Penemuan ”sea glider” beberapa waktu lalu mengingatkan bahwa sistem pertahanan laut perlu ditingkatkan. Stategi pengawasan bawah laut, pemanfaatan teknologi, dan peningkatan SDM penting untuk menjaga Nusantara.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Dalam film Iron Man 2 (2010), terlihat ada ambisi dari sebuah perusahaan senjata untuk memproduksi robot sebagai prajurit perang untuk Amerika Serikat. Di awal digambarkan keunggulan dari robot yang mengambil teknologi Iron Man itu, di mana robot lebih efektif, presisi dan tidak takut mati.
Akan tetapi, film itu lalu menunjukkan kalau robot-robot humanoid itu sejatinya mudah berbalik, apalagi kalau sistem kendalinya dipegang oleh musuh. Bayangkan, prajurit yang efektif, presisi, dan tidak takut mati itu berhadapan sebagai musuh manusia. Kecanggihan pesawat nir awak yang kecil seperti lebah dikombinasikan dengan kecerdasan buatan juga terlihat di pembukaan film Angel Has Fallen (2019). Dengan efektif dan efisien, drone itu memindai wajah calon korban, mencocokan dengan basis data, dan mengeksekusinya.
Bagi AS yang saat ini memimpin dalam riset-riset industri senjata, kehadiran alat-alat perang yang nirawak baik di darat, laut, maupun udara menjadi solusi strategis. Kekalahan AS di Perang Vietnam 1975 tidak disebabkan karena kekurangan senjata yang canggih. Akan tetapi karena protes keras warga Amerika atas meninggalnya para prajurit muda AS. AS yang menyadari titik lemahnya pada efek boots on the ground (prajurit yang ada di lapangan) pada moral masyarakat mengubah cara perangnya. Alat-alat canggih yang berada di garis depan untuk menghancurkan musuh sehingga ketika prajuritnya datang, keamanannya lebih terjamin.
Kiprah AS ini diikuti negara-negara lain. Sea Glider misalnya dikembangkan awalnya oleh AS tahun 1996, tetapi kini belasan negara telah memilikinya. Paul Scharre, peneliti pertahanan di AS yang menulis buku Autonomous Weapons and the Future of War : Army of None memperkirakan ada lebih dari 30 negara yang telah mengembangkan persenjataan nirawak. AS justru oleh banyak pihak dianggap ketinggalan dibanding Cina dan Rusia. Pasalnya, terjadi perdebatan keras di AS ketika senjata-senjata otomatis nirawak ini melibatkan kecerdasan buatan dalam pengambilan keputusan. Perang bisa berevolusi sehingga pertempuran punya kecepatan yang ada di luar rentang kendali manusia.
Ke depan, akan terjadi hibrida antara manusia dan senjata nirawak. Persenjataan nirawak berfungsi sebagai pelipatgandaan kekuatan. Misalnya, kapal-kapal tempur dan kapal selam akan didampingi oleh kapal-kapal selam nirawak. Ketika ada bahaya atau musuh di depan, kapal-kapal nirawak yang maju. Demikian juga dengan pesawat-pesawat tempur akan didampingi dengan skuadron nirawak.
Sea Glider
Ditemukannya Sea Glider – sejenis Underwater Unmanned Vehicle (UUV) atau kapal nirawak bawah laut di Pulau Selayar juga membangunkan publik Indonesia. Universitas Pertahanan bahkan mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Ancaman Unmanned System Terhadap Sishaneg dan Respons Negara dari Aspek Hukum, Strategi, dan Teknologi”, secara daring, Kamis (14/1).
Rejim hukum laut internasional yang ditegakkan oleh institusi-institusi internasional juga belum mengatur soal operasi kapal-kapal nirawak.
Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Madya Amarulla Octavian saat membuka seminar nasional itu mengatakan, sudah banyak negara yang mengembangkan kapal-kapal nirawak ini sejak tahun 1999. Di sisi lain, rejim hukum laut internasional yang ditegakkan oleh institusi-institusi internasional juga belum mengatur soal operasi kapal-kapal nirawak.
Yang menarik, bagi Octavian, kapal-kapal nirawak bawah laut ini relatif murah. Oleh karena itu, jadi kesempatan untuk negara-negara pantai dengan tingkat menengah untuk mengadakannya. Pengadaan ini tidak saja dengan membeli, tetapi lebih pada membuat sendiri. Namun, Octavian juga memperingatkan bahwa saat ini negara-negara besar sedang mengembangkan kapal-kapal nirawak bawah laut dengan teknologi nuklir. Kapal-kapal ini bisa dikatakan dapat selamanya berada di bawah laut tanpa terdeteksi.
