Kian cepat kasus Covid-19 terdeteksi, kian cepat penyakit itu tertangani sehingga tak semakin parah dan menyebar. Semua upaya ini akan sangat meringankan beban fasilitas layanan kesehatan dan menyelamatkan banyak nyawa.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·4 menit baca
Lonjakan kasus Covid-19 dalam dua minggu terakhir di Tanah Air menjadi rambu darurat bagi fasilitas kesehatan. Situasi saat ini memberikan beban ganda pada fasilitas kesehatan, yaitu menambah kapasitas layanan sekaligus menerapkan standar khusus untuk ruang penanganan pasien Covid-19.
Kompas edisi 11 Januari 2021 menuliskan kisah tetangga M Widiarto, warga Desa Potorono, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetangga Widiarto itu baru saja meninggal di rumah dengan kondisi positif Covid-19 karena tidak bisa dirawat di rumah sakit dengan alasan ruang perawatan penuh.
Kasus pasien tak terawat karena ruangan penuh mulai bermunculan secara sporadis dan banyak tidak terpublikasikan. Sejak Desember 2020, kondisi penuhnya ruang perawatan intensif (intensive care unit/ICU) dan hampir penuhnya ruang isolasi (tempat tidur) pasien Covid-19 sudah terjadi di Jakarta, Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang Selatan, dan sejumlah kota lainnya di Pulau Jawa.
Rambu-rambu kedaruratan fasilitas kesehatan telah disampaikan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Pada 2 Januari 2021, keterisian ruang ICU dan ruang isolasi di rumah sakit sejumlah daerah sudah melampaui 70 persen. Di sejumlah daerah, seperti Surabaya, Jawa Timur, keterisian tempat tidur di rumah sakit rujukan bahkan lebih dari 100 persen.
Sejak November 2020, jumlah kasus Covid-19 terpantau melonjak tinggi. Dibandingkan dengan dua minggu pertama Desember 2020, penambahan kasus baru harian pada periode yang sama pada Januari 2021 meningkat hingga 50 persen. Angka kematian per hari pada periode yang sama juga meningkat 54 persen.
Untuk kebutuhan ICU, dokter anestesiologi RSUD Dr Soetomo, Bambang Pujo Semedi, dalam webinar ”Pelayanan ICU di Era Pandemi Covid-19” menuturkan, secara global, 25 persen pasien Covid-19 yang dirawat membutuhkan ruang ICU.
Guna mengatasi kondisi ini, penambahan tempat tidur di ruang ICU dan ruang isolasi sudah dilakukan di rumah sakit rujukan. Cara lain yang telah dilakukan pemerintah adalah menggunakan bangunan tidak terpakai dan mengaktifkan kembali rumah sakit yang sudah tidak beroperasi, seperti Rumah Sakit Veteran Patmasuri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Standar ruangan
Selain menambah kapasitas, ruangan juga harus ditata ulang agar sesuai dengan standar perawatan penyakit infeksi.
Fasilitas kesehatan harus dibagi per zonasi sesuai dengan tingkat risiko penularan penyakit, untuk memisahkan pelayanan pasien Covid-19 dengan pasien umum. Zonasi terdiri dari zona merah (area pelayanan Covid-19), zona kuning (area pelayanan pasien umum), dan zona hijau (area penunjang serta manajemen).
Ruang pemeriksaan pun harus dirombak agar aliran udara tidak melewati pasien terlebih dahulu sebelum melewati tenaga medis. Lingkungan perawatan pasien perlu diusahakan minim kandungan partikel debu, kuman, dan spora dengan menjaga kelembaban serta pertukaran udara. Pertukaran udara untuk ruang isolasi diupayakan minimal 12 kali per jam dan untuk ruang kamar operasi minimal 20 kali per jam.
Pengaturan tersebut hanyalah sebagian adaptasi yang harus dilakukan fasilitas layanan kesehatan. Untuk melaksanakannya dibutuhkan dana dan sumber daya yang besar. Masalahnya, sejak sebelum terjadi pandemi, fasilitas isolasi penyakit infeksi dan layanan khusus, seperti ICU, belum sepenuhnya memenuhi standar.
Jumlah ruang isolasi dan isolasi ICU sebelum pandemi sangat sedikit. Sebagian besar ruangan isolasi juga belum sesuai dengan standar, seperti tidak bertekanan negatif dan tidak ada ruang antara (ante room).
Karena itu, menyiapkan standar ruang perawatan isolasi dan ruang ICU pada masa pandemi ini menjadi tantangan yang besar. Situasi ini benar-benar krusial bagi fasilitas layanan kesehatan di mana taruhannya adalah nyawa. Dokter Bambang Pujo mengingatkan, apabila ruang ICU tidak dilengkapi dengan peralatan canggih bisa menyebabkan rasio kematian pasien di ICU mencapai 100 persen.
Terapkan sistem
Tri Maharini, dokter spesialis emergensi dan kolaborator ilmuwan LaporCovid-19, menyebutkan, tidak semua rumah sakit, terutama di daerah, memiliki ruangan bertekanan negatif. Padahal, tanpa itu, risiko penularan tetap tinggi meski tenaga kesehatan mengenakan alat pelindung diri (APD).
Dalam situasi darurat seperti saat ini diperlukan upaya lebih besar selain menambah fasilitas perawatan pasien Covid-19. Upaya lain itu lebih diutamakan pada penekanan preventif. Tri Maharani berharap pemerintah betul-betul menerapkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). ”Sistem ini sudah dimiliki Indonesia sejak dulu, tetapi saat ini tidak digunakan,” kata Tri Maharani.
”Kini butuh 7M dan 4T yang dilakukan bersamaan. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi stigma, membatasi mobilitas, mendapatkan vaksinasi, serta testing, tracing, tracking, dan treatment,” tambahnya.
Selain itu, perlu penyediaan dan koordinasi terkait transportasi pasien Covid-19. Kini, masih banyak pasien Covid-19 yang menggunakan transportasi daring saat akan memeriksakan diri atau melakukan tes usap. Ini berbahaya bagi pengemudi dan juga penumpang lain yang kemudian menggunakan transportasi yang sama.
Ketaatan masyarakat menerapkan protokol kesehatan masih sangat diperlukan meski sudah ada vaksinasi. Pada saat yang sama, pengetesan dan pelacakan juga mesti diintensifkan.
Semakin cepat kasus terdeteksi, semakin cepat pula tertangani sehingga penyakit Covid-19 tidak semakin parah dan menyebar. Semua upaya itu akan sangat membantu meringankan beban fasilitas layanan kesehatan dan menyelamatkan banyak nyawa. (LITBANG KOMPAS)