Perpres No 7/2021 Terbit, Pencegahan Ekstremisme Lebih Holistik
›
Perpres No 7/2021 Terbit,...
Iklan
Perpres No 7/2021 Terbit, Pencegahan Ekstremisme Lebih Holistik
Perpres No 7/2021 mengatur soal penguatan koordinasi antarlembaga dan kementerian, serta pelibatan berbagai elemen masyarakat, dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme yang mengarah pada terorisme.
Oleh
RINI KUSTIASIH/ANITA YOSSIHARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 disambut baik sejumlah elemen masyarakat. Perpres diharapkan bisa membuat pencegahan dan penanggulangan ekstremisme lebih optimal.
Perpres yang ditetapkan pada 6 Januari 2021 ini telah lama digagas oleh sejumlah pihak, terutama dari kalangan masyarakat sipil yang selama ini bergerak di bidang keagamaan dan hak asasi manusia. Poin utama yang mengemuka di dalam perpres ialah adanya koordinasi antarlembaga dan kementerian serta pelibatan berbagai elemen masyarakat untuk turut serta di dalam rencana aksi tersebut.
Kerja sama dengan mitra masyarakat diatur secara detail dan pelatihan-pelatihan disebutkan secara eksplisit di dalam lampiran perpres tersebut. Rangkaian pelatihan, antara lain, melibatkan tokoh agama, penceramah, masyarakat, perempuan, dan kalangan pendidikan.
Pemberian perhatian terhadap posisi rumah ibadah dan kurikulum pendidikan serta pelibatan masyarakat menjadi beberapa hal yang dinilai positif dalam perpres ini karena rencana aksi itu menyentuh akar rumput dan tidak mengedepankan pendekatan keamanan semata.
Rencana aksi itu nantinya menjadi pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lain dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan dan terorisme. Untuk memudahkan koordinasi, pemerintah akan membentuk Sekretariat Bersama yang dipimpin oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad, Minggu (17/1/2021), mengatakan, pihaknya dan beberapa kalangan masyarakat sipil sejak lama mendorong adanya rencana aksi yang terpadu dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.
Selama ini, setiap kementerian dan lembaga memiliki program masing-masing dalam mencegah ekstremisme. Oleh karena itu, upaya pencegahan tidak optimal. Keberadaan rencana aksi nasional ini sendiri sudah diwacanakan sejak 2016.
”Dengan adanya perpres ini, harapan kami program-program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme ini bisa dilakukan lebih terkoordinasi karena nantinya akan ada sekretariat bersama. Dengan demikian, kegiatan mereka lebih terorkestrasi dengan baik. Kerja antarlembaga pun menjadi sinergis satu sama lain,” katanya.
Sayangnya, beberapa informasi terkait dengan terbitnya perpres ini kurang tepat, antara lain karena adanya pemberitaan yang keliru mengenai istilah ”pemolisian masyarakat” atau pelibatan rumah ibadah dan pengaturan ceramah. ”Jadi, ada pemberitaan yang misleading soal perpres ini. Pelibatan rumah ibadah, pengaturan ceramah, itu semua dilakukan dalam konsepsi pelatihan dan kerja sama, bukan pembatasan dan sebagainya,” katanya.
Istilah ”pemolisian masyarakat” yang ada di dalam perpres itu bukan dimaknai sebagai pelatihan kepada masyarakat untuk bertindak seperti polisi. Pemolisian masyarakat itu sendiri bagian dari kegiatan kerja sama masyarakat dengan kepolisian yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Djafar, mengatakan, lembaganya merupakan salah satu kelompok yang aktif mendorong adanya rencana aksi nasional tersebut. Ia pun menyayangkan adanya miskonsepsi yang beredar dari sejumlah pemberitaan tentang ”pemolisian masyarakat” yang diatur di dalam perpres tersebut.
”Yang dimaksud itu, kan, pelatihan kepada masyarakat bagaimana merespons jika di lingkungannya ditemui ada ekstremisme dan radikalisme atau terorisme. Sebab, di antara masyarakat dan polisi itu, kan, ada polmas (polisi masyarakat), yang ada di setiap RT atau RW. Nah, kegiatan yang mereka lakukan inilah yang berusaha disosialisasikan,” katanya.
Pelibatan masyarakat
Menurut Alamsyah, masyarakat dilibatkan cukup ekstensif di dalam perpres. Melalui sinergi antara kepolisian dan masyarakat, edukasi terhadap masyarakat tentang ekstremisme kekerasan, indikatornya, dan cara mengenali terorisme dapat lebih mudah disampaikan.
”Titik tekannya pada pencegahan dan deteksi dini, sehingga ketika ada persoalan ekstremisme, masyarakat bisa tahu apa yang harus dilakukan. Misalnya, mendiskusikan hal itu dengan tokoh agama, lalu dengan kepolisian. Jadi, bukan melatih mereka bertindak seperti polisi seperti yang keliru dipersepsikan,” kata Alamsyah.
Secara umum, substansi perpres itu mengakomodasi pendekatan yang lebih holistik, karena dalam menghadapi ekstremisme, terutama dalam konteks pencegahan, tidak hanya menggunakan pendekatan keamanan. Sektor-sektor lain, seperti pendidikan, juga diperhatikan. Di dalam lampiran perpres itu, misalnya, diatur bagaimana rencana aksi akan dilakukan dalam kurikulum pendidikan, pelatihan ceramah keagamaan, dan pelibatan aktif unsur-unsur rumah ibadah.
”Itu semua bagian kecil saja dari rencana aksi yang disasar oleh perpres ini. Jadi, bukan itu saja yang diatur, karena ini melibatkan banyak lembaga dan kementerian. Di sisi lain, masyarakat akar rumput juga dilibatkan dalam rencana aksi mencegah ekstremisme,” katanya.
Wahid Foundation, menurut Alamsyah, sejak awal mendorong keberadaan rencana aksi nasional. Targetnya ialah adanya desain rencana aksi bersama yang holistik dan terpadu. Sebab, persoalan ekstremisme tidak bisa dihadapi secara parsial atau dari sektor tertentu saja. Upaya pencegahan itu melibatkan unsur pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan keamanan. Oleh karena itu, pendekatan rencana aksi yang juga melibatkan unsur masyarakat diapresiasi.
”Kerja sama dengan masyarakat termasuk sebagai pilar yang diatur di dalam perpres ini. Ini penting karena sebenarnya masyarakat sipil juga memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jaringan yang mungkin tidak dimiliki oleh pemerintah, atau pemerintah sukar masuk. Dengan demikian, kerangka kebijakan ini membuka pintu kerja sama, dan mekanisme pencegahan serta penyelesaian konflik dapat berjalan lebih lancar,” ucap Alamsyah.
Dihubungi secara terpisah, Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan Robikin Emhas mengatakan, hak asasi manusia saja dapat dibatasi oleh UU guna menjamin pengakuan, penghormatan, dan kebebasan hak orang lain secara adil sesuai pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum. Apalagi terhadap tindakan ekstremisme yang berbasis kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengarah pada terorisme.
”Kita tahu terorisme adalah kejahatan kemanusiaan. Oleh karena itu, pencegahan dan penanggulangannya harus dilakukan secara komprehensif, dari hulu sampai hilir. Tidak boleh parsial, termasuk akar persoalan yang memicu lahirnya sikap ekstrem dan tindak terorisme, misalnya mengenai keadilan sosial,” ujar Robikin.