Menjegal Aral Distribusi Vaksin Covid-19
Tahapan vaksinasi Covid-19 dihadapkan pada tantangan distribusi saat menyentuh lapisan masyarakat luas. Pemerintah mesti memastikan berbagai produk vaksin sampai kepada kalangan penerima yang tepat.
Kemunculan vaksin membawa Indonesia pada babak baru penanganan pandemi Covid-19. Vaksinasi menjadi salah satu jalan untuk memutus rantai penyebaran wabah itu. Namun, bukan berarti tiada aral melintang yang bisa menghadang kelangsungan vaksinasi ke depan.
Vaksinasi Covid-19 nyatanya tidak sesimpel program suntik imunaniasi penyakit lainnya. Hal ini menyangkut rangkaian panjang mulai dari pengadaan, distribusi, target populasi, pendataan, penyuntikan vaksin, hingga pemantauan peserta setelah divaksinasi. Tahapan yang panjang itu punya potensi bersengkarut apabila tidak diatur dengan baik.
Ines Atmosukarto, peneliti biologi molekuler dan CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin berbasis di Australia, memandang Indonesia punya tantangan dalam menjalankan rangkaian distribusi vaksin. Setelah program vaksinasi untuk tenaga kesehatan berlangsung di banyak wilayah pada Kamis (14/1/2021), Indonesia masih harus berhadapan dengan tantangan distribusi vaksin ke lapisan masyarakat yang lebih luas.
Menurut rencana, pada periode Januari-April 2021, vaksin akan diberikan kepada 1,48 juta petugas kesehatan, 17,4 juta petugas publik, dan 21,5 juta warga lansia. Pada periode selanjutnya, April 2021-Maret 2022, vaksin akan diberikan kepada 63,9 juta penduduk yang rentan di daerah risiko penularan tinggi dan 77,2 juta orang lain berdasarkan pendekatan kluster penularan (Kompas, 13/1/2021). Dengan total populasi itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut kebutuhan vaksin Covid-19 di Indonesia sekitar 426 juta dosis untuk 181 juta penduduk.
"Tantangan distribusi (vaksin) ini tidak mudah, terutama saat vaksinasi dilakukan ke lapisan masyarakat yang sangat luas. Sementara, situasi pandemi mensyaratkan vaksinasi berlangsung dengan minim antrean dan kerumunan. Berarti, butuh manajemen vaksinasi yang sangat teratur untuk populasi sebanyak itu," ujar Ines di Canberra, Australia, saat dihubungi secara virtual pada Sabtu (9/1/2021).
Baca juga: Atasi Kendala Distribusi Vaksin
Tantangan distribusi berkaitan dengan proses pengangkutan dalam jumlah banyak ke berbagai daerah. Pengangkutan itu butuh sistem rantai dingin (cold chain) vaksin yang harus terjaga di bawah suhu ruangan. Vaksin Sinovac yang kini diberikan untuk tenaga kesehatan, misalnya, harus terjaga pada rentang suhu 2-8 derajat celsius. Artinya, suhu lebih tinggi dari itu berisiko merusak vaksin, apalagi saat vaksin diangkut menuju daerah terpencil dengan fasilitas minim.
Distribusi juga akan lebih kompleks karena Indonesia memakai enam produk vaksin dengan rentang suhu dan dosis penggunaan yang berbeda-beda. Seperti diketahui, selain Sinovac, pemerintah melakukan perjanjian pengadaan vaksin Novavax (Kanada), AstraZeneca (Inggris), Moderna (AS), Pfizer-BioNTech (AS-Jerman), serta pengadaan vaksin lewat kemitraan global Dewan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI).
Ines menerangkan, setiap vaksin itu harus terjaga dalam rentang suhu yang berbeda-beda. Kondisi tersebut mensyaratkan tempat penyimpanan khusus, terutama karena sebagian produk mesti disimpan di bawah suhu nol derajat celsius.
"Pfizer itu harus terjaga suhunya pada minus 70 derajat celsius, sedangkan Moderna harus terjaga suhunya di sekitar minus 20 derajat celcius. Rentang suhu untuk vaksin tersebut bahkan sangat jauh dari suhu normal ruangan. Itu artinya harus ada logistik yang sangat teliti hingga di tempat pelaksanaan vaksinasi," jelasnya.
Baca juga: Membedah Beragam Kandidat Vaksin Covid-19
Setiap produk vaksin juga memiliki dosis berbeda-beda. Sinovac, Pfizer, dan Moderna, misalnya, punya jeda waktu yang berbeda-beda saat penyuntikan dosis vaksin kedua. Sinovac membutuhkan jeda waktu 14 hari untuk penyuntikan kedua. Pfizer butuh jeda waktu 21 hari, sedangkan Moderna butuh jeda paling lama dengan 28 hari.
Beda karakteristik vaksin itu turut memengaruhi program vaksinasi. Dengan bermacam perbedaan pemakaian dan syarat suhu penyimpanan, distribusi vaksin kepada lapisan masyarakat tertentu harus dipikirkan secara matang.
Tantangan distribusi vaksin ini tidak mudah, terutama saat vaksinasi dilakukan ke lapisan masyarakat yang sangat luas. Sementara, situasi pandemi mensyaratkan vaksinasi berlangsung dengan minim antrean dan kerumunan
Vaksin Pfizer yang butuh rantai dingin pada suhu -70 derajat celsius, misalnya, mungkin hanya dapat dipakai terbatas di pusat kota. Sebab, rantai dingin produk vaksin ini pasti akan sulit terjaga hingga ke puskesmas daerah atau lokasi terpencil.
