Satuan Pendidikan Aman Bencana Masih Perlu Diperkuat
Dengan latar geografis wilayah rawan bencana, pemerintah perlu menguatkan sistem layanan pendidikan aman bencana. Penyiapan alokasi anggaran khusus bukan hanya untuk infrastruktur fisik, melainkan juga psikosial.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 1.203 satuan pendidikan berada di wilayah guncangan gempa bumi Sulawesi Barat dengan 192.027 peserta didik serta 16.620 pendidik dan tenaga kependidikan. Hingga 16 Januari 2021 pukul 22.00, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengidentifikasi 35 satuan pendidikan yang mengalami kerusakan.
Belum lagi di daerah lain yang juga mengalami bencana alam, seperti Sumedang di Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Perhatian pemerintah akan dampak dan antisipasi bencana pada satuan pendidikan agar lebih ditingkatkan.
Peneliti ekologi manusia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lengga Pradipta, Minggu (17/1/2021), menyampaikan, sejak gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, disusul peristiwa bencana alam gempa bumi di Sumatera Barat tahun 2009, lalu Yogyakarta, Lombok, dan Palu, banyak pihak mendorong pemerintah punya dana alokasi khusus untuk pendidikan di daerah rawan bencana. Tujuannya agar sejalan dengan penanganan bencana yang dipunya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Jika mau lebih memahami tentang bencana dan penyintas-penyintasnya, aspek psikosial ini perlu dapat porsi perhatian yang besar juga. (Lengga Pradipta)
”Satuan pendidikan yang terdampak bencana alam atau kini ada bencana nonalam, butuh perhatian lebih dari pemerintah,” ujarnya.
Pada 2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 123 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus. Lengga memandang, kelemahan regulasi ini adalah tidak menyebut layanan pendidikan dalam keadaan force majeur, seperti bencana alam dan nonalam. Kelemahan lainnya yaitu hanya menyebut satuan pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
”Indonesia termasuk daerah langganan bencana, mulai dari wilayah barat sampai timur indonesia. Kejadian bencana bisa terjadi setiap tahun. Setiap tahun pula selalu ada peraturan presiden tentang dana alokasi khusus, tetapi isinya selalu mirip yaitu belum menyinggung penanganan layanan pendidikan di daerah rawan bencana,” tuturnya.
Lengga mengapresiasi keberadaan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Permendikbud ini meliputi ruang lingkup penyelenggaraan SPAB saat prabencana, penyelenggaraan layanan pendidikan dalam situasi darurat bencana, dan pemulihan pasca bencana.
Permendikbud No 33/2019 juga mengatur peran kementerian, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Pendanaan program SPAB bersumber dari APBN, APBD, masyarakat, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di tengah kondisi sekarang, implementasi Permendikbud No 33/2019 amat diperlukan. Kebijakan tersebut mesti disinkronkan dengan program sekolah siaga bencana yang dicetuskan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2006.
Baca juga : Sistem Pendidikan Nasional Belum Disiapkan untuk Hadapi Bencana
”Dana alokasi khusus yang harus ditekankan bukan semata-mata untuk infrastruktur fisik, melainkan psikosial. Masih banyak yang menganggap kondisi psikososial tidak butuh pendanaan. Padahal, jika mau lebih memahami tentang bencana dan penyintas-penyintasnya, aspek psikosial ini perlu dapat porsi perhatian yang besar juga,” katanya.
Lengga menambahkan, berdasarkan penelitiannya, kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar dan pernah mengalami peristiwa bencana alam, mereka jadi takut kembali bersekolah.
Dampak banjir
Sementara itu, terkait bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan, Ketua Komunitas Guru Belajar Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Abdul Mujib, saat dihubungi Minggu, menceritakan, hingga sekarang, hampir 60 persen guru tinggal di lokasi terdampak banjir. Rata-rata kini tinggal di pengungsian.
Dirinya masih tinggal di rumah dan sedang berupaya membersihkan perkakas. Harapannya, air banjir segera lekas surut.
Menurut Abdul, banjir berasal dari air kiriman pegunungan Meratus. Rabu (13/1/2021) tengah malam, banjir sudah masuk ke kota. Keesokan harinya, rumah sampai sekolah terdampak.
