Membangun Birokrasi yang Lincah
Saya optimistis Indonesia dapat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh tahun 2030 sebagaimana prediksi McKinsey jika faktor kelembagaan birokrasi ini bisa dipersiapkan dengan baik.
Berbagai perubahan disruptif saat ini telah memaksa transformasi menyeluruh birokrasi untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dan membuka masuknya investasi.
Ada setidaknya empat perubahan besar yang sedang terjadi saat ini: krisis pandemi Covid-19, pesatnya digitalisasi dan konvergensi teknologi dalam berbagai kehidupan, pergeseran generasi tua ke generasi milenial (generasi Y dan Z), dan menguatnya fleksibilitas dan mobilitas masyarakat secara virtual.
Perubahan birokrasi adalah sebuah keharusan menuju birokrasi yang lincah (agile bureaucracy). Tulisan ini akan membahas bagaimana membangun kelincahan birokrasi tersebut.
Fenomena fleksibilitas global
Survei Robert Walters 2019 menunjukkan perubahan global yang fundamental tentang profil pasar tenaga kerja dunia: 81 persen para profesional menyukai untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan secara fleksibel; 52 persen pekerja setuju bahwa fleksibilitas bekerja akan meningkatkan komitmen dalam pekerjaan; 40 persen pencari kerja akan menolak untuk menerima pekerjaan jika tidak memenuhi kebutuhan mereka untuk bekerja secara fleksibel.
Baca juga: Rapor Reformasi Birokrasi
Fenomena meningkatnya fleksibilitas dalam bekerja saat ini tidak hanya terjadi di sektor swasta, tetapi juga di sektor publik. Dalam survei yang dilakukan Harvard Business Review tahun 2019 didapatkan pula informasi bahwa motivasi bekerja generasi milenial juga mengalami perubahan mendasar; fleksibilitas waktu dan tempat bekerja menempati urutan pertama (68 persen), diikuti akses untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan (48 persen), hanya 38 persen yang memiliki motivasi gaji dan benefit materi, diikuti kesempatan untuk intrapreneurship dalam membuat berbagai inovasi (35 persen).
Kemapanan birokrasi tak lagi bisa dipertahankan.
Bagaimana memaknai informasi mengenai perubahan fleksibilitas secara global itu untuk konteks transformasi birokrasi di Indonesia. Kemapanan birokrasi tak lagi bisa dipertahankan. Struktur birokrasi yang berjenjang hierarkis, bekerja berdasarkan proses bisnis yang kaku, dan paradigma kerja yang berbasis peraturan (rule based) tak sesuai lagi dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, apalagi dunia industri.
Hal ini tentu saja sesuai dengan apa yang selalu disampaikan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan bahwa birokrasi harus bekerja cepat dan lincah, berorientasi pada kepentingan pelayanan masyarakat, dan membuka peluang sebesar-besarnya investasi di Indonesia.
Jika kita lihat fakta kondisi governansi di Indonesia, tampaknya Indonesia masih harus bekerja keras mewujudkan fleksibilitas dan kelincahan birokrasi karena kemudahan memulai bisnis di Indonesia masih belum beranjak baik (peringkat ke-72 tahun 2018 dan ke-73 tahun 2019), sedangkan tingkat efektivitas birokrasi kita juga masih sangat rendah (dengan nilai indeks 60,1 pada tahun 2019).
Baca juga: Percepatan Reformasi Birokrasi Tak Bisa Ditawar
Reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah saat ini memiliki peranan strategis dan kritikal untuk mengubah DNA budaya dan struktur dasar birokrasi Indonesia yang sangat kaku, tradisional birokratis, dan rule based. Kekakuan ini menyebabkan lamanya proses pengambilan keputusan untuk pelayanan publik dan perizinan usaha maupun non-usaha.
Apa yang dilakukan pemerintah dengan menyederhanakan eselon III (administrator) dan eselon IV (pengawas) menjadi jabatan fungsional sudah tepat, dan harus dilanjutkan dengan penguatan kompetensi pejabat fungsional untuk bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
Baca juga: Presiden Ingin Aparat Birokrasi Lebih Adaptif dan Terampil
Ini langkah awal untuk memindahkan kekakuan proses menuju fleksibilitas kerja birokrasi yang berorientasi kinerja dan hasil. Dengan bantuan perkembangan konvergensi teknologi (seperti IT, robotic, nano), fleksibilitas birokrasi jadi lebih mudah dilakukan karena akan terjadi integrasi virtual (baik vertikal, horizontal, maupun diagonal) secara menyeluruh dan fundamental.
Tatanan baru birokrasi
Fenomena global yang telah dijelaskan membutuhkan tatanan baru birokrasi Indonesia yang didasarkan pada tiga hal penting. Pertama, perubahan paradigma menuju birokrasi yang dinamis, berjejaring dan berkolaborasi. Hal ini diindikasikan dengan birokrasi yang selalu menyesuaikan dengan berbagai perubahan lingkungan strategis, perubahan harapan masyarakat, dan kebutuhan pasar yang sehat dan kuat.
