Pemerintah dan Komisi II DPR menyetujui pembentukan panitia kerja evaluasi Pilkada 2020. Ada sejumlah hal krusial yang perlu didiskusikan lebih lanjut terkait pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk membentuk panitia kerja evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020. Dalam panitia kerja tersebut, sejumlah isu krusial akan dievaluasi secara mendalam, yang nanti dapat digunakan sebagai bahan dalam penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu.
Sikap Komisi II DPR itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/1/2021). Dalam rapat tersebut, hadir pula Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad.
Pembentukan panitia kerja (panja) evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 diperlukan karena Komisi II DPR masih menemukan lima persoalan yang perlu dievaluasi.
Kelima persoalan tersebut meliputi masih terdapat pelanggaran dan sengketa Pilkada 2020; masih adanya indikasi praktik politik uang (money politics); masih ditemukan permasalahan dalam daftar pemilih tetap; pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan TNI-Polri; serta lemahnya komunikasi dan koordinasi di antara penyelenggara pemilu.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, keputusan pembentukan panja itu sebenarnya telah muncul di dalam rapat internal di Komisi II sebelum reses masa persidangan II tahun sidang 2020-2021. Saat itu, reses dimulai pada 12 Desember 2020 hingga 10 Januari 2021.
”Hampir semua menyepakati, kami membentuk panja. Saya kira nanti akan lebih dalam evaluasinya di rapat panja,” ujar Doli.
Hampir semua menyepakati, kami membentuk panja. Saya kira nanti akan lebih dalam evaluasinya di rapat panja. (Ahmad Doli Kurnia)
Anggota Komisi II DPR dari PDI-P, Heru Sudjatmoko, menambahkan, pembentukan panja dibutuhkan agar evaluasi bisa lebih luas. Dengan begitu, penyelenggaraan Pilkada 2020 tak hanya dipandang sebagai pemenuhan aspek demokrasi secara prosedural, tetapi juga substansial.
”Di dalam panja bisa menghasilkan rekomendasi yang mengarah pada pelaksanaan pilkada yang lebih berkualitas yang tidak sebatas output, tetapi outcome. Apa outcome? Tentu, untuk kemajuan daerah setelah terpilih pemimpin daerah,” ucap Heru.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Arsyadjuliandi Rachman, berpandangan, hasil evaluasi ini nantinya akan sangat dibutuhkan dalam penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang kini tengah disusun bersama DPR dan pemerintah. ”Untuk itu, kami pendalaman yang lebih detail lagi dari setiap persoalan,” katanya.
Sementara itu, Plt Ketua KPU menyampaikan, ada sejumlah persoalan yang memang perlu dibahas secara khusus di dalam panja. Misalnya, multitafsir terhadap beberapa peraturan perundangan-undangan terkait penetapan calon mantan terpidana.
Mendagri Tito Karnavian pun sepakat dengan pembentukan panja evaluasi pelaksanaan Pilkada 2020. Namun, ia mengingatkan agar jangan sampai panja itu malah diintervensi oleh kepentingan partai politik.
”Perlu kita hati-hati kalau ada panja tentang case (kasus) pilkada, case by case (kasus per kasus) nanti akan terjadi power struggle (perebutan kekuasaan) kepentingan partai. Karena ada yang dukungan ini, ada yang dukungan ini, (calon) yang ini dicoret Bawaslu, yang ini tidak. Tetapi, kalau memang siap dengan power struggle itu, tidak apa-apa. Kami terbuka saja,” tutur Tito.
Komisi II DPR juga menyoroti peristiwa pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU dalam sidang perkara etik yang diputuskan oleh DKPP.
Konflik penyelenggara pemilu
Dalam rapat itu, Komisi II DPR juga menyoroti peristiwa pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU dalam sidang perkara etik yang diputuskan oleh DKPP. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, menilai, pemaknaan putusan itu tidaklah final dan mengikat jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013.
Di dalam putusan MK tersebut, menurut Zulfikar, DKPP bukan lembaga peradilan sehingga putusan tidak final. Keputusan mengikat itu pun hanya kepada presiden dan penyelenggara, bukan kepada lembaga peradilan.
Karena itu, di kasus sebelumnya, Evi Novida Ginting Manik yang diberhentikan oleh DKPP bisa langsung menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta setelah keluar surat presiden tentang pemberhentian jabatannya. Bahkan, presiden tidak banding dan menindaklanjuti putusan PTUN Jakarta dengan surat keputusan baru yang mengembalikan Evi pada posisi semula.
Namun, Zulfikar menyayangkan sikap DKPP yang tidak pernah menganggap kehadiran kembali Evi di posisi komisioner KPU.
”Sekarang yang tidak etis itu siapa? Mengatakan ke mana-mana anggota KPU hanya ada enam orang, padahal tujuh orang. Jadi, menurut saya, harus dipahami betul putusan MK itu,” kata Zulfikar.
Bahkan, jika Ketua DKPP dan anggotanya terus bersikap demikian, Zulfikar mengancam akan mengganti mereka. Komisi II, ujarnya, bisa menggunakan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di mana setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu.
”Kalau memang nanti panja evaluasi pilkada disetujui oleh Komisi II, saya usulkan itu di panja nanti. Ganti saja itu anggota DKPP,” ucap Zulfikar.
Seharusnya, lanjut Zulfikar, antarpenyelenggara pemilu memiliki sinergisitas. ”Janganlah membuat perkara, jangan membuat gerakan-gerakan seperti itu. Hentikan karena tidak mendidik,” katanya.
Seharusnya antarpenyelenggara pemilu memiliki sinergisitas.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Junimart Girsang, sependapat bahwa di antara penyelenggara pemilu ini belum memiliki sinergisitas yang baik. Hal lain, misalnya saja, terdapat pelanggaran-pelanggaran yang diajukan Bawaslu kepada KPU, tetapi sebagian ditindaklanjuti dan sebagian lagi tidak.
”Yang pada akhirnya subyektivitas tiap-tiap lembaga. Jadi, yang penting, ketiga lembaga ini bisa bersinergi supaya harmonis dan sinkronis. Kalau tiga lembaga ini tidak harmonis, maka pilkada ini tidak akan mantap. Padahal, kan, tiga lembaga ini jadi satu. Jadi, rohnya itu tiga jadi satu. Jangan dibolak-balik, ya pecah,” ucap Junimart.
Ketua DKPP menegaskan, DKPP tidak memiliki pretensi apa pun dalam memutus perkara, termasuk kasus pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU. DKPP, lanjutnya, konsisten menilai fakta persidangan dan semua persidangan dilakukan secara terbuka.
Ia tidak ingin mengomentari terlalu jauh mengenai hal tersebut karena telah memasuki materi putusan. Menurut dia, kode etik DKPP melarang semua anggota DKPP agar mengomentari putusan yang telah dibacakan kepada publik.
Namun, karena pertanyaan disampaikan langsung oleh Komisi II DPR sebagai wakil rakyat, lanjut Muhammad, ia akan menjelaskannya secara tertulis.
”Harapan kami agar kita semua warga negara dan siapa pun juga membaca secara komprehensif dan tuntas pertimbangan putusan terkait pemberhentian Pak Arief. Kami minta tolong dibaca dari A sampai Z. Semoga itu membantu bagi kita memahami mengapa DKPP harus mengambil putusan itu,” ujarnya.