Tak Cukup Peningkatan Jumlah, Kehadiran Perempuan Harus Berdampak
›
Tak Cukup Peningkatan Jumlah, ...
Iklan
Tak Cukup Peningkatan Jumlah, Kehadiran Perempuan Harus Berdampak
Jumlah perempuan yang mengisi jabatan publik terus meningkat. Namun, tak cukup hanya itu. Perempuan dituntut untuk terus meningkatkan kapasitasnya agar kehadiran mereka berdampak, khususnya bagi perempuan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Representasi perempuan dalam jabatan publik di berbagai negara menunjukkan perkembangan yang signifikan. Meskipun budaya patriarki masih kental, tak menyurutkan perjuangan para perempuan. Tantangan yang dihadapi kini, memastikan representasi tersebut dapat menghasilkan kebijakan yang berdampak, khususnya pada perempuan.
Hal itu menjadi salah satu yang mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Women, Policy, & Political Leadership – Regional Perspective” yang diselenggarakan oleh Asian Women Parlementarian Caucus dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS), Senin (18/1/2021).
Diskusi daring itu menghadirkan sejumlah pakar dan anggota parlemen dari berbagai belahan dunia. Sejumlah pembicara di antaranya anggota parlemen Maladewa, Eva Abdulla; anggota DPR Republik Indonesia, Hetifah Sjaifudian; anggota DPR Bangladesh, Waseqa Ayesha Khan; dan anggota DPR Timor Leste, Elvina Sousa.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah Sjaifudian, dalam presentasinya menyampaikan, keinginan perempuan untuk mengisi jabatan-jabatan publik di Indonesia terus menguat setiap tahun. Pada Pemilu 2009, sebagai contoh, jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan hanya 34,7 persen. Jumlah itu lantas meningkat menjadi 40,06 persen di Pemilu 2019.
Tak sebatas itu, menurut Hetifah, jumlah yang terpilih pun terus meningkat.
Data Kompas menunjukkan, sebanyak 20,9 persen dari 575 anggota DPR hasil Pemilu 2019 ialah perempuan. Sebagai pembanding, pada Pemilu 1999 sebanyak 9 persen, Pemilu 2004 (11,1 persen), Pemilu 2009 (18 persen), dan Pemilu 2014 (17,3 persen). Sementara itu, di DPD, sebanyak 36 persen dari 136 anggota DPD 2019-2024 ialah perempuan. Angka ini pun naik dari hasil Pemilu 2014, yakni 31 persen (Kompas, 3/8/2019).
”Memang masih dibutuhkan usaha untuk mencapai 30 persen representasi perempuan di parlemen. Namun, kemajuan dari angka representasi itu tetap harus dihargai karena merupakan perjuangan dari politikus perempuan dan aktivis perempuan dari masyarakat sipil,” kata Hetifah.
Selain di parlemen, jabatan menteri juga banyak diisi perempuan. Sebut saja, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Sosial Tri Rismaharini, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga.
Hetifah mengatakan, di Indonesia, kemajuan pada jumlah representasi perempuan dalam jabatan publik memang menjanjikan. Namun, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Beberapa hal yang perlu ditingkatkan itu adalah meningkatkan jumlah representasi perempuan di jabatan publik, peran serta partai politik dalam memberikan ruang bagi perempuan, serta bagaimana meningkatkan kapasitas dan kualitas dari representasi perempuan di jabatan publik. Ia mencontohkan, masih belum tuntasnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksualjadi salah satu pekerjaan rumah anggota DPR perempuan.
Sekalipun ada kemajuan, Eva Abdulla melihat perempuan masih menemui kendala saat hendak mengisi jabatan publik. Banyak kendala di lapangan yang membuat perempuan mempertanyakan kapasitas dan kualitasnya untuk terlibat aktif dalam kebijakan. Namun, hal itu harus terus ditingkatkan. Sebab, seluruh kebijakan publik membutuhkan suara agar menjadi isu yang diarusutamakan.
”Pekerjaan ini harus terus dilakukan, bagaimana perempuan bersuara, mengadvokasi masalah, mengedukasi teman kerja laki-laki, bagaimana menjadikan jabatan publik sebagai tempat yang baik bagi wanita untuk bekerja,” kata Eva.
Agar perempuan lebih kritis dan percaya diri, Eva melanjutkan, pelatihan dan pemberdayaan perempuan harus lebih intens. Perempuan pun harus dilatih agar tidak meragukan kemampuannya di depan publik.
Selain itu, perempuan harus terus didorong agar mampu bersuara kritis. Tujuannya agar masalah-masalah yang terjadi dan berkaitan dengan isu jender dapat didengar oleh pembuat kebijakan.
Di Maladewa, hasil kerja anggota parlemen perempuan sudah cukup banyak. Misalnya, meningkatkan anggaran untuk mencegah pernikahan dini, peningkatan jaminan sosial bagi orangtua tunggal, perlindungan korban pemerkosaan dan kekerasan seksual, serta cuti melahirkan enam bulan dengan tetap mendapatkan bayaran penuh. Semua kebijakan itu dihasilkan dengan suara kritis dari perempuan.
”Kita harus mendorong kolaborasi semua pihak agar terjadi perubahan. Bagaimana mengedepankan hak asasi manusia, kesetaraan jender, agar bisa masuk dalam agenda dan arus utama legislasi negara. Jangan sampai negara gagal melindungi perempuan,” kata Eva.
Ekaterina R Rashkova dari Sekolah Pemerintahan Utrecht, Belanda, mengatakan, di Eropa Barat atau negara-negara Skandinavia, representasi perempuan pada jabatan publik termasuk tinggi. Representasi perempuan mencapai 47 persen jika dibandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya 34 persen. Jumlah representasi itu meningkat sejak 1997 yang hanya 30,7 persen.
Swiss menjadi negara Skandinavia yang paling unggul dalam bidang representasi perempuan di jabatan publik.
”Yang ingin saya tekankan sebenarnya bukan hanya berapa banyak perempuan duduk di jabatan publik dan politik. Tetapi, apa saja yang sudah perempuan lakukan ketika mereka menjabat? Oleh karena itu, saya mengundang lebih banyak peserta diskusi laki-laki agar ada perubahan paradigma, bagaimana mendukung perempuan bekerja agar berdampak pada perubahan,” kata Ekaterina.