Vaksin Covid-19 Jadi Obat Pelepas Rindu
Berbagai negara di dunia memacu pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna menekan angka penularan wabah yang terus bertambah.
Emily Alexander (37), guru kelas 4 di Arizona, Amerika Serikat, sudah tak sabar ingin divaksin Covid-19. Ketika warga berusia di atas 75 tahun, warga berprofesi guru, polisi, pemadam kebakaran, dan sopir bis mendapat giliran divaksin, Emily segera mendaftar dan mengantre di tempat vaksinasi layanan tanpa turun (drive-thru) yang buka 24 jam di stadion Phoenix, Arizona.
Ia berharap, setelah divaksin, ia bisa segera bertemu lagi dengan murid-muridnya dan teman-teman gurunya di sekolah. "Saya kangen sekali dengan anak-anak. Sudah tidak sabar mau memeluk mereka lagi. Satu tahun ini rasanya berat sekali," ujarnya.
Antrean panjang vaksin drive-thru juga terlihat di Florida. Sebelum mengantre, warga harus mendaftar terlebih dahulu dan dalam sehari bisa ribuan orang divaksin. Candice Seltzer (78), gelisah tak sabar duduk di mobilnya. "Saya tak sabar mau memeluk cucu-cucu saya. Sudah lama tidak ketemu mereka," ujarnya kepada televisi CNN.
Baca juga: Malaysia dan Jepang Umumkan Kondisi Darurat Korona
Sejak bulan lalu, AS menggenjot program vaksinasi paling masif sepanjang sejarah. Semua stadion dan lapangan olahraga serta gedung pertemuan dijadikan tempat vaksinasi 24 jam. Di New York City saja ada 250 tempat vaksin yang diharapkan bisa memvaksin 1 juta orang pada akhir bulan ini.
Pada awal-awal program vaksinasi, ketika baru tim medis dan penghuni panti jompo saja yang divaksin, prosesnya berjalan lamban dan menuai kecaman.
Pemerintah beralasan ada kendala teknis prosedur pelaksanaan setiap negara bagian yang berbeda, kekurangan tenaga medis yang memvaksin, dan distribusi vaksin Pfizer-BioNTech yang tersendat. Kini, prosesnya lancar dan dipercepat karena proses vaksin suntikan kedua juga sudah harus diberikan. Lebih dari 9 juta warga AS sudah menerima vaksin dosis pertama.
Baca juga: Penelitian di Brasil, Tingkat Efikasi Vaksin Sinovac Kurang Dari 60 Persen
Kat Bermudez, perawat di Rumah Sakit Stanford, California, yang sudah divaksin sekali mengaku, sampai sekarang ia tidak merasa ada efek samping apapun selain nyeri di lengan selama dua hari. Hal ini masih wajar, kata dia, setiap kali vaksin apa saja reaksi tubuhnya seperti itu. "Saya pernah kena Covid-19, November lalu. Mungkin itu kenapa tidak ada efek samping," ujarnya kepada CNN.
Sebelum memutuskan untuk vaksin, Bermudez mengingatkan perlunya membekali diri dengan informasi lengkap tentang vaksin Covid-19, termasuk keamanan dan risikonya. Ia sempat khawatir karena ada tiga kasus tenaga medis Alaska yang sempat alergi 10 menit setelah divaksin. Menurut harian The New York Times, 22 Desember 2020, mereka kini sudah sembuh.
Reaksi alergi yang muncul setelah divaksin, antara lain, seperti ruam di wajah, mata bengkak, kepala terasa ringan, gatal di tenggorokan, napas pendek-pendek, dan detak jantung kencang. Kedua perawat itu tidak memiliki sejarah alergi dan sembuh setelah diberikan epinephrine dan steroid. Dua kasus alergi juga ditemukan di Inggris, tetapi kedua orang itu memiliki sejarah alergi. Mereka pun kini sudah sembuh.
