Menyelamatkan WNI Korban Perdagangan Manusia di Malaysia
Para gadis muda yang termakan bujuk rayu lalu diberangkatkan ke Nunukan. Setibanya di sana, jika korban adalah anak gadis berwajah cantik, dia akan segera dilelang oleh sindikat. Nilainya mencapai puluhan ribu ringgit.
Di sela liputan pengusiran WNI yang terjaring Operasi Nyah oleh Pemerintah Malaysia tahun 2002, penulis sempat beberapa kali terlibat dalam upaya penyelamatan dan pemulangan WNI korban perdagangan manusia. Saat itu, lebih dari 300 WNI terkena operasi di wilayah Kalimantan Timur yang masuk wilayah Sabah, Malaysia.
Fokus media massa ketika itu adalah krisis kemanusiaan akibat tak hentinya pengusiran WNI dari Malaysia yang kemudian membanjiri Nunukan setiap harinya. Penyakit dan kematian menjadi pemandangan sehari-hari di Nunukan. Pada saat yang sama ada persoalan perdagangan manusia di Tawau.
Ketika itu, ratusan perempuan muda Indonesia dijual sindikat kriminal untuk bekerja di tempat hiburan malam dan lokasi prostitusi di kota pelabuhan Tawau yang berseberangan dengan kota kecamatan Sei Nyamuk, Pulau Nunukan, yang kini menjadi bagian Provinsi Kalimantan Utara.
Penyakit dan kematian menjadi pemandangan sehari-hari di Nunukan. Pada saat yang sama ada persoalan perdagangan manusia di Tawau.
Saat bertugas beberapa bulan di dua lokasi, yakni Nunukan dan Tawau, penulis beberapa kali diajak oleh Konsul Muda RI di Tawau dalam upaya penyelamatan dan pemulangan WNI korban perdagangan manusia. Demi keamanan, penulis selalu berpindah tempat menginap.
Kantor Konsul RI di Tawau saat itu menyediakan shelter untuk menampung puluhan hingga seratusan WNI yang mengalami masalah di tempat kerja. Mereka adalah buruh migran ataupun korban perdagangan manusia yang dipaksa bekerja di tempat hiburan. Tidak sedikit yang dijual sebagai obyek seksual seperti dalam perdagangan budak.
Baca juga: Menyusuri Jalan Tikus Perdagangan Manusia
Kota Tawau adalah daerah ”wild west” untuk ukuran negara seperti Malaysia. Di kota Pelabuhan Tawau terdapat kelompok-kelompok ”penguasa” yang mendominasi berbagai bidang usaha, mulai dari penempatan tenaga kerja di pabrik, kebun, hingga perdagangan manusia yang korbannya kebanyakan berasal dari Jawa atau Sulawesi Selatan.
Para sindikat menempatkan korban mereka di berbagai pelosok. Salah satunya di sebuah rumah besar tidak jauh dari kantor Konsul Republik Indonesia di Tawau. ”Ini keterlaluan sekali. Upaya kita melapor sering kali tidak direspons,” kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri RI di Tawau.
Baca juga: De Javu 14 Tahun Jatuhnya Adam Air
Apa sebab? Sebagai negara federal, pemerintahan di negara bagian Sabah, termasuk pemerintah kota atau Majelis Bandar Raya Tawau, memiliki kemandirian walau terdapat aturan hukum federal. Ditengarai, oknum aparat setempat ber-”main mata” dengan sindikat yang beroperasi.
Sebaliknya, ada juga aparat Malaysia yang diam-diam membantu warga Indonesia dan Konsulat RI dalam berbagai kesempatan. Penulis cukup sering berhubungan dengan beberapa tokoh setempat di Tawau yang tidak segan berbagi informasi tentang perkembangan kondisi di sana, termasuk soal dunia hitam di kawasan tersebut.
Pada era 1980-an dan 1990-an, perampokan bersenjata masih lazim terjadi di sana. Terdapat sebuah daerah kumuh, yakni Ice Box, yang menjadi pusat berbagai kelompok kriminal di Tawau.
