Pedagang Daging Jakarta Mogok Jualan, Diplomasi Bilateral Diharap Jadi Solusi
›
Pedagang Daging Jakarta Mogok ...
Iklan
Pedagang Daging Jakarta Mogok Jualan, Diplomasi Bilateral Diharap Jadi Solusi
Pedagang daging tidak kuat lagi dengan tingginya biaya impor sapi hidup Australia, padahal Indonesia sudah selama 35 tahun menjadi negara nomor pembeli sapi hidup dari negara tetangga itu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Diplomasi bilateral Indonesia dengan Australia menjadi harapan para pedagang daging di DKI Jakarta untuk memastikan turunnya harga sapi hidup yang diimpor dari negara tersebut. Mereka melakukan mogok berjualan di pasar-pasar apabila tidak ada kebijakan memastikan harga impor yang berpengaruh kepada harga karkas dan mahalnya penjualan daging sapi di masyarakat tidak merugikan pedagang.
Sekretaris Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) DKI Jakarta Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya, mogok berjualan mulai dilakukan per hari Selasa (19/1/2021). “Kami tidak kuat lagi dengan tingginya biaya impor sapi hidup Australia, padahal Indonesia sudah selama 35 tahun menjadi negara nomor pembeli sapi hidup dari Australia,” katanya.
Krisis harga sapi hidup impor ini berlangsung sejak Idul Fitri di pertengahan tahun 2020. Semakin ke pengujung tahun, kenaikan harga kian tidak terkendali. Data APDI Jakarta mengungkapkan, di pertengahan 2020 harga karkas Rp 80.000 per kilogram. Di Desember 2020 rentang harganya menjadi Rp 92.000-Rp 96.000, belum ditambah biaya pemotongan dan pemisahan daging dari tulang. Harga eceran di pasar ialah Rp 120.000 per kilogram.
Hanya butuh empat hari mendatangkan sapi hidup dari Australia. Kalau dari Brazil atau AS bisa satu bulan. Kuncinya memang di kemampuan Indonesia menekan Australia untuk menurunkan harga sapinya. (Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya)
Apabila dihitung kepada pendapatan pedagang daging, margin yang mereka peroleh adalah Rp 1.000-Rp 2.000 untuk setiap kilogram. Jumlah ini tidak bisa menutupi biaya operasional, gaji pegawai, dan kebutuhan sehari-hari. Pedagang juga tidak bisa menaikkan harga karena mereka terikat komitmen harga eceran tertinggi dari pemerintah.
“Untuk setiap ekor karkas, pedagang bisa menanggung rugi sampai Rp 700.000 per hari. Hulu masalahnya dari keputusan Australia mengubah sistem penjualan sapi hidup,” tutur Mufti.
Ia menjelaskan, biasanya Australia menjual sapi hidup seharga 4 dollar Australia per kilogram ke Indonesia. Sekarang mereka mengubah sistem dengan cara menjual sapi kepada negara yang mampu membeli dengan harga tertinggi. Vietnam dan Thailand menyatakan mampu membeli seharga paling rendah 5 dollar Australia per kilogram, akibatnya standar ini menjadi patokan harga baru dan membuat para pedagang di Tanah Air menjerit.
Politik bilateral
Mufti mengatakan, solusi masalah ini bukan sekadar pada level kementerian perdagangan maupun pertanian. Harus ada kebijakan politik dari kedua negara. Artinya, masalah ini membutuhkan diplomasi politik bilateral. Beberapa tahun lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengurangan biaya impor sapi hidup Australia sebesar 2,5 persen. Akan tetapi, rendahnya nilai tukar rupiah membuat kebijakan ini tidak menghadirkan perubahan di lapangan.
Pemerintah memiliki rencana mengimpor sapi hidup dari Meksiko, tetapi rencana ini dianggap tidak efektif oleh APDI Jakarta karena belum ada kerja sama bilateral di ekspor-impor daging. Selain Australia, Indonesia mengimpor daging beku dari Selandia Baru, Amerika Serikat, Brazil, dan Spanyol. Apabila hendak mendatangkan sapi hidup, lebih baik dari negara-negara yang memang telah ada kerja sama.
“Namun, ini tidak efektif juga. Hanya butuh empat hari mendatangkan sapi hidup dari Australia. Kalau dari Brazil atau AS bisa satu bulan. Kuncinya memang di kemampuan Indonesia menekan Australia untuk menurunkan harga sapinya,” tutur Mufti. Ia menuturkan, meskipun Vietnam dan Thailand mampu membeli sapi dengan harga yang lebih mahal, Indonesia tetap membeli sapi dengan jumlah terbanyak.
Saat ini, Australia menghadapi perang dagang dengan China yang menuduh pemerintah Australia berlaku rasialis terkait pandemi Covid-19. Mereka mengurangi serta menerapkan tarif tinggi untuk semua jenis impor dari Australia, termasuk sapi hidup dan daging beku. Ini kesempatan bagi Indonesia untuk bernegosiasi. (Kompas, 28 November 2020).
Mufti mengatakan, menambah impor daging beku juga bukan solusi karena ketika diecer, harganya sama dengan daging segar. Harga beli daging beku dari perusahaan maupun badan usaha milik pemerintah yang mengimpor dari AS, Spanyol, Brazil, dan Selandia Baru adalah Rp 85.000-Rp 90.000. Selain itu ,juga ada biaya pencairan daging dari es dan mengeluarkan kandungan air berlebih. Hasilnya, daging beku sama-sama diecer Rp 100.000-Rp 120.000.
“Impor sapi hidup juga membuka berbagai lapangan pekerjaan seperti peternakan penampung dan rumah pemotongan hewan. Kalau kita murni mengandalkan impor daging beku, hanya 30 persen lapangan pekerjaan yang tersisa,” ujar Mufti.
Tetap ada
Direktur Usaha Perusahaan Daerah Dharma Jaya Mohamad Adam Ali Bhutto mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap menjamin masyarakat akan mendapat daging sapi dan kerbau walaupun pedagang di pasar mogok. Bersama Badan Urusan Logistik (Bulog), PD Dharma Jaya akan membuka lapak daging di sejumlah pasar milik Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya.
Dharma Jaya menyediakan 838 ton daging sapi dan Bulog menyediakan 100 ton. Selain itu, juga ada daging kerbau. “Kami menjual dengan harga Rp 90.000 per kilogram. Operasi pasar ini salah satu strategi agar harga daging sapi secara umum bisa diturunkan bertahap,” kata Adam.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Jakarta Reynaldi Sarijowan mengatakan kasus daging sapi ini serupa dengan berbagai komoditas impor lain, salah satunya ialah kedelai. Lemahnya nilai tukar rupiah dan berbagai perang dagang internasional membuat harga melonjak dan pedagang pasar tidak mampu membeli.
“Harus ada subsidi distribusi komoditas. Selain itu, juga ada pemetaan stok pangan lokal dan produksinya agar perhitungan subsidi bisa spesifik. Dari sisi pedagang, pastinya perlu tata niaga yang baik,” ucapnya.