Fenomena global yang telah dijelaskan membutuhkan tatanan baru birokrasi Indonesia yang didasarkan pada tiga hal penting.
Birokrasi tidak boleh lagi bergerak secara linier dan menurut deret hitung, tetapi harus membuat lompatan atau terobosan yang cepat dan besar serta bergerak secara deret ukur berganda.
Karena itu, sistem nilai, perilaku, dan kompetensi birokrasi harus dipersiapkan untuk menciptakan intrapreneurship, yaitu orientasi pada kewirausahaan yang dapat menciptakan berbagai inovasi dan produktivitas yang lebih baik.
Dalam paradigma baru ini, birokrasi tak boleh dan tak bisa bekerja sendiri lagi, apalagi mementingkan unitnya sendiri. Sebaliknya birokrasi harus berkolaborasi dan berjejaring tak saja dengan unit-unit lain di dalam pemerintahan, tetapi juga dengan berbagai pemangku kepentingan di luar pemerintahan (collaborative and network governance).
Baca juga: ”Normal Baru” Birokrasi
Kolaborasi selalu ditandai dengan orkestrasi peran yang baik dan harmoni di antara berbagai pihak, saling berbagi hasil (outcome) dan dampak (impact) dalam perencanaan/penganggaran program dan kegiatan pembangunan, pemerintahan, dan pelayanan publik.
Kedua, institusi dan proses bisnis birokrasi menuju digitalisasi dan fleksibilitas (digital governance). Kekakuan birokrasi selama ini harus dipatahkan dengan mendesain ulang struktur organisasi dan proses bisnis yang berbasis kinerja dan peran, bukan berbasis tugas dan fungsi sebagaimana selama ini menjadi kebiasaan dan norma hukum di Indonesia.
Desain organisasi berbasis kinerja mengutamakan pembagian peran kementerian/lembaga dan unit organisasi di pemda dalam target indikator kinerja yang akan dicapai dengan sebuah konsep menyeluruh the whole network governance, di mana setiap unit organisasi terhubung dengan sasaran strategis yang ditetapkan Presiden.
Hal ini akan membentuk struktur organisasi birokrasi yang fleksibel dengan integrasi virtual, yaitu sebuah organisasi yang datar (flater), tidak hierarkis (less hierarchy), berbasis paduan berbagai kompetensi (competence based), dan berorientasi pada kinerja dan produktivitas (performance oriented).
Baca juga: Meremajakan Birokrasi Kita
Model organisasi ini disebut squad model, atau dalam organisasi militer TNI AD Indonesia disebut Model Kostrad, yaitu model organisasi yang basisnya adalah capaian hasil dengan didukung oleh berbagai kompetensi pasukan di dalamnya. Squad Model harus didasarkan pada kompetensi jabatan fungsional dan fleksibilitas gerak dari pegawai aparatur sipil negara (ASN) baik di dalam satu instansi (kementerian/lembaga/pemda) juga antar-instansi.
Dengan demikian, berbagai program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dapat dicapai dengan sinergi dan kolaborasi yang kuat antar-unit. Ini sekaligus akan mengurangi silo mentality dan partial egoism yang saat ini menjadi penyakit dalam birokrasi Indonesia.
Ketiga, diperlukan perubahan budaya lintas generasi menuju kepemimpinan birokrasi yang lebih partisipatif, co-creative dan co-innovative. Tatanan birokrasi lincah membutuhkan karakter kepemimpinan baru yang memberikan kesempatan kepada generasi milenial untuk menciptakan berbagai inovasi dalam pemerintahan.
Dalam waktu transisi saat ini, yaitu pergantian generasi baby boomers dan generasi X (sebagai pucuk pimpinan birokrasi) menuju generasi milenial Y dan Z, dibutuhkan kesadaran dan kerelaan para generasi tua mengubah gaya kepemimpinan otoritas hierarki ke gaya kepemimpinan memberdayakan (leadership from within).
Ketiga perubahan tatanan itu akan menyebabkan rasa tak nyaman bagi sebagian birokrat. Namun, hal ini harus tetap dapat dilaksanakan dan dikelola secara baik. Pandemi Covid-19 selama ini telah memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa perubahan memang harus dipaksakan. Perubahan besar akan terjadi dalam waktu yang tak lama karena ekosistem yang sudah dan sedang berubah terus-menerus. Digitalisasi dan globalisasi memaksa perubahan yang fundamental dalam birokrasi.
Jumlah unit organisasi dan pegawai ASN akan berkurang dengan bantuan teknologi, peran manusia akan digantikan oleh robot dan IT. Rasionalisasi pegawai secara normal maupun dipaksakan tak bisa dihindari lagi menuju era birokrasi yang lincah dan kapabel. Apa yang dibutuhkan adalah manajemen perubahan untuk mengurangi resistensi yang akan terjadi.
Saya optimistis Indonesia dapat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh tahun 2030 sebagaimana prediksi McKinsey, jika faktor kelembagaan birokrasi ini bisa dipersiapkan dengan baik. Semoga.
Eko Prasojo, Guru Besar FIA dan Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional