Anomali Laporan Dana Kampanye yang Tak Berujung
Transparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye calon dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah dianggap masih rendah. Kelemahan regulasi jadi penyebab.
Transparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye calon kepala/wakil kepala daerah dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah dianggap masih rendah. Padahal, kedua hal itu menjadi langkah awal pembuktian calon untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik ketika kelak berhasil terpilih. Kelemahan regulasi dinilai menjadi penyebab persoalan tersebut terus terulang.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemilihan Umum merilis hasil audit kepatuhan laporan dana kampanye para pasangan calon kepala/wakil kepala daerah di Pilkada 2020 yang dilakukan oleh kantor akuntan publik. Hasilnya, dari total 739 pasangan calon, hanya 466 pasangan (63,1 persen) yang dinyatakan patuh. Sisanya, 273 pasangan calon (36,9 persen), tidak patuh.
”Alasan ketidakpatuhan di antaranya tidak ditempatkannya sumbangan berupa uang tunai dalam rekening khusus dana kampanye, tak lengkapnya bukti transaksi pengeluaran, dan data transaksi penerimaan sumbangan yang kurang lengkap,” kata anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik.
Kejanggalan dalam pelaporan dana kampanye calon sebenarnya tak hanya terlihat dari hasil audit kantor akuntan publik tersebut. Sejumlah pihak menilai, rendahnya pengeluaran dana kampanye yang dilaporkan banyak calon juga menunjukkan kejanggalan. Apalagi sudah jadi pengetahuan umum, untuk bisa berkontestasi dalam pilkada, dibutuhkan biaya yang tak sedikit.
Baca juga: Hasil Audit Dana Kampanye Pilkada 2020: 273 Paslon Tidak Patuh
Hasil olah data Litbang Kompas terhadap Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pilkada 2020 menunjukkan kecenderungan pasangan calon melaporkan pengeluaran dana kampanye yang rendah. Jika dirata-rata, tiap pasangan calon melaporkan pengeluaran kampanye Rp 1,4 miliar.
Pengeluaran dana kampanye terbesar dari peraih suara terbanyak di Pilkada 2020 dilaporkan oleh pasangan calon Sugianto Sabran-Edy Pratowo yang berkontestasi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalimantan Tengah. Calon petahana itu melaporkan dana kampanye yang dikeluarkan mencapai Rp 19,3 miliar.
Adapun pada tingkat pemilihan bupati/wali kota, LPPDK tertinggi dari pasangan calon peraih suara terbanyak berasal dari menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Afif Nasution, yang berpasangan dengan Aulia Rachman. Pasangan yang bertarung di Pilkada Kota Medan, Sumatera Utara, itu melaporkan pengeluaran dana kampanye sebesar Rp 15,4 miliar.
Sebaliknya, ada pula yang bisa memenangi pilkada hanya dengan biaya puluhan juta rupiah. Pasangan calon Joko Sutopo-Setyo Sukarno yang berkontestasi di Pilkada Wonogiri, Jawa Tengah, misalnya. Pasangan ini tercatat sebagai peraih suara terbanyak di Pilkada Wonogiri dengan biaya kampanye yang paling rendah di antara calon-calon lain di Pilkada 2020. Totalnya hanya Rp 32 juta.
Untuk diketahui, nominal ini setara dengan penghasilan pekerja di Wonogiri selama 1,5 tahun sesuai upah minimum kabupaten Rp 1.827.000 per bulan.
Padahal, hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, untuk bisa memenangi kursi bupati/wali kota, biaya yang harus dirogoh bisa Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Adapun untuk pilgub Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Survei KPK
Sebelum pilkada serentak 2020, atau bisa dibilang di setiap gelaran pilkada, persoalan transparansi dan akuntabilitas laporan dana kampanye selalu menjadi sorotan.
Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018, misalnya, menunjukkan, jumlah pasangan calon yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye betul-betul sama dengan kondisi sebenarnya kurang dari 50 persen.
Khusus Pilkada 2017 dan 2018, KPK menemukan sumbangan pendukung yang tak dimasukkan di laporan dana kampanye. Sumbangan dimaksud sumbangan natura, antara lain pentas musik dan pembagian uang untuk calon pemilih.
Laporan dana kampanye yang tidak transparan di setiap gelaran pilkada tersebut justru merugikan pemilih dan pasangan calon. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Muhammad Ichsan Kabullah, mengatakan, jika semua pasangan calon transparan dan akuntabel dalam melaporkan dana kampanye, publik ataupun pasangan calon dan partai politik bisa mendapatkan gambaran riil dana kampanye yang diperlukan untuk mengikuti kontestasi.
