Peningkatan Nilai Ekspor Tidak Dinikmati Pencari Sarang Burung Walet di Kebumen
›
Peningkatan Nilai Ekspor Tidak...
Iklan
Peningkatan Nilai Ekspor Tidak Dinikmati Pencari Sarang Burung Walet di Kebumen
Pencari sarang burung walet di Kebumen, Jawa Tengah belum merasakan dampak positif dari kenaikan nilai ekspor yang diklaim Kementerian Pertanian. Populasi burung yang menurun dan kualitas sarang jadi tantangan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
KEBUMEN, KOMPAS – Pencari sarang burung walet di Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tidak menikmati langsung nilai ekspor komoditas ini yang diklaim terus meningkat. Pemasukan yang didapat pencari sarang burung walet hanya berkisar Rp 500.000-Rp 1 juta sekali panen.
“Sekali panen dapatnya sekitar 3-4 kilogram. Harganya berkisar Rp 3 juta – Rp 5 juta per kilogram. Kalau kualitasnya sangat bagus ya sekitar Rp 7 juta per kilogram. Dengan sistem bagi hasil, bisa terima antara Rp 500.000-Rp 1 juta per orang,” kata Miran (45) pencari sarang burung walet Desa Karangduwur saat dihubungi dari Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (19/1/2021).
Miran mengatakan, dalam setahun, sarang burung bisa dipanen sekitar 3-4 kali. Untuk memanennya, diperlukan kerja tim yang terdiri dari 10-15 orang karena sarang burung berada di dalam gua yang terletak di tebing yang curam dan sangat berbahaya. Adapun untuk sekali panen butuh waktu sekitar seminggu. “Itu taruhannya nyawa. Apalagi di dalam gua harus mendirikan tiang setinggi 24 meter, karena sarang burung adanya di langit-langit gua,” tuturnya.
Menurut Miran, adanya pandemi Covid-19 dan juga peningkatan harga ekspor tidak berpengaruh terhadap harga di tingkat pencari sarang burung walet. “Pasarnya gampang-gampang susah. Hanya orang-orang tertentu yang mau beli. Harganya sama saja, tidak begitu pengaruh,” ujar Miran yang sehari-hari juga bekerja sebagai tukang kayu.
Itu taruhannya nyawa. Apalagi di dalam gua harus mendirikan tiang setinggi 24 meter, karena sarang burung adanya di langit-langit gua (Miran)
Pemasukan dari mencari sarang burung walet, lanjut Miran, tidak menentu karena kadang mendapatkan sarang burung yang kotor dan tipis sehingga harganya murah. “Yang harganya tinggi itu sarang burung walet yang putih, bersih dan tebal atau ukurannya besar. Sekarang juga susah mendapatkan sarang burung karena di goa paling banyak ada sekitar 400-an sarang,” tuturnya.
Mulai berkurang
Kepala Desa Karangduwur Sutono yang juga ketua pengelola sarang burung walet menyampaikan, kondisi sarang burung walet di kawasan Kebumen sudah mulai rusak atau berkurang. Beberapa tahun lalu, pemanenan dipaksakan hingga 6 kali dalam setahun, akibatnya kini hasilnya terus menurun. “Dulu sarang burung walet jadi ikon Kebumen, sekarang cari 10 kilogram tidak pernah dapat, paling banyak 3-4 kilogram,” papar Sutono.
Sutono menambahkan, per tahun pemasukan dari penjualan sarang burung walet ini juga menyetorkan pajak dengan terget Rp 10 juta ke pemerintah daerah dan Rp 5 juta sebagai pemasukan asli desa. “Di sini ada 10 orang pencari sarang burung walet. Sekali panen, hasil dibagi bersama setelah dipotong buat operasional, rata-rata per orang dapat bagian Rp 500.000,” katanya.
Sekretaris Badan Perencanaan dan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupten Kebumen Wahyu Siswanti menyampaikan, pajak yang diterima pemda dari sarang burung walet pada 2017 tercapai 43 persen yaitu sebesar Rp 4.315.000.
Pada 2018 dan 2019 jumlahnya meningkat, yaitu Rp 9.350.000 atau tercapai 94 persen pada 2018 dan pada 2019 tercapai 100,5 persen, yaitu sebesar Rp 10.050.000. Sementara itu pada 2020 hanya tercapai 20 persen atau Rp 2 juta.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam siaran pers menyebutkan, tren ekspor Sarang Burung Walet (SBW) menunjukan peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Rumah dari burung walet atau Collocalia sp dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan dan banyak dihasilkan di Pulau Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi.
"Ini adalah anugerah dari Tuhan untuk kita, tanpa perawatan khusus walet memberikan sumbangan devisa negara dan pendapatan bagi petani, " kata Syahrul di Jakarta (15/1/2021).
Berdasarkan data pada sistem perkarantinaan, IQFAST Badan Karantina Pertanian (Barantan) tercatat bahwa selama masa pagebluk Covid 19, jumlah ekspor SBW sebanyak 1.155 ton dengan nilai Rp 28,9 triliun atau meningkat 2,13 persen dari pencapaian di tahun 2019 yang hanya sebanyak 1.131,2 ton atau senilai Rp 28,3 triliun.
Syahrul menyampaikan, melalui Barantan pihaknya telah melakukan pendampingan terhadap 23 eksportir SBW RI sehingga berhasil teregistrasi oleh otoritas karantina pertanian Cina, GACC (General Administration of Customs of the People\'s Republic of China).
Tercatat sebanyak 262 ton atau 23 persen dari total ekspor SBW RI dibeli Cina. Sebagai pengekspor SBW terbesar didunia, para pelaku usaha Indonesia banyak menyasar pasar Cina karena harga jual yang lebih tinggi dibandingkan negara tujuan lain, yakni antara Rp 25 juta - Rp 40 juta per kilogram.