Paul A Offit, pakar vaksin dan anggota panel penasihat Badan Pangan dan Obat-obatan AS memberi izin Pfizer-BioNTech untuk penggunaan darurat, mengatakan bahwa efek samping, seperti alergi, sudah diprediksi sebelumnya. Menyadari ada potensi efek samping, dibuatlah ketentuan bahwa setiap orang yang sudah divaksin harus menunggu dulu selama 15 menit. Setelah itu, baru ia boleh pulang.
Baca juga: Wajah Wuhan dan Misteri Satu Tahun Pandemi Korona
"Vaksinasi harus tetap jalan sambil peneliti mencari tahu komponen apa di dalam vaksin yang menyebabkan reaksi alergi," kata Offit.
Dunia berpacu
Selain AS, sekitar 50 negara di dunia sudah berpacu memvaksin warganya. China bahkan sudah mulai memvaksin kelompok masyarakat paling rentan tanpa menunggu izin resmi keluar dan 5 juta orang sudah divaksin. Rusia juga memvaksin warga paling berisiko sejak 5 Desember lalu dengan vaksin produksi dalam negeri, Sputnik V.
Baca juga: Iran-Kuba Bekerja Sama Kembangkan Sendiri Vaksin Covid-19
Jerman bisa memvaksin 130.000 orang hanya dalam waktu lima hari. Mayoritas negara anggota Uni Eropa sudah mulai sejak 27 Desember lalu dan semuanya memakai vaksin Pfizer-BioNTech.
Inggris mulai memvaksin 8 Desember lalu dan kini sudah ada 950.000 orang yang divaksin dengan Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca. Uni Emirat Arab adalah negara pertama di Timur Tengah yang memvaksin dengan vaksin Sinopharam, China. Sementara Dubai menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech.
Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Kuwait, Oman, dan Israel juga sudah menggenjot vaksinasinya. Semuanya menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech kecuali Bahrain yang juga memakai Sinopharm.
Baca juga: Dunia Arab Gencar Gelar Vaksinasi
Di Asia Tenggara, Singapura memulai vaksinasi dengan prioritas tenaga medis lalu berlanjut warga usia lanjut barulah seluruh penduduk. Singapura memperkirakan akan bisa selesai memvaksin gratis 5,7 juta penduduknya pada kuartal ketiga 2021.
Pertengahan bulan ini, Indonesia menyusul dengan memulai vaksinasi. Jepang dan Taiwan baru berencana vaksinasi kuartal pertama 2021. Filipina dan Pakistan di kuartal kedua sementara Afghanistan dan Thailand pada pertengahan 2021.
Adapun India memulai vaksinasi, Sabtu (16/1) lalu. Negara itu menargetkan bisa memvaksin 300 juta orang sampai Juli. Tahap pertama untuk 30 juta tenaga medis dan 270 juta warga usia di atas 50 tahun atau kondisi kesehatan rentan. Untuk persiapan vaksinasi, 150.000 tenaga medis di 700 distrik sudah dilatih. India juga menyiapkan 290.000 gudang penyimpanan berpendingin, 240 walk-in freezer, 70 freezer yang bisa dibawa kemana-mana, dan 45.000 ice-line refrigerators untuk menyimpan vaksin.
Baca juga: India Memulai Vaksinasi Terbesar di Dunia dari Petugas Kebersihan
Penasihat senior Organisasi Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) Bruce Aylward, mengatakan sejauh ini negara-negara yang sudah memulai vaksinasi adalah negara berpendapatan tinggi dan menengah. Ia berharap, negara miskin bisa mulai vaksinasi, Februari mendatang.
WHO meminta para produsen vaksin menyediakan vaksin bagi negara-negara miskin melalui program COVAX yang sudah menyiapkan anggaran 6 miliar dollar AS untuk pembelian 2 miliar dosis vaksin.
Sejauh ini China, AS, Israel, dan beberapa negara lain yang mendominasi produksi pertama vaksin. "Kalau produksi tidak digenjot dan mayoritas vaksin ke negara-negara besar, saya khawatir negara-negara miskin akan keteteran," kata Aylward.