Jika tidak ada gambaran riil mengenai dana kampanye dalam pilkada, pasangan calon cenderung akan mengeluarkan dana yang maksimal untuk menang. Hal ini akhirnya melanggengkan persepsi bahwa biaya politik untuk pilkada mahal.
”Selama ini ada kecenderungan dari pasangan calon bahwa semakin besar biaya dikeluarkan, peluang menang semakin terbuka. Persepsi tersebut seharusnya bisa hilang ketika pembiayaan kandidat bisa diukur dengan rinci,” ucap Ichsan.
Persepsi tentang biaya politik yang mahal itu akhirnya membuat sebagian pasangan calon yang ikut pilkada adalah mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat. Hasil olah data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para pasangan calon di Pilkada 2020 oleh KPK menunjukkan, kandidat berlatar belakang pengusaha dan swasta mendominasi.
Dari 1.476 calon kepala daerah, sebanyak 45 persen (665 orang) berlatar belakang pengusaha dan swasta. Disusul calon kepala daerah berlatar belakang birokrat 37 persen (555 orang) dan anggota legislatif 18 persen (256 orang). Bahkan calon kepala daerah berlatar belakang pengusaha dan swasta selalu berada di urutan terbanyak sejak Pilkada 2015 (44 persen), Pilkada 2017 (49 persen), Pilkada 2018 (45 persen), dan berlanjut pada Pilkada 2020.
Sekalipun memiliki harta kekayaan yang fantastis, calon tetap mengandalkan bantuan pendanaan dari donatur. Riset KPK pada Pilkada 2017 dan 2018 menunjukkan, sebagian besar pasangan calon dibiayai oleh donatur.
Pada Pilkada 2017, sebanyak 82,6 persen kandidat dibiayai donatur. Adapun pada Pilkada 2018, ada 70,3 persen kandidat yang mengandalkan donatur. Pembiayaan dari donatur itu tidak hanya terbatas pada masa kampanye. Artinya, ada sumbangan yang tidak tercatat dalam laporan dana kampanye karena tidak digunakan pada tahapan tersebut.
Kelemahan regulasi
Menurut pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, transparansi dana kampanye dinilai masih kurang kuat. Aturan yang ada belum mampu menjamin kebenaran dana kampanye yang dilaporkan pasangan calon karena dalam praktiknya biaya yang dikeluarkan sering kali lebih besar daripada yang dilaporkan.
Dalam risetnya pada Pilkada Kabupaten dan Kota Madiun 2018, pengeluaran calon selama pilkada sebesar 10 hingga 15 kali lipat dari dana kampanye yang dilaporkan ke KPU.
Senada dengan Mada, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, survei KPK pada sejumlah pilkada menunjukkan ada sumbangan dari pendukung yang tak dimasukkan di laporan dana kampanye. ”Penyumbang hanya menginformasikan kepada pasangan calon nilai sumbangan yang diberikan, tetapi tidak masuk laporan dana kampanye sehingga ketika disurvei pengeluaran disebut lebih tinggi dibandingkan laporan,” katanya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, harus ada perluasan daya jangkau pelaporan dana kampanye. Sebab, pengaturan pelaporan dana kampanye saat ini belum mencakup seluruh dana yang digunakan untuk kepentingan pemenangan pilkada. Pengaturan saat ini dinilainya sebatas pada dana yang keluar saat masa kampanye.
Padahal, secara faktual, banyak dana lain yang dibelanjakan pasangan calon, antara lain dana operasional saat masa tenang, dana saksi saat pemungutan dan rekapitulasi suara, serta dana pengawalan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi. ”Dana-dana ilegal yang selama ini menjadi momok politik biaya tinggi justru tidak bisa diakses akuntabilitasnya,” ujarnya.
Menyikapi persoalan transparansi dan akuntabilitas dana kampanye yang terus berulang tersebut, Komisi II DPR memandang, aturan lebih rinci dan tegas memang dibutuhkan.
”Nanti ketika RUU Pemilu sudah dijadikan inisiatif DPR dan ada daftar isian masalah dari Presiden, baru kami akan membuka diskusi mengenai hal itu, dan akan ketahuan di mana masalah yang perlu dibahas lagi,” ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Baca juga: Mengawal Dana Kampanye Calon
Dari segi regulasi, aturan soal dana kampanye sudah saatnya diperkuat agar memunculkan kepala/wakil kepala daerah yang mampu memegang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Pasalnya, jika sejak awal sudah tidak transparan, bagaimana nasib daerah selama lima tahun mendatang?