”Hingga sekarang, fokus pemerintah yaitu penanganan banjir. Upaya melanjutkan belajar-mengajar belum ada karena guru ataupun siswa mungkin masih ada di lokasi pengungsian. Bantuan peralatan belajar belum ada,” ujarnya.
Abdul menceritakan, tahun-tahun sebelumnya, kabupaten tempat tinggal dia mengalami banjir, tetapi tidak sampai separah tahun ini. Kejadian banjir sekarang pun bersamaan dengan pandemi Covid-19.
Di Kalimantan Selatan, dia mengatakan, persebaran Covid-19 masih tergolong tinggi karena masuk zona merah. Anak-anak belajar dari rumah dengan segala keterbatasan, mulai dari sinyal telekomunikasi sampai kepemilikan gawai. Kebanyakan guru pun belum bisa beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) meski sudah masuk semester genap tahun ajaran 2020/2021.
Baca juga : Banjir di Kalsel Belum Surut, Ratusan Gardu Listrik Masih Mati
”Kebanyakan mengoptimalkan Whatsapp Group untuk pelaksanaan belajar-mengajar. Karena keterbatasan sinyal telekomunikasi seluler, sejumlah siswa dan guru membuat perjanjian jadwal belajar di luar rumah dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan," kata Abdul.
Pendataan
Hingga kini, pendataan korban dari peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan masih terus dilakukan. Pos Pendidikan sudah diaktifkan dengan diketuai Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Pos Pendidikan menjadi sentra koordinasi penanganan darurat gempa di bidang pendidikan.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman, Sabtu (16/1/2021) malam, mengatakan, kementerian melalui lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP) dan Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Masyarakat Sulawesi Barat telah turun ke lapangan. Mereka memberikan bantuan darurat kebutuhan pokok bagi para korban, antara lain berupa makanan, tenda darurat, dan peralatan belajar.
Dia menyebutkan ada tiga jenis kerusakan fisik yang dialami satuan pendidikan, yakni ringan, sedang, dan berat. Kerusakan berat berarti bangunan sekolah dan sebagian besar dinding roboh.
Kerusakan dikatakan sedang jika plafon sekolah jebol, atap roboh, serta beberapa dinding roboh dan retak sebagian. Adapun kerusakan dikategorikan ringan apabila plafon sekolah jebol, dinding retak, dan pagar roboh.
Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan ringan, di antaranya, SD Negeri Inpres Tajimane, SD Negeri 2 Tapalang, SD Negeri Serang, dan SD Negeri Taan Galung, dan SMP Negeri 3 Mamuju. Satuan pendidikan yang mengalami kerusakan kategori sedang, antara lain, SD Negeri Inpres Kasambang, SMP Negeri 2 Tapalang, dan SMA Negeri 2 Tapalang. Adapun satuan pendidikan dalam kondisi rusak berat, di antaranya, SMK Negeri 1 Rangas, SMP Negeri 2 Mamuju, TK Pembina Terpadu, TK Alquba Kasiwa, TK Aisyah Axuri, dan TK Anggrek Pampioang.
Di Kabupaten Majene satuan pendidikan yang mengalami rusak berat, antara lain TK Pertiwi Malunda, SD Negeri 18 Inpres Banua, SD Negeri 004 Mekatta, SMK Swasta Bunga Bangsa, dan SMK Negeri 6 Majene.
Baca juga: Tim SAR Gabungan Sisiri Reruntuhan Bangunan untuk Menemukan Korban
Satuan pendidikan dengan kerusakan kategori sedang, misalnya, SD Negeri 009 Sasende dan SD Negeri 12 Inpres Pettabeang. Contoh sekolah mengalami rusak ringan, yaitu SD Negeri 16 Tanisi, SMP Negeri 1 Malunda, dan SMA Negeri 1 Malunda.
Adapun di Kabupaten Mamasa, sekolah yang dalam kondisi rusak ringan yaitu SD Negeri 008 Pangandaran, SD Negeri 10 Baruru, dan SMP Negeri 4 Aralle.
Sebelum gempa bumi, pembelajaran di Sulawesi Barat masih menggunakan PJJ. Saat ini, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan banyak yang keluar daerah mengungsi.
Di tengah kondisi darurat seperti sekarang, pembelajaran terganggu dan belum berjalan. Fokus penanganan bencana kini dioptimalkan, yakni pencarian korban, pertolongan, dan pemenuhan layanan dasar untuk tempat tinggal sementara.