Diperlukan Pendekatan Lintas Batas dalam Menghadapi Lonjakan Kasus
›
Diperlukan Pendekatan Lintas...
Iklan
Diperlukan Pendekatan Lintas Batas dalam Menghadapi Lonjakan Kasus
Pendekatan lintas batas dalam penguatan kapasitas pelayanan kesehatan diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan kasus yang diperkirakan masih terjadi hingga awal Februari 2021.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan kasus positif Covid-19 terus dilaporkan di Indonesia. Hal itu menyebabkan kebutuhan tempat tidur untuk perawatan semakin tinggi. Pendekatan lintas batas dalam penguatan kapasitas pelayanan kesehatan diperlukan untuk mengantisipasi puncak lonjakan kasus yang diperkirakan masih terjadi hingga awal Februari 2021.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, puncak lonjakan kasus Covid-19 diperkirakan akan terjadi pada pekan ketiga Januari-pekan pertama Februari 2021. Karena itu, kesiapan untuk menghadapi lonjakan kasus aktif akibat libur Natal dan Tahun Baru tersebut perlu dipastikan dengan baik, terutama dalam penyiapan kapasitas tempat tidur isolasi dan ICU.
Saat ini, jumlah rumah sakit rujukan Covid-19 yang tersedia sebanyak 951 rumah sakit dengan 50.942 tempat tidur isolasi dan ICU. Dari tempat tidur yang tersedia, sejumlah daerah sudah menunjukkan tingkat keterisian (BOR) yang cukup tinggi. Setidaknya ada 11 provinsi dengan angka BOR lebih dari ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 60 persen, antara lain DKI Jakarta (83 persen), Banten (79 persen), DI Yogyakarta (78 persen), Jawa Barat (73 persen), dan Jawa Timur (69 persen).
”Kementerian Kesehatan sudah menyiapkan empat strategi dalam penanganan lonjakan kasus Covid-19 di rumah sakit. Pertama, peningkatan kapasitas perawatan pasien Covid-19, relaksasi kebijakan registrasi dan perizinan tenaga kesehatan, penguatan sistem rujukan terintegrasi, dan penguatan mutu pelayanan rumah sakit,” ujar Dante dalam seminar virtual dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit yang diikuti di Jakarta, Senin (18/1/2021).
Untuk peningkatan kapasitas perawatan pasien, Kementerian Kesehatan telah membagi keperluan penambahan tempat tidur dalam tiga zona. Pada wilayah yang masuk dalam zona merah dengan tingkat BOR lebih dari 80 persen perlu mengonversi tempat tidur minimal 40 persen dari tempat tidur rawat inap untuk pasien Covid-19. Selain itu, tempat tidur ICU juga perlu dikonversi minimal 25 persen untuk pasien Covid-19.
Pada zona kuning dengan BOR Covid-19 antara 60-80 persen, rumah sakit diminta mengonversi 30 persen tempat tidur rawat inap isolasi dan 15 persen tempat tidur ICU untuk pasien Covid-19. Sementara pada zona hijau dengan BOR Covid-19 di bawah 60 persen, tempat tidur yang dikonversi untuk pasien Covid-19 minimal sebanyak 20 persen untuk tempat tidur isolasi dan 10 persen untuk tempat tidur ICU.
Selain peningkatan kapasitas tempat tidur, Dante mengatakan, relaksasi kebijakan registrasi dan perizinan tenaga kesehatan juga telah dilakukan. Itu antara lain dengan merelaksasi pemberian surat tanda registrasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat untuk bisa bertugas di fasilitas kesehatan.
”Kita tidak bisa mengharapkan situasi yang ideal di masa pandemi. Semuanya harus dilakukan dalam konteks skenario darurat. Yang jelas, pelatihan tetap diberikan. Kita juga melakukan model tandem, misalnya dokter umum yang bertugas di bawah pengawasan dokter spesialis paru sehingga pelayanan tetap bisa optimal,” kata Dante.
Laporan harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 18 Januari 2021 menunjukkan penambahan kasus baru Covid-19 sebanyak 9.086 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 dengan 295 kematian. Adapun total kasus Covid-19 di Tanah Air menjadi 917.015 kasus dengan 26.282 kasus kematian. Sementara itu, jumlah kasus aktif yang masih dirawat dan diisolasi sebanyak 144.798 orang.