Octavian menilai kapal-kapal nirawak ini adalah bentuk ancaman di masa damai. Menurut Octavian, selain membangun hukum, strategi pertahanan laut perlu melibatkan berbagai pemangku kebijakan. Secara pertahahan, Kementerian Pertahanan dan TNI AL perlu mengembangkan teknologi deteksi bawah laut secara keseluruhan, baik intelijen dan di garis pantai, observasi bawah laut dan pertahanan yang terintegrasi. “Gunakan big data maritim dan manfaatkan artificial intelligence,” kata Octavian.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Muljo Widodo Kartidjo yang memiliki pusat riset kapal nirawak bahwa laut mengatakan, teknologi nir awak yang terlihat saat ini ibarat puncak gunung es yang terendam air. Alias, yang sebenarnya tidak terbayangkan.
Teknologi nir awak yang terlihat saat ini ibarat puncak gunung es yang terendam air. Alias, yang sebenarnya tidak terbayangkan
Ia menduga kuat, sea glider yang ditemukan di Pulau Selayar berasal dari Cina yang dinamakan Sea Wing. Akan tetapi, perlu diteliti lebih lanjut apakah sea glider itu memang lepas kontrol, terbawa arus, atau memang diperuntukan untuk mencari data di perairan dalam Indonesia.
“Saya tahun 2010 diundang untuk workshop tentang drone, bertemu Profesor Li dari China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences. Dia presentasi tentang Sea Wing yang seperti itu,” kata Muljo.
Muljo bercerita, ia dan berbagai mahasiswa ITB telah mengembangkan Center for Unmanned System Studies ITB. Tahun 2001 sudah diadakan ROV Kerang. ROV adalah drone bawah laut yang dihubungkan dengan kabel ke pengkontrolnya. Tahun 2002 bersama BPPT, ITB membuat ROV Tiram. Tahun 2004-2006 sudah mulai membuat UUV yang tidak lagi dihubungkan dengan kabel.
Muljo menjelaskan cara kerja sea glider. Saat ini sea glider bisa menyelam ke kedalaman 6000 meter. Oleh karena itu, di tahun 2019 ada 3400 operasi sea glider China di Lautan Hindia. Menurutnya, sea glider sangat efisien, listrik yang digunakan hanya 175 milli Watt untuk sampling setiap detik. Dia menggunakan tangki ballast yang dibuka tutup sehingga gerakannya zigzag mengapung lalu tenggelam.
Dengan demikian, sea glider bisa mengambil data di berbagai kedalaman. Ada dua info penting yang diambil yaitu efek termokline yang bisa membelokkan sonar sehingga kapal selam tidak terdeteksi. Selain itu, sea glider mencari deep sound channel yaitu sebuah karakteristik bawah laut di mana sinar sonar bisa dipantulkan hingga ratusan mil.
“Ke depan, UUV ini semakin mengkhawatirkan karena datanya tiga dimensi dan bisa tak terhingga waktunya dengan nuklir. Harusnya kita bangsa Indonesia menguasai unmanned system biar tidak tergagap-gagap,” katanya.
Pertahanan Laut
Indonesia diberkahi untaian zamrud di katulistiwa. Akan tetapi, juga sulit menjaganya. Menjaga lautan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dan luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, mendeteksi drone yang panjangnya 2 meter ibarat rumah bergaya pendopo ingin menghindari dimasuki nyamuk. Akan tetapi, laut harus dijaga dan ancaman kapal bawah laut nir-awak
Strategi untuk pengawasan bawah laut harus dipikirkan. Octavian misalnya mengingatkan pentingnya teknologi deteksi bahwa laut secara keseluruhan – sistem intelegen pesisir (coastal intelligent system), pengawasan bawah laut (underwater surveillance) dan sistem pertahanan dan pengawasan pelabuhan terintegrasi (integrated harbor defence and survelinace system).
Pertahanan laut nusantara harus ditingkatkan. Walau bentuk geografi negara kepulauan ini sulit untuk dijaga setiap selat, teluk dan alur lautnya, akan tetapi sebagai bangsa yang mendapat karunia ini tentu harus berusaha semaksimal mungkin
Sementara, regulasi dan sumber daya manusia juga harus dipersiapkan. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Hukum TNI AL Laksma Kresno Buntoro dan mantan Kepala Bakamla Laksdya (Purn) Desi Albert Mamahit. Susilo Adi Purwantoro dari Universitas Pertahanan juga menekankan pentingnya Indonesia membuat regulasi tentang pengaturan operasi kapal-kapal nir-awak.
Secara umum, pertahanan laut nusantara harus ditingkatkan. Walau bentuk geografi negara kepulauan ini sulit untuk dijaga setiap selat, teluk dan alur lautnya, akan tetapi sebagai bangsa yang mendapat karunia ini tentu harus berusaha semaksimal mungkin. Tujuannya, membangun pertahanan kepulauan yang tidak hanya berorientasi ke permukaan atau ke dalam, tetapi juga ke luar dan ke bawah permukaan. Hal ini hanya bisa dicapai kalau ada keharmonisan dan persatuan antara sesama anak bangsa untuk bekerja keras dan melaksanakan inovasi demi inovasi.