Tidak penting lingkaran kompetensi kecil atau luas, tetapi sebaiknya di situ saja kita bermain. Di luar lingkaran tersebut cukup jawab: saya tidak tahu.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Seperti yang sudah-sudah, layaknya kembang api di malam pergantian tahun, harapan sebagai bekal untuk menapaki tahun berikutnya redup seketika. Tahun 2020 adalah tahun sangat sulit. Dibutuhkan ketabahan. Meski yang menentukan nasib manusia adalah sikap dan cara hidup—bukan pergantian tahun—2021 diangankan bakal lebih baik.
Padahal, ruwetnya sama saja. Sehari-hari otak kita tercemar berita tidak sehat yang kita konsumsi dan cari dengan sukarela. Istilahnya searching. Lama-lama searching menjadi obsesi. Banyak yang sambil buang air besar menatap layar seluler.
Kalau langit Jakarta menjadi biru, itu dikarenakan orang tidak mencemarinya. Selama pandemi, mobilitas dan kegiatan manusia kota besar berkurang. Otak kita sebening langit andaikata tidak dicemari berita macam-macam: barbarisme di Capitol Hill, tingkah menyebalkan makhluk bernapas dengan sebutan influencer, fetisisme selebritas merekam hubungan seksnya, dan lain-lain.
Terlebih ketika terjadi kecelakaan pesawat. Peristiwa kecelakaan pesawat selalu menjadi berita istimewa dibandingkan dengan kecelakaan bis, longsor yang menimpa seluruh kampung, atau yang kita tidak pedulikan ketika ratusan relawan pemilu meninggal karena kelelahan. Bukankah bagi keluarga tragisnya sama? Khusus kecelakaan pesawat, pada zaman ini juga dengan seketika melahirkan para ahli aviasi, termasuk mereka yang barangkali belum pernah naik pesawat.
Lalu lintas berita yang luar biasa, informasi yang tumpah ruah setiap hari, memang menjadikan orang lekas pintar. Setidaknya pintar berkicau. Dalam The Art of Thinking Clearly (2013), Rolf Dobelli mengulang cerita yang pernah dia dengar dari Charlie Munger, investor terkemuka. Ini cerita tentang Max Planck, penerima Nobel Fisika tahun 1918. Setelah menerima Nobel, Planck berkeliling Jerman, memenuhi undangan berbagai pihak. Pada kesempatan itu, ia selalu memberikan ceramah mengenai hal yang sama, yakni mekanika kuantum.
Membicarakan subyek tersebut berulang-ulang, sopir Planck jadi hafal apa yang dikatakan majikannya. Suatu saat, sang sopir berucap: ”Tentulah membosankan setiap saat memberikan ceramah yang sama, Profesor Planck. Bagaimana kalau di Munich saya saja yang memberikan ceramah. Profesor cukup duduk di barisan terdepan mengenakan topi sopir saya. Itu akan memberikan sedikit variasi pada kita berdua.”
Planck terpikat dan menyetujui gagasan sopirnya. Dia duduk di kursi hadirin, mendengarkan sang sopir berceramah dengan fasih mengenai mekanika kuantum. Agaknya dia hafal luar kepala ceramah-ceramah majikannya.
Seorang profesor bangkit dari duduk, mengacungkan tangan, mengajukan pertanyaan. Tidak menduga bakal mendapat pertanyaan, sang sopir berkata: ”Sungguh saya tidak pernah berpikir di kota semaju Munich bakal ada orang yang mengajukan pertanyaan sedemikian sederhana. Biar sopir saya yang menjawab.”
Dikarenakan gampangnya informasi diperoleh, saat ini sulit membedakan orang yang benar-benar memiliki kompetensi dengan orang yang semata-mata fasih seperti sopir tadi. Pasti banyak orang mengira anchor atau pembaca berita di televisi bukanlah sekadar pembaca berita, melainkan sejenis makhluk yang memiliki kompetensi dalam semua hal. Saya tidak berpikir demikian meski mereka sok percaya diri jadi moderator berbagai panel diskusi.
Saya setuju dengan Dobelli, yang agak sulit dibedakan adalah wartawan. Banyak wartawan menggeluti satu bidang selama puluhan tahun dan menjadi paham betul bidang yang digelutinya. Mereka tahu kompleksitas persoalan dan mampu mengomunikasikannya dengan baik melebihi profesor.
Di luar itu tak kurang banyaknya yang memakai aji pengawuran. Pada sebuah laman berita saya membaca laporan wartawan, seorang artis melewatkan tahun baru di Bali, di vila mewah menghadap Samudera Pasifik. Saya terkesima, apakah pulau Bali telah bergeser ke dekat Panama. Bagaimana nasib Jean Couteau, teman saya. Seperti biasanya, ada saja netizen cerdas. Dia memberi jawaban: mungkin di depan vila ada baliho Pacific Place.
Warren Buffet punya istilah yang digemari Dobelli: circle of competence (lingkaran kompetensi). Tidak penting lingkaran kompetensi kecil atau luas, tetapi sebaiknya di situ saja kita bermain. Di luar lingkaran tersebut cukup jawab: saya tidak tahu.
Mudah-mudahan sopir kalian, atau kalian semua, tidak seperti sopir Max Planck.