Sistem rujukan ini menjadi krusial agar jangan sampai ada lagi pasien meninggal di perjalanan setelah datang ke 10 rumah sakit. (Lia G Partakusuma)
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menyatakan, penambahan tempat tidur untuk perawatan isolasi dan ICU pasien Covid-19 perlu segera dilakukan terutama pada wilayah dengan tingkat keterisian tempat tidur yang sudah tinggi. Dampak libur panjang biasanya akan mengakibatkan terjadinya penambahan kasus sebanyak 30-40 persen.
”Di situasi saat ini kita bisa asumsikan kebutuhan tempat tidur untuk pasien Covid-19 lebih dari 40.000 tempat tidur. Itu dihitung dari perkiraan kebutuhan tempat tidur sebanyak 30 persen dari jumlah kasus aktif yang saat ini sebanyak 143.000 kasus. Sebesar 25 persen untuk perawatan isolasi dan 5 persen untuk perawatan ICU. Kebutuhan tersebut bisa lebih tinggi jika lonjakan kasus terus terjadi,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan, sistem rujukan antar-rumah sakit juga perlu diperbaiki. Sekalipun di satu rumah sakit sudah tidak mampu menampung pasien baru, rujukan harus jelas diberikan sehingga pasien bisa segera mendapatkan penanganan. Ini diperlukan untuk menekan angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia.
”Tugas IGD sekarang sangat berat terutama dalam memberikan penjelasan yang baik bagi pasien mengenai tempat isolasi. Sistem rujukan ini menjadi krusial agar jangan sampai ada lagi pasien meninggal di perjalanan setelah datang ke 10 rumah sakit,” katanya.
Lintas batas
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro menyampaikan, laporan harian yang disampaikan oleh pemerintah terkait dengan kasus Covid-19 biasanya dibagi dalam tingkat provinsi. Hal ini menyebabkan penanganan yang dilakukan juga terbatas, bahkan cenderung seperti kejuaraan antarprovinsi.
”Sementara virus ini tidak mengenal batas wilayah. Penanganan pandemi membutuhkan konsep surveilans yang terkait respons penyebaran kasus. Data yang disampaikan pun belum ada yang berdasarkan data satuan epidemiologis,” tuturnya.
Menurut Laksono, data yang sebaiknya digunakan dalam penanganan Covid-19 diperluas sesuai dengan data epidemiologi. Itu seperti menggunakan data untuk kawasan Jakarta Raya dengan termasuk di dalamnya sebagian Jawa Barat dan Banten, Surabaya Raya, ataupun Semarang Raya. Data ini pula yang kemudian menjadi dasar dalam pengambilan keputusan.
Ia menambahkan, pendekatan lintas batas tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi kedaruratan kesehatan masyarakat di masa pandemi terutama untuk mengantisipasi lonjakan pasien di rumah sakit. Kerja sama yang solid antarpemeritah daerah serta para ahli di berbagai bidang, seperti epidemiologi, manajemen, dan komunikasi massa perlu diperkuat.
Setidaknya ada empat aspek yang harus ditanganai bersama di lintas kabupaten/kota, yaitu kebijakan, layanan publik, manajemen rumah sakit, serta sistem informasi dan komunikasi. Integrasi antarwilayah juga dibutuhkan dalam layanan medis di rumah sakit. Rujukan pasien pun seharusnya bisa dilakukan di luar wilayah jika kapasitas yang tersedia sudah terbatas.
Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Putu Andayani, mengatakan, kondisi penularan kasus di Indonesia saat ini sudah masuk dalam keadaan berat. Karena itu, skenario penanganan yang diambil perlu menggunakan skenario pesimistis.
Skenario ini dinilai paling relevan karena transmisi lokal dari virus sangat tinggi. Lonjakan pasien juga terjadi, baik pada kasus suspek maupun positif. Selain itu, jumlah pasien yang harus dirawat melebihi kapasitas fasilitas kesehatan yang tersedia.
”Persiapan juga harus lebih detail dengan menggunakan metode 4S (sistem, struktur, staf, dan stuff/pengadaan barang). Artinya, perlu disiapkan mulai dari manajerial organisasi, kebijakan, dan sistem pembiayaan di rumah sakit; penyiapan kapasitas perawatan termasuk RS darurat dan rumah isolasi; alat medis dan logistik; serta tim medis yang bertugas,” kata Putu.