Tenaga-stok kurang
Program vaksinasi bukan tanpa kendala. Sejumlah negara yang sudah vaksinasi sempat menghadapi kendala yang membuat vaksinasi tersendat. AS saja terkendala meski, menurut Guru Besar Kebijakan Kesehatan dan Manajemen di Sekolah Kesehatan Publik Milken, George Washington University, AS, Leana Wen, hal itu karena pemerintah tidak memiliki strategi nasional vaksinasi.
Wen menilai AS terlalu ambisius dan tidak memperhitungkan jumlah tenaga medis yang harus memvaksin. Energi seluruh tenaga medis dan siapa saja yang terlibat dalam penanganan pandemi ini sudah habis untuk melakukan tes, pelacakan kontak, pelacakan data, dan penyebaran informasi ke publik.
"Progam vaksinasi semasif ini butuh kerja sama dari semua pihak. Semua harus dimobilisasi karena ini sudah perang," ujar Wen.
Kepala Strategi Koalisi Aksi Imunisasi AS, L.J Tan, menilai proses vaksinasi yang lambat itu salah satunya karena ada ketentuan harus menunggu 15 menit per orang setelah divaksin. "Mau tak mau harus menunggu supaya yakin tidak timbul efek samping seperti alergi," ujarnya.
Selain tenaga kurang, stok vaksin yang menipis juga menjadi masalah. Tantangan yang dihadapi AS juga dihadapi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Inggris sudah memperbanyak tempat vaksinasi sampai tujuh kali lipat untuk bisa memvaksin rata-rata 2 juta orang dalam waktu satu pekan. Setiap hari kira-kira 300.000 orang divaksin dengan prioritas tim medis dan penduduk usia di atas 70 tahun.
Baca juga: Ratu Inggris Divaksin Covid-19, Paus Fransiskus Menyusul
Sejauh ini, Inggris membuka tempat vaksinasi di 1.000 klinik, 223 rumah sakit, 7 gedung pertemuan berukuran besar, 200 apotik, dan 50 pusat vaksinasi massal.
Skeptis
Banyak negara di Uni Eropa yang juga lamban dalam vaksinasi. Penyebabnya karena produksi vaksin Pfizer-BioNTech tidak mampu menyediakan 12,5 juta vaksin untuk UE pada akhir 2020 lalu. UE sudah memesan 300 juta dosis Pfizer.
Kepala BioNTech, Uğur Şahin, kepada majalah Jerman, Der Spiegel, menjelaskan bahwa UE salah paham. Pihaknya tidak bisa menyediakan vaksin sebanyak itu dalam waktu bersamaan.
Hambatan lain yang membuat vaksinasi lamban adalah sikap skeptis masyarakat pada vaksin. Ini terjadi di Perancis. Menteri Kesehatan Perancis, Olivier Veran, mengaku pihaknya masih mendorong kampanye agar masyarakat mau divaksin. "Ternyata butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan masyarakat. Semoga bisa vaksinasi akhir Januari," ujarnya.
Baca juga: Unicef Serukan Penghentian Kampanye Antivaksin di Medsos
Presiden Perancis Emmanuel Macron mengakui, vaksinasi memang tidak wajib sifatnya. Tetapi, untuk saat ini hanya vaksin yang bisa membantu mencegah penyebaran Covid-19. "Percaya saja pada para ilmuwan dan dokter kita," ujarnya.
Meski vaksin Covid-19 belum sempurna dan belum ada jaminan kepastian 100 persen mampu mencegah penularan virus, Claudia Zain (47), perawat di panti jompo New York City, menyarankan agar masyarakat tetap ikut vaksinasi karena untuk hanya ini satu-satunya pilihan agar kehidupan bisa kembali normal.
"Vaksin ini setidaknya memberi saya harapan dan semangat hidup lagi. Saya sudah bosan di kamar terus selama enam bulan," kata David Garvin (80) yang sudah divaksin di Brooklyn, AS. (REUTERS/AFP/AP)
--------
Baca juga laporan edisi khusus vaksinasi: