Glodok Menantang Pandemi
Pandemi kali ini pun menjadi batu ujian, tetapi penyintas-penyintas kuliner masih berteguh menantang bermacam rintangan.
Blusukan di gang-gang sempit di Glodok, Jakarta, sungguh banyak seninya. Liku-liku lorong yang sarat akan kisah geliat kuliner, mulai dari puluhan tahun hingga nyaris seabad, menarik wisatawan. Bukan restoran mewah, hidangan dari resep yang tak lekang oleh waktu itu disajikan di gerobak, gerai, dan kedai bersahaja.
Jumanta (72) menyendok potongan daging sapi dari panci. Bersama babat, paru, dan jantung, ia potong onggokan yang masih mengepul itu di atas talenan. Pedagang soto tangkar itu juga memasukkan kuah dalam plastik untuk pemesan yang membawanya pulang.
”Paling empuk apa? Alot sedikit, saya enggak bisa makan. Jangan pakai daun bawang, minyak, dan garam,” kata pembeli yang ceriwis itu. Di Gang Pancoran V, Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta, Kamis (7/12/2021), lima bangku di sekitar gerobak tersebut sudah terisi sekitar pukul 09.00.
Pagi yang mendung dan basah lantaran gerimis berangsur hangat dengan sesapan kuah yang masih sedikit beruap. Campuran dengan santan tersebut meresap dalam daging dan jeroan empuk yang bisa dipilih. Gurihnya hidangan itu berpadu dengan emping, perasan limau, dan bawang goreng.
Kunyit, jahe, lengkuas, bawang putih, gula merah, salam, daun jeruk, serai, dan garam menyatu dalam hirupan yang tercecap pekat. Jika suka, acar, kecap, sambal, dan cuka bisa ditambahkan. Harga soto itu Rp 30.000 per porsi, sudah termasuk nasi.
Jumanta dengan tubuh rentanya masih tangkas. Seusai menuntaskan pesanan, ia mengaso saja di emperan toko, tetapi bangun lagi begitu pembeli datang. ”Mulai umur 15 tahun, saya bantu bapak berdagang. Dari tahun 1971, saya sudah jualan sendiri,” ujar warga Tamansari, Jakarta, itu.
Sejak kapan ayahnya menjual soto tangkar, Jumanta tak bisa memastikannya, tetapi diperkirakan tahun 1950-an. Ia mulai berdagang pukul 07.00. ”Habisnya enggak tentu, tetapi rata-rata pukul 12.00. Jualan sekarang turun banget gara-gara pandemi,” ucapnya.
Ia tak menghitung porsinya, tetapi sebelum pagebluk Jumanta membeli hingga 15 kilogram (kg) daging dan jeroan per hari. ”Sekarang, 8-10 kg saja per hari. Saya tetap bertahan jualan. Semua keluarga saya dulu dagang soto tangkar. Sekarang, tinggal saya yang bertahan,” katanya.
Huru-hara
Selama separuh abad menyajikan makanan khas Betawi itu, ia telah ditempa onak dan duri mengais rezeki. Kerusuhan, dilarang berjualan, hingga wabah kali ini menguji Jumanta. Pada 1998, misalnya, huru-hara menggila. ”Demonstrasi, tembakan, dan polisi mondar-mandir. Saya takut dan langsung pulang,” ujarnya.
Masih di Gang Pancoran V, Deni Sunandar (34) juga melanjutkan usaha yang dimulai ayahnya pada 1970-an. Ia menjual soto mi bogor karena orangtuanya sudah tak sanggup berdagang. Warga Tamansari, Jakarta, itu mangkal pukul 08.30-15.30.
Ia menjual soto mi bogor seharga Rp 20.000 per porsi. Penjualan makanan itu tak menentu, tetapi jika ramai sekitar 60 porsi per hari. ”Kalau sepi, 30 porsi per hari. Orangtua dulu juga jualan di sini,” ucap Deni yang berasal dari Bogor, Jawa Barat, itu.
Di gang yang sama, Handi (57) memajang berbagai hidangannya di etalase. Char siu atau babi panggang merah seharga Rp 15.000 per porsi dengan nasi paling laris. Jangan terkecoh, sesuai nama warungnya, Vegetarian, hidangan itu tak dibuat dari daging.
