Kemungkinan adanya gempa susulan di segmen yang sama kecil. Ini termasuk berlaku di Sulawesi Barat. Selain evakuasi korban, perlu dipikirkan dan dijalankan mitigasi secara serius di daerah ini.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem kegempaan di Selat Makassar sangat aktif dan memiliki jejak tsunami yang waktu tibanya ke daratan bisa sangat cepat. Namun, masih diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui ancaman dan kaitan antara sesar Majene, Sulawesi Barat, yang memicu gempa M 6,2 pada Jumat (15/1/2021) lalu dan sistem kegempaan di Selat Makassar.
”Kemungkinan adanya gempa susulan di segmen yang sama kecil. Tapi, kalau memicu segmen lain di dekatnya memang bisa. Masyarakat di Majene perlu waspada, tetapi tidak harus panik, apalagi meninggalkan Majene,” kata ahli gempa bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawijaya, Minggu (17/1).
Menurut Danny, secara ilmiah diketahui bahwa gempa susulan tidak pernah lebih besar dari gempa utama, maksimal satu skala di bawah gempa utama. Jadi, kalau gempa utama M 6.2, gempa susulan paling besar M 5.2. ”Kalau gempa kemarin saja tidak menimbulkan tsunami, apalagi yang lebih kecil,” katanya.
Meski demikian, risiko gempa bisa terjadi jika guncangan kemarin memicu gempa di segmen sebelahnya. ”Di zona kegempaan Selat Makassar ini ada tiga segmen besar. Segmen yang kemaren lepas berada di paling selatan. Kalau tiga segmen ini lepas bersamaan, memang potensinya bisa di atas M 7, dan kalau terjadi di lepas pantai, ada potensi tsunami,” katanya.
Danny menambahkan, saat ini belum ada data memadai untuk menyimpulkan apakah gempa Majene kali ini bersumber di sesar utamanya atau cabangnya. ”Menurut saya, jika ada yang berpendapat apakah gempa sekarang merupakan pendahuluan dari gempa utama yang belum datang, seperti kasus gempa Lombok, itu hanya perkiraan,” ujarnya.
Dengan data yang ada, menurut Danny, saat ini kewaspadaan di Majene dan Mamuju terutama diperlukan bagi mereka yang tinggal di bangunan yang sudah rusak akibat gempa sebelumnya. Selain itu, risiko longsor juga bisa terjadi di daerah perbukitan.
”Tidak tepat jika ada yang mengajak evakuasi karena kehkawatiran gempa lebih besar dan tsunami. Wilayah lain juga rentan gempa. Yang penting sekarang perkuat mitigasi bangunan dan perbaiki tata ruang pesisir,” ucapnya.
Potensi tsunami
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) Gegar Prasetya mengatakan, pesisir Majene memang pernah dilanda tsunami, misalnya yang terjadi pada tahun 1969. ”Secara historis, gempa yang pernah menimbulkan tsunami di wilayah ini magnitudonya hanya berkisar M 6-6,6, yang berarti saat itu ada kemungkinan penyebab lain, seperti longsoran bawah laut,” ujarnya.
Jangan setelah bencana kita baru panik lagi. Hampir semua pesisir Indonesia rentan gempa dan tsunami, ini yang harus terus dipetakan secara lebih rinci dan dimitigasi risikonya.
Gegar mengatakan, sekalipun pernah dilanda tsunami, kemungkinannya bukan tsunami besar walaupun waktu tibanya bisa cepat, seperti terjadi di Palu pada 2018 lalu. ”Kalau tsunaminya dipicu longsoran, tinggi maksimalnya sekitar 2 meter dan gelombangnya sangat pendek. Dampaknya tidak terlalu besar sehingga kemungkinan tidak akan sebesar Palu,” katanya.
Ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, juga mengingatkan, saat ini masih diperlukan studi lebih lanjut untuk memahami ancaman gempa dan tsunami di kawasan ini. Namun, yang paling penting dari kejadian ini adalah pentingnya meningkatkan mitigasi bencana.
”Terutama menerapkan standar bangunan gempa dan memperbaiki tata kelola kawasan pesisir. Jangan setelah bencana kita baru panik lagi. Hampir semua pesisir Indonesia rentan gempa dan tsunami, ini yang harus terus dipetakan secara lebih rinci dan dimitigasi risikonya. Pengurangan risiko bencana harus jadi dasar pembangunan,” ujarnya.
73 korban jiwa
Sementara itu, berdasarkan data Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal dunia akibat gempa M 6,2 ini menjadi 73 orang, dengan rincian 64 orang meninggal dunia di Kabupaten Mamuju dan sembilan 9 orang di Kabupaten Majane.
Selain itu, terdapat 554 korban luka di Kabupaten Majene dengan rincian 64 orang luka berat, 215 orang luka sedang, dan 275 orang luka ringan. Terdapat 27.850 orang mengungsi di 25 titik pengungsian yang tersebar di Desa Kota Tinggi, Desa Lombong, Desa Kayu Angin, Desa Petabean, Desa Deking, Desa Mekata, Desa Kabiraan, Desa Lakkading, Desa Lembang, serta Desa Limbua.
Adapun di Kabupaten Mamuju terdapat 189 orang mengalami luka berat atau rawat inap dan terdapat lima titik pengungsian di Kecamatan Mamuju dan Kecamatan Simboro.