Para pemain di Liga Inggris, terutama pemain Leicester City, rela tidak merayakan gol secara berlebihan demi mematuhi protokol kesehatan. Mereka berusaha menjadi contoh yang baik sekaligus mempertahankan kompetisi.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
LEICESTER, MINGGU — Leicester City ikut memanaskan persaingan di papan atas klasemen Liga Inggris seusai mengalahkan Southampton, 2-0, Minggu (17/1/2021) pagi WIB. Melalui kemenangan itu, mereka turut menyampaikan pesan penting agar publik kembali meningkatkan kewaspadaan di tengah pandemi sehingga kompetisi bisa terus bergulir, yaitu dengan mengubah cara merayakan gol.
Pesan itu muncul untuk merespons kecemburuan publik kepada para pemain sepak bola di Inggris. Pandemi memaksa warga dunia untuk tidak lagi leluasa berdekatan satu sama lain. Ketika masyarakat awam diminta menjaga jarak, pemain sepak bola ternyata masih bebas berpelukan saat merayakan gol.
Publik memahami klub Liga Inggris menjalani aturan ketat untuk memutus penularan Covid-19 di kalangan pemain dan staf klub. Namun, tidak berarti upaya itu manjur. Pekan lalu, Liga Primer mencatat rekor temuan kasus positif Covid-19 sebanyak 36 kasus. Inggris juga menjadi negara dengan kematian akibat Covid-19 tertinggi di Eropa, yakni lebih dari 88.000 jiwa.
Direktur Utama Liga Primer Richard Masters kemudian meminta pemain untuk tidak berjabat tangan, apalagi berpelukan ketika merayakan gol. ”Kami meminta mereka untuk beradaptasi dan memahami mengapa kita semua perlu untuk mematuhi aturan ini. Mereka harus menjadi contoh yang baik,” katanya.
Permintaan itu sempat menjadi polemik di kalangan manajer klub karena tidak mudah bagi pemain untuk menahan kegembiraan seusai mencetak gol. Manajer Manchester City Pep Guardiola juga meminta untuk tidak terburu-buru mengambinghitamkan pemain. ”Situasi di Inggris ini bukan disebabkan para pemain, jangan menyalahkan mereka,” ujarnya.
Ketika pemain ingin merayakan gol dengan aman dan jenaka, itulah yang terpenting dilakukan pada masa sulit ini.
Akan tetapi, para pemain Leicester membuktikan, mereka bisa memenuhi permintaan Masters itu dengan baik. Gelandang Leicester, James Maddison, membuat gerakan khusus seusai mencetak gol pertama tim ke gawang Southampton pada menit ke-37. Ia membuat isyarat tangan agar rekan-rekannya tidak mendekat, juga berpura-pura sedang berjabat tangan.
”Jika hal-hal seperti yang saya lakukan ini bisa membuat sepak bola tetap bergulir. Maka, lakukan saja. Saya rasa tidak ada satu orang pun di sini yang ingin sepak bola kembali dihentikan,” kata Maddison. Ia membuat logika sederhana, jika pemain ikut membantu memutus penyebaran Covid-19, mereka otomatis ikut menjaga keberlangsungan kompetisi. Tetap bermain adalah hal yang paling dibutuhkan pemain saat ini.
Apalagi Leicester sempat merebut peringkat kedua klasemen dengan 35 poin setelah laga tersebut. Mereka tidak ingin kompetisi dihentikan kembali ketika mereka tengah berada di jalur kemenangan dan berpotensi mengulang kembali kisah epik ketika mereka menjuarai Liga Inggris pada musim 2015-2016.
Pencetak gol kedua Leicester pada menit ke-90+5, Harvey Barnes, melakukan hal serupa. Ia sempat saling menyentuhkan sepatu dengan rekannya sebagai ganti jabat tangan. ”Ketika pemain ingin merayakan gol dengan aman dan jenaka, itulah yang terpenting dilakukan pada masa sulit ini,” ujar Manajer Leicester City Brendan Rodgers.
Batasan dalam merayakan gol bisa memancing kreativitas pemain. Penyerang West Ham United, Michail Antonio, misalnya, merayakan golnya ke gawang Burnley pada laga lainnya dengan gerakan seperti sedang berenang. West Ham memenangi laga itu 1-0 dan kini mengumpulkan 29 poin.
Masalah Chelsea
Poin yang dimiliki West Ham masih sama dengan poin yang sedang dikumpulkan klub seperti Chelsea, yang sudah memperkuat skuad dengan memborong pemain baru. Meski sudah banyak berinvestasi dengan pemain baru, Chelsea masih kesulitan menunjukkan penampilan terbaiknya. Bahkan, mereka hanya bisa menang 1-0 melawan Fulham yang bermain dengan 10 pemain.
Gol kemenangan Chelsea malam itu juga bukan tercipta dari para pemain barunya, melainkan dari Mason Mount, pemain dari akademi klub yang masih berusia 22 tahun. Mount setidaknya bisa menyelamatkan wajah Chelsea yang pada tiga laga sebelumnya hanya meraih satu poin.
Manajer Chelsea Frank Lampard pun memuji penampilan Mount. ”Saya bergabung dengan Chelsea (menjadi pemain) juga saat berusia 22 tahun dan tidak langsung bersinar pada tahun-tahun pertama, tetapi Mount tidak demikian,” katanya.
Penampilan yang kurang meyakinkan saat mengalahkan Fulham ini membuat Chelsea kini menghadapi tantangan besar karena pada laga berikutnya mereka akan menghadapi Leicester. Tidak cukup jika hanya Mount yang bersinar. (AP/AFP/REUTERS)