Vaksinasi untuk mencegah penularan penyakit dikenal lebih satu abad. Teknologi disempurnakan seiring berjalannya waktu. Di akhir dekade kedua abad 21, kita menyaksikan penemuan vaksin tercepat dalam sejarah manusia.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Pemanfaatan vaksin sebagai upaya agar tak tertular penyakit terentang lebih dari satu abad. Ratusan tahun sebelumnya, vaksinasi sederhana telah dilakukan. Biarawan Budha minum racun ular agar kebal gigitan ular. Selain itu, praktik variolasi, mengoleskan cacar sapi pada kulit orang sehat yang dilukai agar kebal terhadap penyakit tersebut, umum dilakukan pada abad 17 di China.
Cara itu pula yang dipraktikkan Edward Jenner di Inggris, saat menorehkan virus cacar sapi ke lengan anak laki-laki berusia 13 tahun, James Phipps, tahun 1796. Hasilnya, anak itu kebal terhadap cacar, penyakit yang dianggap mengerikan waktu itu.
Imunisasi cacar yang dilakukan sejak abad 18 dan diperluas cakupannya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membawa kemenangan manusia dalam membasmi cacar dari muka bumi pada 1979.
Vaksin korona menjadi vaksin tercepat ditemukan dalam sejarah. Dimulai dari dibagikannya urutan kode genetik SARS-CoV-2 oleh China, awal Januari 2020, kelompok peneliti di seluruh dunia menumbuhkan virus dan mempelajari bagaimana virus itu menyerang sel manusia.
Hal itu memungkinkan berbagai lembaga riset dan perusahaan farmasi mengembangkan vaksin untuk mencegah Covid-19. Kurang dari satu tahun, sejumlah vaksin digunakan seiring proses uji klinis tahap tiga. Ini jauh lebih cepat dari umumnya vaksin yang perlu waktu pengembangan 10-15 tahun.
Akhir tahun lalu, keluar izin penggunaan darurat (EUA) bagi sejumlah vaksin, saat uji klinis tahap 3 masih berlangsung. Inggris, diikuti Amerika Serikat (AS) serta negara lain termasuk Indonesia, pun melakukan vaksinasi pada warganya.
Vaksin yang sudah mendapat EUA antara lain produk Pfizer-BioNTech, Moderna, AstraZeneca, Sinovac, dan Sinopharm. Vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna merupakan vaksin berbasis mRNA virus. Sedangkan produk Sinovac, Sinopharm, dan AstraZeneca dibuat dari virus yang dimatikan.
Perkembangan teknologi
Ahli biologi Perancis, Louis Pasteur, memelopori pengembangan vaksin dari virus yang dilemahkan lewat penemuan vaksin kolera (1897), dan vaksin dari virus yang dimatikan, yakni vaksin antraks (1904).
Menurut laman the Immunisation Advisory Center dari Universitas Auckland, Selandia Baru, vaksin sampar juga ditemukan akhir abad 19. Sepanjang tahun 1890-1950 didapat sejumlah vaksin, seperti vaksin tuberkulosis (BCG) yang dikembangkan Albert Calmette dan Camille Guérin. Juga vaksin tetanus, difteri, dan pertusis (batuk rejan). Tiga vaksin itu kini diberikan sekaligus pada bayi sebagai vaksinasi dasar dalam bentuk vaksin DPT.
Era 1950-1985 berkembang teknologi kultur jaringan virus yang menghasilkan vaksin polio Salk (dari virus dimatikan) dan vaksin oral polio Sabin (dari virus yang dilemahkan). Vaksinasi massal membuat penyakit lumpuh layuh tersebut hampir tereradikasi di dunia.
Pada masa itu juga dikembangkan vaksin untuk campak, gondongan dan rubela. Saat ini, campak merupakan target penyakit yang hendak dieliminasi.
Dua dekade belakangan, teknologi vaksin makin maju dengan pemanfaatan genetika molekuler. Hal itu memungkinkan pembuatan vaksin hepapatis B rekombinan, penyempurnaan vaksin untuk pertusis, tuberkulosis, sitomegalovirus (CMV), virus herpes simpleks (HSV), dan teknik baru dalam produksi vaksin influenza. Genetika molekuler juga digunakan untuk pengembangan vaksin HIV, serta vaksin terapeutik untuk alergi, penyakit otoimun, dan adiksi.