"Produk vaksin Pfizer tidak mungkin disimpan di lemari pendingin biasa karena pasti akan mubazir. Produk Sinovac kalau disimpan di freezer juga rusak. Jadi, semua harus sesuai dengan temperatur penyimpanannya," ungkap Ines.
Minimnya sistem rantai dingin itu kerap terjadi pada sebagian kecil fasilitas kesehatan, baik di wilayah terpencil maupun pusat kota. Pemberitaan Kompas pada Juli 2016 di Papua dan Banten menyebutkan penyimpanan vaksin tidak memadai, salah satunya karena minimnya fasilitas sistem rantai dingin.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Sinovac Siap Digunakan
Lektor Teknik Transportasi Laut Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Tri Achmadi, menjelaskan, kontainer berpendingin yang mampu mengatur suhu dari 30 sampai minus 45 derajat celsius (reefer container) atau sampai minus 65 derajat celsius (ultra freezer reefer container) dapat dimanfaatkan dalam distribusi vaksin. Kontainer ini bisa memuat sejumlah produk, seperti Moderna dan Sinovac.
Kontainer berpendingin tersebut dapat diangkut menggunakan empat jenis kapal. Pertama, kontainer berpendingin diangkut langsung menggunakan kapal kontainer biasa. Kedua, kontainer berpendingin diangkut truk yang kemudian diseberangkan menggunakan kapal ro-ro.
"Ketiga, kontainer berpendingin diangkut menggunakan kapal penumpang 3 in 1 yang juga dapat membawa kontainer. Keempat, self propelled barge (tongkang bertenaga pendorong mandiri) dapat dipakai untuk mengangkut kontainer berpendingin hingga ke wilayah pedalaman," ungkap Tri dalam sesi diskusi webinar bersama Kementerian Perhubungan, Desember 2020 silam.
Baca juga: Distribusi Vaksin Covid-19 Butuh Penguatan Logistik Rantai Dingin
Pendataan
Ines menambahkan, kelengkapan pendataan amat penting saat vaksinasi berlangsung untuk masyarakat luas. Pemerintah harus memetakan kelompok peserta mana yang mendapat vaksin tertentu, sesuai dengan segmen usia dan tingkat kemanjuran produk vaksin.
Kalangan usia 18-59 tahun, misalnya, dapat diberi produk Sinovac sesuai efektivitas pada laporan uji klinis. Begitu pula produk Moderna yang dapat diarahkan untuk peserta kalangan usia 18 tahun ke atas.
Pemerintah saat ini juga mengupayakan adanya sistem satu data vaksinasi Covid-19. Sistem ini diharapkan mengintegrasikan semua data vaksinasi secara digital, mulai dari sistem filtering prioritas penerima vaksin, sistem registrasi via Whatsapp, vaksinasi, hingga pemberian sertifikat digital vaksinasi.
Kontainer berpendingin yang mampu mengatur suhu dari 30 sampai minus 45 derajat celsius atau sampai minus 65 derajat celsius dapat dimanfaatkan dalam distribusi vaksin. Kontainer ini bisa memuat sejumlah produk, seperti Moderna dan Sinovac
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menilai, kelengkapan data tersebut penting untuk pemantauan peserta yang telah divaksinasi. Hal ini mungkin juga diperlukan untuk pemantauan setelah vaksinasi.
Baca juga: Resistansi Vaksinasi dan Pasokan Vaksin
Kecukupan vaksin
Amin berpendapat, pemerintah harus memastikan kecukupan vaksin sesuai dengan rentang jadwal vaksinasi yang telah dibuat. Saat ini, pemerintah baru mengandalkan 3 juta dosis untuk nakes, serta 15 juta dosis vaksin Sinovac yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Berarti, baru ada 18 juta dosis vaksin Sinovac yang didatangkan ke Indonesia.
Jumlah itu masih relatif sedikit apabila dibandingkan dengan kebutuhan 426 juta dosis vaksin, bahkan masih kurang dari satu persen total kebutuhan. Amin mengingatkan agar komitmen pengadaan vaksin bersama negara-negara lain dapat disegerakan.
"Komitmen pengadaan vaksin itu sangat diperlukan untuk memastikan kecukupan vaksin. Hal yang saya khawatirkan, jadwal vaksinasi jadi mundur karena terhambat jumlah stok vaksin yang belum ada di tangan pemerintah," ujarnya.
Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebutkan, Indonesia telah memesan 125 juta dosis vaksin Sinovac, 100 juta dosis vaksin dari AstraZeneca dan Novavax, Pfizer-BioNTech, serta 54-108 juta dosis melalui skema kemitraan global Dewan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi. Kedatangan berbagai produk vaksin itu dipastikan sesuai dengan jadwal vaksinasi selama Januari 2021 hingga Maret 2022.
Baca juga: Imunitas Setelah Vaksinasi Tidak Instan
Amin menilai tenggat vaksinasi selama 15 bulan itu cukup ambisius, terutama dengan beberapa produk vaksin yang sekarang belum ada di tangan. Untuk memastikan vaksinasi berjalan sesuai jadwal, produk vaksin harus sudah ada dalam jumlah yang cukup.
Ketepatan distribusi penting untuk mencapai target kekebalan komunitas (herd immunity) setelah vaksinasi. Kekebalan komunitas baru bisa tercapai jika setidaknya 70 persen populasi, atau sekitar 181 juta penduduk di Indonesia mendapat vaksin. Dengan target populasi sebesar itu, berbagai tantangan distribusi untuk vaksin harus segera diantisipasi.