sebelum masa pandemi Covid-19, ia biasanya langsung menjual ikan ke Dili. Namun, kini mereka dibatasi. Hanya 1-2 orang yang mewakili.
Masuknya pelayanan listrik membantu warga di pulau berpenduduk sekitar 1.500 jiwa itu, termasuk Harun dan nelayan lain. Kompas pernah mendatangi pulau itu pada April 2016. Sebagai pulau terpencil, Lirang disinggahi kapal sekali dalam dua pekan. Perjalanan dari Ambon butuh waktu lebih dari satu minggu.
Sebelum listrik masuk Lirang, nelayan membeli es balok di Dili. Satu balok es seberat sekitar 2 kilogram dibeli seharga 20 sen dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 2.600. Setiap kali ke Dili, mereka membeli maksimal 300 balok es untuk menghemat segalanya. Waktu tempuh Dili ke Lirang sekitar 4 jam dengan berbagai risiko pelayaran.
Jika ombak tak bersahabat, tak jarang muatan es balok di kapal dikurangi. Bahkan, mereka pernah membuang semuanya ke laut demi menjaga keseimbangan. Es balok disimpan dalam boks, kemudian dibungkus lagi menggunakan karung goni. Es bisa bertahan hingga lebih dari empat hari.
”Itu cerita dulu, sekarang kami tidak menyeberang ke Dili untuk beli es,” ujar Harun.
Selain menjawab kebutuhan es balok, kehadiran listrik yang diikuti pemasangan jaringan internet semakin membantu nelayan berkomunikasi dengan calon pembeli. Proses tawar-menawar dilakukan sebelum ikan tiba di Dili.
”Kami kirim video ikan, kalau mereka jawab oke, langsung diantar,” ujarnya. Sebelumnya, banyak hasil tangkapan tidak laku dijual di Dili sehingga dibawa pulang ke Lirang.
Pikul tiang listrik
Pembangunan jaringan listrik di wilayah kepulauan seperti Pulau Lirang bukan perkara gampang. Ramli Malawat, Manajer Komunikasi PT PLN Persero Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku Utara, menyebutkan, ada kendala, seperti ketiadaan pelabuhan laut untuk menurunkan material, tidak ada akses jalan untuk membangun jaringan, dan pembebasan tanaman di sepanjang jalur jaringan.
Tak ada pelabuhan, material seperti tiang utama dihanyutkan di tengah laut kemudian didorong ke darat menggunakan tenaga manusia. Untuk satu tiang dengan panjang hingga 14 meter serta bobot hingga 250 kilogram, butuh waktu lebih dari satu jam didorong ke darat dengan jarak sekitar 50 meter. Banyak pekerja kecelakaan saat mendorong tiang. Ada yang sampai mengalami patah kaki atau tangan.
Tak ada kendaraan pengangkut, warga ramai-ramai memikul tiang. Butuh paling sedikit 8 orang untuk bisa mengangkatnya ke titik lokasi pemancangan tiang. Medan yang dilewati kebanyakan berbatu dan terjal. Di daerah itu, jalan raya belum dibangun sehingga pembangunan jaringan sekaligus merupakan pembukaan jalan baru.
Tantangan berikutnya adalah saat penebangan tanaman yang dianggap menghalangi jalur jaringan. Banyak warga tetap protes kendati sudah diajak bicara. ”Bahkan, ada petugas di lapangan yang dikejar warga menggunakan parang. Ada juga warga yang menuntut tidak dibebani biaya pemasangan dan tidak mau bayar listrik. Ini butuh negosiasi alot,” kata Ramly.
Meski demikian, di banyak tempat, masyarakat sangat mendukung kerja PLN. Masyarakat dengan senang hati membantu sebab mereka sudah lama merindukan kehadiran listrik. Jika prosesnya berjalan lancar, pemasangan jaringan untuk 10 desa di satu pulau butuh waktu sekitar tiga bulan.
Ganti listrik swadaya
Data PT PLN Persero Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku Utara, hingga akhir 2020, rasio elektrifikasi di Kepulauan Maluku yang terdiri atas Provinsi Maluku dan Maluku Utara mencapai 89,45 persen. Provinsi Maluku mencapai 91 persen, sedangkan Provinsi Maluku Utara mencapai 87,4 persen. Secara nasional, rasio elektrifikasi telah melampui 99 persen. Ditargetkan rasio elektrifikasi mencapai 100 persen pada 2023.
Dari 2.441 desa di Maluku dan Maluku Utara, baru 1.895 yang sudah menikmati listrik. Artinya, 546 desa lainnya masih gelap atau belum dilayani PLN. Di desa yang masih gelap, sebagian besar warga menggunakan lampu minyak. Ada yang menggunakan listrik tenaga surya dan pembangkit listrik mini. Namun, saat dihitung-hitung, biaya pengadaannya cukup mahal.
Ama Kelen, guru di Desa Wayaloar, Pulau Obi, Maluku Utara, yang dihubungi secara terpisah mengatakan, jaringan listrik di kampung berpenduduk sekitar 4.000 jiwa itu sudah selesai dibangun tahun 2019. Saat ini, warga menunggu pembangunan jaringan ke rumah-rumah. Mesin pembangkit listrik juga belum tiba di desa itu.
Selama ini mereka menggunakan listrik yang dijual warga setempat, yang memiliki pembangkit sendiri. Setiap rumah yang menjadi pelanggan dikenakan tarif Rp 200.000 per bulan. Jika pelanggan menggunakan televisi akan ditambah biaya Rp 50.000 per bulan. Setiap hari, mereka dilayani selama 12 jam terhitung sejak pukul 18.00 WIT.
Ia mengatakan, meski merasa biaya Rp 200.000 terlalu mahal, warga tak punya pilihan lain. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Seiring tersedianya layanan PLN nanti, beban warga untuk biaya listrik akan berkurang. Warga juga akan memanfaatkan listrik untuk kebutuhan usaha mereka, seperti mebel dan usaha rumah tangga lainnya.
Memang, membangun listrik di wilayah kepulauan seperti Maluku butuh perjuangan keras. Namun, jika berhasil, akan ada banyak manfaat yang dirasakan masyarakat, seperti di Pulau Lirang. Setidaknya, nelayan seperti Harus tidak perlu lagi susah payah menyeberang ke Dili dengan segala risikonya, hanya demi es balok.