Keberagaman masyarakat Tawau
Demografi kota Tawau memang menarik. Sebagai wilayah Malaysia paling timur yang berbatasan dengan Indonesia, banyak penduduk keturunan Indonesia yang berada di sana. Mereka berasal dari sejumlah daerah, seperti Sulawesi, Nusa Tengggara Timur, dan Jawa.
Tidak jauh dari Tawau terdapat kota Semporna dan Lahad Datu yang berbatasan dengan Filipina selatan. Di sana banyak terdapat warga Malaysia keturunan Filipina dari beberapa suku, seperti Tausug atau Suluk dan Visayag.
Ibu kota Sabah, yakni Kota Kinabalu, berlokasi di pantai barat. Selain pesawat terbang, perjalanan Tawau-Kota Kinabalu dilayani bus antarkota yang menempuh jarak 500 kilometer, seperti jarak Jakarta-Semarang.
Baca juga: Isolasi Mandiri Saat Hamil Empat Bulan
Mayoritas pengemudi bus, kernet, dan pengurus perusahaan angkutan adalah warga Malaysia keturunan Indonesia. Jika kita menumpang bus malam jurusan Tawau-Kota Kinabalu, lagu-lagu pop Indonesia akan diputar dan terdengar sepanjang perjalanan.
Menggali informasi melalui investigasi di negeri jiran ini memang menarik karena ada keragaman masyarakat dan politik rasial yang diterapkan negara. Ini membuat kohesi masyarakatnya tidak sekokoh di negara yang tidak menjalankan politik rasial.
Menggali informasi dengan menggunakan sentimen rasial dan keagamaan sangat mudah dilakukan ketika kita masuk ke komunitas Melayu, Tionghoa, atau India. Terlebih jika kita mampu berbahasa Mandarin, dialek Kanton, dialek Hokkian, dan juga Tamil.
Lelang anak gadis
Selama berada di Tawau, penulis sempat mengikuti upaya Konsul RI membantu para korban perdagangan manusia yang ditampung di sebuah shelter. Cerita tentang penipuan ratusan gadis muda pun terkuak.
Mereka umumnya mendapat tawaran kerja di kedai atau toko di Sabah dari para makelar lelaki atau perempuan muda yang berpenampilan mewah dengan berbagai perhiasan, telepon genggam terbaru, dan baju bermerek. Para makelar yang merupakan bagian dari sindikat perdagangan manusia berkeliaran di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur untuk mencari korban.
Para gadis muda yang termakan bujuk rayu kemudian diberangkatkan ke Nunukan setelah diuruskan segala dokumennya. Mereka kemudian diseberangkan ke ”negeri impian” Sabah. Setibanya di sana, jika korban adalah anak gadis berwajah cantik, dia akan segera dilelang oleh sindikat. Lelang manusia tersebut bisa mencapai nilai puluhan ribu ringgit Malaysia.
Baca juga: Menyelisik Kisah Siti Aisyah dalam Kasus Pembunuhan Kim Jong Nam
Pemenang lelang yang akan menentukan nasib si gadis selanjutnya. Apakah akan dijual ke lelaki hidung belang atau dipaksa bekerja di rumah bordil, bar, atau tempat hiburan lainnya.
Jika si gadis muda tidak menurut, siksaan dan beragam tindakan kekerasan menanti. Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa kembali ke kampung halaman. Dokumen mereka, seperti paspor, dipegang oleh jaringan sindikat perdagangan manusia.
Gadis yang dilelang, jika ”bernasib baik”, akan menjadi simpanan lelaki yang membelinya. Kalau bernasib buruk, akan dijual ke lokalisasi ataupun berpindah pemilik. Sungguh sebuah perbudakan manusia di zaman modern. Perbudakan manusia di Sabah disebut kunta-kinte.
Mereka yang nasibnya ”beruntung” hanya bekerja di bar dan dapat di-booking keluar menemani tamu. Tentunya di bawah pengawasan para body guard yang bekerja untuk ”bapak ayam” atau ”mamak ayam”, istilah yang merujuk kepada mucikari lelaki atau mucikari perempuan.
Gadis yang menemani minum di bar mendapat persentase atau komisi dari banyaknya minuman yang dibeli tamu. Sementara gadis yang dipaksa melacur sehari-hari disekap di gedung-gedung mirip ruko 4 atau 5 lantai di dekat pusat kota Tawau.
