Mematikan Kamera Saat Konferensi Video Turunkan Emisi Karbon
›
Mematikan Kamera Saat...
Iklan
Mematikan Kamera Saat Konferensi Video Turunkan Emisi Karbon
Dalam satu jam konferensi video atau ”streaming”, mengemisi 150-1.000 gram karbon dioksida, 2-12 liter air, dan kebutuhan lahan seukuran iPad Mini. Mematikan kamera video bisa berkontribusi pada penurunan emisi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Sebuah studi baru menunjukkan meskipun terjadi rekor penurunan emisi karbon global pada 2020, pola kegiatan akibat pandemi Covid-19, seperti bekerja dari rumah, pembelajaran jarak jauh, dan hiburan di rumah, menghasilkan dampak lingkungan yang signifikan. Ini terkait cara data internet disimpan dan ditransfer ke seluruh dunia.
Hanya satu jam konferensi video atau streaming, misalnya, mengeluarkan 150-1.000 gram karbon dioksida (pembakaran satu galon bensin pada mobil menghasilkan 8.887 gram), membutuhkan 2-12 liter air, dan menuntut luas lahan seukuran iPad Mini.
Menurut para pakar, mematikan kamera selama panggilan web dapat mengurangi jejak (footprints) emisi karbon ini hingga 96 persen. Streaming konten dalam definisi standar daripada dalam definisi tinggi saat menggunakan aplikasi, seperti Netflix dan Hulu, juga dapat menurunkan emisi 86 persen.
Studi yang dilakukan para peneliti dari Purdue University, Yale University, dan Massachusetts Institute of Technology merupakan riset pertama menganalisis jejak air dan tanah yang terkait dengan infrastruktur internet selain jejak karbon. Penemuan ini dipublikasikan dalam jurnal Resources, Conservation & Recycling.
Tim peneliti tersebut memperkirakan jejak karbon, air, dan lahan yang terkait dengan setiap gigabyte data yang digunakan di Youtube, Zoom, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan 12 platform lainnya, gim daring, dan berbagai penjelajahan web.
”Jika Anda hanya fokus pada satu jenis tapak, Anda akan melewatkan yang lain yang dapat memberikan pandangan yang lebih holistik tentang dampak lingkungan,” kata Roshanak ”Roshi” Nateghi, seorang profesor teknik industri Purdue University di Amerika Serikat, dalam situs kampus ini 14 Januari 2021. Penelitiannya berupaya mengungkap kesenjangan dan asumsi dalam penelitian energi yang telah mengesampingkan efek perubahan iklim.
Sejumlah negara telah melaporkan setidaknya peningkatan 20 persen dalam lalu lintas internet sejak Maret. Studi itu menyebutkan, jika tren ini berlanjut hingga akhir 2021, peningkatan penggunaan internet saja akan membutuhkan hutan seluas 71.600 mil persegi (setara 18,5 juta hektar) yang setara dua kali luas daratan negara bagian Indiana, untuk menyerap emisi karbon yang dihasilkan.
Air tambahan yang dibutuhkan dalam pemrosesan dan transmisi data juga akan cukup untuk mengisi lebih dari 300.000 kolam renang ukuran olimpiade, sementara jejak lahan yang dihasilkan akan kira-kira sama dengan ukuran Los Angeles.
Tim peneliti tersebut memperkirakan jejak karbon, air, dan lahan yang terkait dengan setiap gigabyte data yang digunakan di Youtube, Zoom, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, 12 platform lainnya, gim daring, dan berbagai penjelajahan web. Seperti yang diperkirakan, semakin banyak video yang digunakan dalam suatu aplikasi, semakin besar jejaknya.
Karena pemrosesan data menggunakan banyak listrik—dan produksi listrik apa pun memiliki jejak karbon, air, dan tanah—langkah untuk mengurangi pengunduhan data akan mengurangi kerusakan lingkungan.
”Banking systems memberi tahu Anda dampak lingkungan positif dari penggunaan tanpa kertas, tetapi tidak ada yang memberi tahu Anda manfaat mematikan kamera atau mengurangi kualitas streaming Anda. Jadi tanpa persetujuan Anda, platform ini meningkatkan jejak lingkungan Anda,” kata Kaveh Madani, yang memimpin dan mengarahkan penelitian ini sebagai rekan tamu di Yale MacMillan Center.
Jejak karbon internet telah meningkat sebelum karantina Covid-19, terhitung sekitar 3,7 persen dari emisi gas rumah kaca global. Namun jejak air dan tanah dari infrastruktur internet sebagian besar telah diabaikan dalam studi terkait dampak penggunaan internet pada lingkungan, kata Madani.
Madani bekerja sama dengan kelompok penelitian Nateghi untuk menyelidiki jejak ini dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh lalu lintas internet yang meningkat, menemukan bahwa jejak tidak hanya bervariasi menurut platform web, tetapi juga menurut negara. Tim mengumpulkan data untuk Brasil, China, Prancis, Jerman, India, Iran, Jepang, Meksiko, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan AS.
Memproses dan mentransmisikan data internet di AS, para peneliti menemukan, memiliki jejak karbon yang 9 persen lebih tinggi dari median (nilai tengah) dunia, tetapi jejak air dan tanah masing-masing 45 persen dan 58 persen lebih rendah.
Memasukkan jejak air dan tanah dari infrastruktur internet melukiskan gambaran yang mengejutkan bagi beberapa negara. Meskipun Jerman, pemimpin energi terbarukan dunia, memiliki jejak karbon jauh di bawah median dunia, jejak air dan tanahnya jauh lebih tinggi. Jejak lahan produksi energi negara, misalnya, 204 persen di atas median, para peneliti menghitung.
Mahasiswa pascasarjana Purdue, Renee Obringer, Benjamin Rachunok, dan Debora Maia-Silva melakukan penghitungan dan analisis data bekerja sama dengan Maryam Arbabzadeh, rekan peneliti postdoktoral di MIT. Perkiraan tersebut didasarkan pada data yang tersedia untuk umum untuk setiap platform dan negara, model yang dikembangkan oleh kelompok penelitian Madani dan nilai penggunaan energi yang diketahui per gigabyte penggunaan internet jalur tetap.
Perkiraannya kasar, kata para peneliti , karena data tersebut sebaik data yang disediakan oleh penyedia layanan dan pihak ketiga. Tetapi tim percaya bahwa perkiraan tersebut masih membantu mendokumentasikan tren dan membawa pemahaman yang lebih komprehensif tentang jejak lingkungan yang terkait dengan penggunaan internet.
”Ini adalah perkiraan terbaik berdasarkan data yang tersedia. Melihat lonjakan yang dilaporkan ini, ada harapan sekarang untuk transparansi yang lebih tinggi untuk memandu kebijakan,” kata Nateghi.