”Bahannya gluten. Merahnya dari angkak. Garam juga, tetapi enggak dominan. Semua makanan saya enggak pakai vetsin,” katanya. Cita rasa char siu mengejutkan karena nyaris tak berbeda dengan sajian hewani sungguhan. Cincangan itu malah lebih empuk karena tak berserat.
Demikian pula hidangan favorit lain di Vegetarian, sate babi yang diolah dari protein nabati bertekstur. Daging itu gurih dan kenyal serupa dendeng. ”Harganya, Rp 5.000 per tusuk. Semua bahan baku yang saya pakai halal dan berbasis sayuran,” ujarnya.
Rugi besar
Menu lain di Vegetarian adalah dendeng, ayam bakar, dan lumpia udang. Handi pun tak luput dari terpaan pandemi dengan penurunan penjualan. ”Char siu yang terjual hingga 2 kg per hari saat normal, sekarang hanya 250 gram. Lihat saja di luar,” ucapnya sambil menunjuk orang-orang yang hilir mudik.
Gang yang juga kerap disebut Kalimati itu memang tak seramai biasanya. Bukan baru-baru ini saja Handi diterpa aral melintang setelah berpindah lima lokasi hingga sekarang. Ia sungguh-sungguh terpuruk saat menjajal peruntungan di Mangga Dua, Jakarta. ”Rugi besar sampai saya kaget, pakai banget. Orang yang lewat belum tahu saya. Hanya setahun langsung angkat kaki,” katanya.
Ia mengontrak kedai sederhana saat ini sejak tahun 2012. Handi menilai kuliner Glodok masih dinamis karena pemiliknya terus bergelut. ”Dorongan utamanya tentu survival (bertahan). Usaha leluhur diteruskan keturunannya. Sebagian makanan di Vegetarian juga dibuat dengan resep nenek saya,” ujarnya.
Keuletan turun-temurun di Glodok yang termasuk Kota Tua juga bisa disaksikan di lorong-lorong lain. Di Gang Gloria, Kopi Es Tak Kie dengan interior klasik berdiri sejak tahun 1927. Tak jauh dari situ, Gado-gado Direksi yang menempati gerai sederhana dimulai pada 1967.
Glodok bagai kuali peleburan kuliner. Etnis Tionghoa yang marak berniaga sejak era penjajahan tak mesti berjualan sajian dengan kekhasan primordialisme, begitu pula sebaliknya. Usaha-usaha kecil yang mampu menembus pergantian zaman mencuatkan keunikan, lantas memikat wisatawan untuk menyinggahinya.
Abad ke-18
Pandemi kali ini pun menjadi batu ujian, tetapi penyintas-penyintas kuliner masih berteguh menantang bermacam rintangan. ”Di Glodok, satu gang saja bisa sangat compact (padat) dengan pelaku usaha makanan yang sudah lama karena sejak dulu dilewati banyak orang,” ucap Harry Nazarudin.
Moderator Komunitas Jalansutra itu menilai daya sintas atau resistansi mereka teramat kuat menghadapi perubahan masa. ”Kalau mampu bertahan dalam jangka waktu yang panjang, pelanggan sudah banyak. Usaha bertahan karena kuatnya faktor memori. Orangtua makan, anaknya nanti juga datang,” katanya.
Sesuai buku Wisata Kota Tua Jakarta (2013) yang ditulis Edi Dimyati, perniagaan di Glodok melebar pada awal abad ke-18. Turun-temurun, profesi pedagang diteruskan.
Ketangguhan mereka kian kentara dengan sejumlah kafe yang babak bundas dihantam pandemi. Berdasar pemantauan, di sekitar Taman Fatahillah saja, setidaknya dua kafe tutup. Di gedung historis yang termasuk Kota Tua, tampak kafe dengan pintu terkunci.
Sejumlah peralatan pun beserakan di lantai. Di antara kafe-kafe itu, dua jenama malah termasuk jejaring yang buka di beberapa lokasi. Pegawai setempat menjelaskan secara singkat soal kafe-kafe tersebut yang tutup sejak awal merebaknya pandemi.