Baca juga: Mencium Bahaya, Diancam, Lalu Ditolong
Para tukang pukul yang umumnya membawa senjata tajam senantiasa berada di sekeliling mereka untuk memastikan para gadis tersebut tidak melarikan diri. Di tempat hiburan, para gadis itu akan mulai terbuka dan menceritakan nasibnya setelah perjumpaan beberapa kali dan merasa cukup mengenal tamunya.
Setelah akrab, mereka tak sungkan membagi nomor telepon genggamnya. Keterangan dari para korban perdagangan manusia yang ditampung Konsul RI di Tawau menambah lengkap cerita tentang kejahatan lintas negara tersebut.
Membebaskan korban ”trafficking”
Pihak Konsul RI sebenarnya berharap ada kerja sama yang lebih serius dengan pihak Malaysia untuk melindungi nasib WNI yang menjadi korban perbudakan zaman modern. Namun, selalu terganjal kondisi setempat.
Suatu hari, seorang Konsul Muda RI di Tawau menghubungi penulis. Konsul ingin mengajak penulis dalam upaya mereka membebaskan korban trafficking di salah satu lokasi prostitusi di dalam kota Tawau. Pihak lain yang terlibat adalah perwira penghubung atau LO Polri dan beberapa staf lokal kantor Konsul RI.
Penulis kebagian tugas masuk gedung untuk mendatangi seorang gadis yang sempat bertukar nomor telepon genggam serta mengabari teman-temannya yang berminat pulang ke Tanah Air. Di lantai dasar tampak para body guard berjaga di sekitar bar. Lantai selanjutnya adalah hunian para perempuan korban trafficking yang ternyata mudah saja dimasuki.
Baca juga: Masuk ke Dasar Lubang Tambang demi Satu Bingkai Foto
Sebelumnya, kami menyusun rencana, jika terjadi kendala, akan melompat ke gedung samping lalu pergi ke ujung blok kompleks bangunan tersebut. Kendaraan dari kantor konsulat telah menanti di ujung jalan.
Gadis asal Jawa Timur yang penulis temui menyatakan ingin meloloskan diri. Ia juga telah membagi kabar kepada teman-temannya yang lain. Disusunlah skenario untuk mengeluarkan si gadis ini terlebih dulu, yakni dengan pura-pura mem-booking-nya ke sebuah hotel mewah.
Hari-H pun tiba. Si gadis datang diantar oleh body guard hingga ke lobi hotel. Si gadis kemudian mendatangi kamar yang dijadikan titik pertemuan. Sengaja disewa kamar dengan pintu penghubung (connecting door).
Setelah gadis tersebut datang dan masuk kamar, ia segera pindah ke kamar sebelah. Lalu lewat tangga darurat, ia keluar lewat belakang hotel. Di sana, mobil konsulat telah menunggu. Si gadis pun selamat diantar ke kantor Konsul RI dan selanjutnya dibawa ke shelter.
Gadis itu adalah satu dari sekian banyak korban kasus perdagangan manusia yang terus terjadi semasa itu. Ia kemudian dipulangkan bersama puluhan gadis lain dari shelter ke Nunukan berbekal Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).
Ketika itu, politisi AM Fatwa sempat menemani mereka dan menjelaskan kepada wartawan yang meliput pengusiran WNI dari Malaysia dalam Operasi Nyah tentang adanya praktik perdagangan manusia.
Gadis itu adalah satu dari sekian banyak korban kasus perdagangan manusia yang terus terjadi semasa itu.
Selanjutnya, rombongan para gadis korban perdagangan manusia tersebut menumpang kapal laut dengan berbagai tujuan, kebanyakan ke Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Saat ini, situasi di Kota Tawau tidaklah serawan 18 tahun silam dalam hal perdagangan manusia. Namun, praktik perdagangan manusia dengan modus TKI ilegal dan berbagai kegiatan melawan hukum di segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina itu harus tetap diawasi.
Terlebih dengan adanya juga jaringan terorisme Abu Sayyaf di Kepulauan Sulu hingga pesisir Sabah serta penyelundupan narkoba dari Filipina-Sabah ke Kalimantan dan Sulawesi di wilayah Indonesia.