Rekayasa genetika, demikian peneliti AS, Jonathan A. McCullers dan Jeffrey D. Dunn, di Pharmacy and Therapeutics, Januari 2008, memungkinkan kloning genom virus ke bakteri atau jamur yang berfungsi sebagai vektor, memanipulasi gen dari organisme patogen di laboratorium agar tidak berbahaya jika dipaparkan pada manusia.
Selain itu, rekayasa genetika merancang dan menyesuaikan organisme secara cepat untuk digunakan dalam vaksin. Hal ini antara lain untuk memproduksi vaksin influenza sesuai galur yang sedang beredar sehingga didapat vaksin yang aman dan berkualitas tinggi.
Belum membuahkan hasil
Virus yang menyebabkan lunturnya kekebalan tubuh manusia, HIV, diidentifikasi tahun 1984. Meski segala daya upaya serta dana dicurahkan untuk mendapatkan vaksin, sejauh ini belum ada yang membuahkan hasil sesuai harapan.
Dua dekade belakangan, teknologi vaksin makin maju dengan pemanfaatan genetika molekuler.
Berbagai pendekatan dilakukan dalam pengembangannya. Antara lain vaksin peptida (menggunakan bagian kecil protein HIV), vaksin rekombinan, vaksin vektor hidup (menggunakan virus lain yang disisipi gen HIV), serta vaksin berbasis DNA HIV.
Setidaknya ada 40 kandidat vaksin HIV diuji klinis. Uji kandidat vaksin dari Inisiatif Vaksin AIDS Internasional (IAVI) di AS, Rwanda, Uganda, Afrika Selatan dan Thailand, diharapkan selesai tahun 2022.
Kandidat vaksin HIV lain dari Kemitraan Uji Klinis Eropa dan Negara-Negara Berkembang juga telah dan tengah diuji klinis di Afrika, Eropa dan AS. Uji klinis di sejumlah negara Afrika akan berlangsung tiga tahun ke depan.
Tidak mudah mengembangkan vaksin HIV, karena sangat berbeda dari virus pada umumnya. Artikel di Healthline, 16 Juni 2020, menyebut, beberapa kendala yakni sistem imun tak mampu mengenali HIV. Selama ini vaksin dibuat dengan meniru reaksi kekebalan pada orang yang sembuh dari sakit. Masalahnya, belum ada orang yang sembuh setelah terinfeksi HIV.
Vaksin dibuat untuk virus yang masuk lewat sistem pernapasan atau pencernaan. Para ahli belum berpengalaman membuat vaksin terhadap virus yang masuk lewat darah seperti HIV. Selain itu, virus HIV sangat cepat bermutasi.
Vaksin lain yang ditunggu adalah vaksin untuk mencegah demam dengue. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti itu disebabkan empat virus, Denv-1 hingga Denv-4. Sejauh ini belum ada obat maupun vaksinnya.
Menurut WHO, vaksin pertama dengue, Dengvaxia (CYD-TDV) produksi Sanofi Pasteur, merupakan vaksin rekombinan berisi 4 virus dengue. Vaksin ini didaftarkan di Meksiko, Desember 2015, untuk mereka yang berusia 9-45 tahun. Pada 1 Mei 2019, Badan Administrasi Obat dan Makanan (FDA) AS, menyetujui penggunaan bagi kelompok usia 9-16 tahun di wilayah endemik (Samoa dan Virgin Islands yang masuk wilayah AS serta Puerto Riko).
Masalahnya, demikian Suresh Mahalingam dari Universitas Griffith, Australia, dan kolega, dalam jurnal Emerging Infectious Diseases, Agustus 2013, saat diuji pada anak sekolah di Thailand, vaksin menunjukkan efikasi tinggi namun hanya pada Denv-1 (61,2 persen), Denv-3 (81,3 persen), Denv-4 (89,9 persen). Vaksin itu tidak memberikan perlindungan terhadap Denv-2 yang justru paling patogenik.
Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, pada 2017, Sanofi Pasteur mengumumkan, penerima vaksin yang belum pernah terinfeksi virus dengue berisiko mengalami gejala parah jika tertular virus setelah divaksinasi. Selain Dengvaxia, ada sekitar 5 kandidat vaksin yang sedang dikembangkan. Dua di antaranya dalam tahap uji klinik.
Meski banyak penyakit menular berhasil dikendalikan dengan vaksin, masih ada sejumlah penyakit yang belum bisa diatasi. Perjalanan masih panjang bagi ilmu pengetahuan.